Batasan Ikrah Dalam Kekafiran
Diambil dari Multaqa Ahlil Hadits (www.ahlalhdeeth.com).
Alih Bahasa: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy.
Muqaddimah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya, keluarganya dan para sahabatnya, wa ba’du:
Akhir-akhir ini sejalan dengan programnya para thaghut ingin memurtadkan para ikhwan masjunin dengan program mereka memberikan kemudahan bebas dengan syarat menanda tangani kekafiran atau lebih parah dari itu adalah syarat mengikuti program pembinaan mereka di Lapas yang sarat dengan kekafiran, sehingga ada atau banyak yang terpedaya dengannya dan jatuh dalam kekafiran dan kemurtaddan baik disadari maupun tidak dengan dalih ikrah, padahal tidak ada penyiksaan atau ancaman bunuh dan yang serupa itu.
Sesungguhnya penjara itu bukan ikrah bagi kekafiran akan tetapi madhannah ikrah (tempat yang memungkinkan ada ikrah), oleh sebab itu bila ada orang yang di penjara mengucapkan kekafiran atau mengiyakan kekafiran yang diminta oleh anshar thaghut atau mengikut program kekafiran tanpa ada ikrah muljii’ atau ikrah mu’tabar dalam kekafiran, yaitu ancaman dibunuh atau pemotongan anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan melenyapkan salah satu anggota badan, maka dia itu murtad walupun mengklaim hatinya tetap lurus, seperti sebagian orang menandatangani syarat-syarat kekafiran untuk PB yang diajukan thaghut:
Setia dan taat kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Patuh dan tunduk kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Mau bersikap kooperatif dan mengikuti program deradikalisasi.
Bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membantu membongkar perkara yang dilakukan.
Atau ikut dalam upacara yang di dalamnya ada lagu Garuda Pancasila atau Bagimu Negeri atau ada Catur Darma Narapidana yang memang berisi kekafiran yang nyata.
Saya terjemahkan risalah ini dalam rangka iqmatul hujjah dan pelepasan tanggung jawab dan teguran kepada yang pernah melakukan agar bertaubat dari apa yang telah mereka lakukan, karena taubat itu lebih baik daripada kebersikukuhan di atas kekafiran.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarga dan para sahabatnya. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.
Kembang Kuning Nusakambangan,
14 Syawal yawaal 1434 H / 21 Agustus 2013
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Al Arkhabiliy
—–
Penanya (Al Mushlihiy) berkata: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.
Saya telah membaca banyak materi tentang ikrah, akan tetapi saya belum sampai kepada kesimpulan yang jelas prihal batasan-batasan dan rambu-rambu ikrah terhadap kekafiran. Maka apa batasan-batasan ikrah terhadap kekafiran? Dan kapan sah kita katakan tentang seseorang bahwa dia itu dipaksa terhadap kekafiran? Dan kapan hal itu tidak sah? Kami berharap diberikan jawaban yang penjang lebar dalam hal itu, karena materi ini sangat penting, sungguh akhir-akhir ini telah merebak perbuatan kekafiran dengan dalih ikrah. Wallahul Musta’an.
Syaikh Abu Turab Al Hasyimiy menjawab:
Bismillah Walhamdulillah, Washshalatu Wassalamu ‘Ala Rasulillah Wa Man Walah, Wa Ba’du:
Telah ada di dalam kitab Al Wala Wal Bara milik Muhammad Ibnu Sa’id Al Qahthaniy: Ibnu Hajar berkata:
شروط الإكراه أربعة :
1_أن يكون فاعله قادرا ً على ايقاع ما يهدد به , والمأمور عاجزا ً عن الدفع ولو بالفرار .
2_أن يغلب على ظنه أنه لو امتنع أوقع به ذلك .
3_أن يكون ما هدد به فورياً فلو قال ان لم تفعل كذا ضربتك غدا ً , لا يعد مكرها ً . ويستثنى ما إذا ذكر زمنا ً قريبا ً جداً , أو جرت العادة بأنه لا يخلف .
4_أن لا يظهر من المأمور ما يدل على اختياره
Syarat-syarat ikrah ada empat:
1. Si Pemaksa mampu menimpakan apa yang diancamkannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak kuasa untuk menghindarinya walaupun dengan cara melarikan diri.
2. Kuat dugaannya bahwa seandainya dia menolak maka si pemaksa pasti menimpakkan hal itu kepadanya.
3. Apa yang diancamkannya itu direalisasikan langsung saat itu juga. Dan seandainya dia berkata: Bila kamu tidak melakukan hal ini maka aku akan memukulmu esok hari, maka hal itu tidak dianggap orang yang mukrah, namun dikecualikan bila dia menyebutkan waktu yang dekat sekali atau sesuai kebiasaan bahwa dia itu selalu merealisasikannya.
4. Tidak nampak dari orang yang dipaksa itu sesuatu yang menunjukkan bahwa dia itu tidak merasa dipaksa.
Di dalam kitab itu juga: Al Khazin berkata: Para ulama berkata: Ikrah yang membolehkan baginya untuk mengucapan kekafiran itu harus dengan bentuk dia disiksa dengan penyiksaan yang tidak mampu dipikulnya, seperti diancam mau dibunuh dan pemukulan yang dahsyat serta penyiksaan-penyiksaan yang berat, seperti dibakar dengan api dan yang serupa itu.
Dan di dalamnya juga: Macam-Macam Ikrah:
1. Iljaa: Di mana keridloan dan pilihan menjadi lenyap serta lenyap pula iradah (keinginan) dan qashdu (kebermaksudan), dan itu terbukti dengan keterjatuhan di bawah penyiksaan yang dahsyat atau hal serupa itu, dan keadaan inilah yang turun berkenaannya ayat An Nahl ini: “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan.”
2. Tahdid (ancaman): Di mana ridlo menjadi lenyap, tapi ikhtiyar (pilihan) tidak lenyap secara total, dan ini adalah seperti dalam keadaan yang mana seseorang bisa memilih di dalamnya hal yang paling ringan di antara dua bahaya seperti keadaan Nabi Syu’aib ‘Alaihissalam bersama kaumnya, di mana mereka memberikan pilihan kepadanya antara kembali kepada kekafiran atau keluar dari negeri mereka
قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ (٨٨) قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِي مِلَّتِكُمْ بَعْدَ إِذْ نَجَّانَا اللَّهُ مِنْهَا وَمَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَعُودَ فِيهَا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّنَا وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ (٨٩)
“Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu Hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota Kami, atau kamu kembali kepada agama kami.” berkata Syu’aib: “Dan Apakah (kamu akan mengusir kami) kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh Kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan Kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al A’raf: 88-89)
Maka tidak boleh memenuhi paksaan semacam ini berdasarkan nash ayat ini dan juga berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِنْ جَاءَ نَصْرٌ مِنْ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ (١٠)
“Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah,” Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya Kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (Al Ankabut: 10)
3. Istidl’af (ketertindasan): Dan di sini tidak ada ancaman dan tidak ada penyiksaan, akan tetapi orang yang mustadl’af itu masuk di dalam kondisi yang dikuasai orang lain, seperti orang yang muqim di Mekkah setelah kaum muslimin hijrah darinya. Dan bila kondisi keberadaan dia di bawah kondisi ini karena ketidakmampuannya untuk mengelaknya dan untuk keluar darinya dan seandainya dia memiliki peluang untuk itu tentu dia melakukannya apapun pengorbanannya dan beban beratnya, maka orang ini telah dimaafkan (dengan keberadaannya di situ).
Dan terakhir: Ibnu Taimiyyah berkata: Saya telah mengamati berbagai madzhab, ternyata saya mendapatkan bahwa ikrah itu berbeda-beda tergantung apa yang dipaksakannya, di mana ikrah yang mu’tabar di dalam pengucapan kekafiran tidaklah seperti ikrah yang mu’tabar di dalam hibah dan yang seperti hal itu. Di mana (Imam) Ahmad telah menegaskan di banyak tempat bahwa ikrah terhadap kekafiran itu tidaklah dianggap kecuali dengan penyiksaan berupa pemukulan atau pengikatan, dan ancaman ucapan itu tidaklah dianggap sebagai ikrah. (Selesai penukilan dari kitab Al Wala Wa Al Bara dari hal 375-379).
Syaikh Abdullah Asy Syarqawiy waffaqahullah juga menjawab: Assalamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah.
Ini adalah cuplikan-cuplikan dari tulisan lama yang saya berharap bisa manfaat bagi engkau. (Al Muntashir Billah Asy Syarqawiy).
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata (juz 1/217) untuk para pemuda semacam mereka itu: “Syubhat yang masuk kepada dirimu itu adalah uang yang ada di tanganmu yang mana kamu dan keluargamu takut terlantar bila kamu meninggalkan negeri kaum musyrikin dan kamu ragu pada rizqi Allah, dan juga teman-teman yang buruk telah menyesatkanmu sebagaimana ia adalah kebiasaan mereka. Kamu ini wal ‘iyadzu billah terpuruk sedikit demi sedikit, pertamanya pada keraguan dan negeri syirik….(sampai ucapan beliau): Dan telah lenyap dari benakmu firman Allah Ta’ala prihal ‘Ammar Ibnu Yasir dan yang semacamnya: “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan.” Sampai firman-Nya : “Yang demikian itu disebabkan karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat” (An Nahl: 106-107), di mana Allah tidak mengecualikan kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan, yaitu dengan syarat ketentraman hatinya, sedangkan ikrah itu tidak mungkin terjadi terhadap keyakinan akan tetapi terhadap ucapan dan perbuatan. Di mana Dia telah menegaskan bahwa barangsiapa mengucapkan atau melakukan suatu yang mengkafirkan maka dia telah kafir kecuali orang yang dipaksa dengan syarat tersebut.
Dan dia menyebutkan bahwa (kekafiran) itu adalah dengan sebab lebih mementingkan dunia bukan dengan sebab keyakinan. Maka pikirkanlah dirimu apakah mereka itu memaksamu dan menggiringmu kepada pedang seperti ‘Ammar ataukah tidak.”
Dan sekarang telah tiba saatnya kami menjelaskan masalah yang sangat berbahaya ini yang tidak menerima sedikitpun kesalahan. Dan pertama-tama kami akan berbicara tentang definisi rukhshah (ikrah) ini dan apa yang dikatakan para ulama tentangnya.
Definisi Ikrah:
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari juz 12 hal 311:
Ikrah adalah pengharusan orang lain dengan sesuatu yang tidak diinginkannya. Telah ada di dalam ‘Umdatul Qari juz 24 hal 95:
(Kitab Ikrah) yaitu ini adalah tema tentang penjelasan hukum ikrah (pemaksaan). Ikrah (pemaksaan) adalah pengharusan orang lain dengan sesuatu yang tidak diinginkannya. Di mana ia itu berbeda-beda sesuai perbedaan
(1) Orang yang memaksa
(2) Apa yang dipaksakan terhadapnya, dan
(3) Tindakan yang digunakan untuk memaksanya.”
Dan telah ada di dalam Al Lubab Fi Syarh Al Kitab juz 4 hal 16:
كتاب الإكراه
وهو لغة : حمل الإنسان على أمر يكرهه وشرعا :حمل الغير على فعل بما يعدم رضاه دون اختياره لكنه قد يفسده وقد لا يفسده
Kitab Ikrah, dan ia (ikrah) secara bahasa adalah: Membawa orang kepada sesuatu yang dibencinya. Sedangkan secara syar’iy adalah: Membawa orang lain terhadap suatu perbuatan dengan sesuatu yang melenyapkan keridloannya tanpa (melenyapkan) pilihannya, namun kadang merusak pilihannya dan kadang tidak merusaknya.”
Di dalam Al Mabsuth juz 7 hal 269:
Telah berkata Asy Syaikh Al Imam Al Ajall Az Zahid Syamsul Aimmah Wa Fakhrul Islam Abu Bakar Muhammad Ibnu Abi Sahl As Sarkhasiy rahimahullah Ta’ala secara imla (pendiktean):
الإكراه اسم لفعل يفعله المرء بغيره فينتفي به رضاه أو يفسد به اختياره من غير أن تنعدم به الأهلية
Ikrah adalah nama bagi tindakan yang dilakukan seseorang kepada orang lain sehingga dengan sebabnya lenyaplah keridloannya atau rusaklah dengannya pilihannya tanpa melenyapkan ahliyyahnya (kelayakannya untuk menerima taklif).
Pemilik Badaaiu Ash Shanaai berkata di dalam juz 6 hal 184:
Kitab Ikrah, Pembicaraan di kitab ini pada beberapa tema: Penjelasan tentang makna ikrah secara bahasa dan syar’iy. Ikrah secara bahasa adalah sebutan bagi penetapan (kurh) kebencian, sedangkan kebencian adalah makna yang ada pada diri orang yang dipaksa yang meniadakan kecintaan dan keridloan, oleh sebab itu masing-masing dari dua hal itu digunakan sebagai lawan bagi yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٢١٦)
“Dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216).
Oleh sebab itu Ahlussunnah berkata: Sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala membenci kekafiran dan maksiat yaitu tidak mencintainya dan tidak meridloinya walaupun ketaatan dan maksiat itu tetap dengan iradah (kehendak) Allah ‘Azza Wa Jalla. Sedangkan ikrah secara syar’iy adalah sebutan bagi ajakan untuk melakukan (tindakan) dengan cara ancaman dan ultimatum bersama keterpenuhan syarat-syaratnya yang akan kami sebutkan pada tempatnya insya Allah Ta’ala.
Bila kita telah mengetahui bahwa ikrah itu adalah pengharusan orang lain dengan suatu yang tidak diinginkannya. Namun apa bentuk ikrah wujud itu, apakah dengan sekedar orang mengatakan kepadamu “bahwa kamu harus melakukan atau mengucapkan kekafiran” lantas kamu ini menjadi mukrah sesuai dengan definisi ini, ataukah di sana ada syarat-syarat dan tanda-tanda yang wajib terpenuhi dalam pengharusan ini supaya ia layak menjadi udzur syar’iy yang diterima di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Maka mari kita kaji, bagaimana para ulama berbicara tentang ikrah dan apa bentuk gambarannya yang mereka sebutkan serta apa contoh-contoh yang mereka berikan dalam menjelasakan ikrah ini sehingga kita mengetahui apa yang ada pada mereka.
Ibnu Al Jauziy berkata dalam Zadul Masir juz 4 hal 140:
فصل الإِكراه على كلمة الكفر يبيح النطق بها .وفي الإِكراه المبيح لذلك عن أحمد روايتان :إِحداهما : أنه يخاف على نفسه أو على بعض أعضائه التلف إِن لم يفعل ما أُمر به .والثانية : أن التخويف لا يكون إِكراها حتى يُنَال بعذاب . وإِذ ثبت جواز «التَّقِيَة» فالأفضل ألاَّ يفعل ، نص عليه أحمد ، في أسير خُيِّر بين القتل وشرب الخمر، فقال : إِن صبر على القتل فله الشرف ، وإِن لم يصبر ، فله الرخصة ، فظاهر هذا ، الجوازُ .
Pasal, Ikrah terhadap pengucapan kekafiran adalah membolehkan untuk mengucapkannya. Sedangkan dalam ikrah yang membolehkan hal itu ada dua riwayat dari (Imam) Ahmad: Pertama: Bahwa dia mengkhawatirkan terhadap kelenyapan nyawanya atau sebagian anggota badanya bila tidak melakukan apa yang dipaksakan. Dan kedua: Bahwa ancaman itu tidak menjadi ikrah sampai ditimpakan penyiksaan terlebih dahulu. Dan bila sudah terbukti bolehnya taqiyyah ini, maka yang paling utama adalah tidak melakukan, di mana hal itu ditegaskan oleh Ahmad prihal tawanan yang diberi pilihan antara dibunuh atau meminum khamr, maka beliau berkata: Bila dia sabar untuk dibunuh maka baginya kemuliaan, dan bila tidak sabar maka dia memiliki rukhshah itu, sehingga dhahir ucapannya ini adalah kebolehan.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tamhid juz 1 hal 120, Masalah Kelima:
الإكراه إن كان ملجئا وهو الذي لا يبقى للشخص معه قدرة ولا اختيار كالإلقاء من شاهق فلا يصح معه تكليف لا بالفعل المكره عليه لضرورة وقوعه ولا بضده لامتناعه والتكليف بالواجب وقوعه والممتنع وقوعه محال لأن التكليف شرطه القدرة والقادر هو الذي إن شاء فعل وإن شاء ترك وإن كان غير ملجىء كما لو قال إن لم تكفر أو تقتل زيدا وإلا قتلتك وعلم أو غلب على ظنه أنه إن لم يفعل وإلا قتله فلا يمتنع معه التكليف بل يصح أن يكلف ويدل عليه بقاء تحريم القتل والزنا مع الإكراه
Ikrah, bila ia itu muljii’ yaitu ikrah yang tidak menyisakan bagi orang itu qudrah (kemampuan) dan ikhtiyar (pilihan) bersamanya, seperti dilemparkan dari puncak gunung, maka tidak sah taklif bersamanya baik dengan tindakan yang dipaksakan terhadapnya karena kepastian keterjadiannya dan tidak pula dengan kebalikannya karena ketidakmungkinannya. Sedangkan taklif dengan suatu yang pasti terjadi dan dengan suatu yang tidak mungkin terjadi adalah mustahil, dikarenakan taklif itu syaratnya adalah qudrah (kemampuan), sedangkan orang yang memiliki kemampuan itu adalah orang yang bila dia berkehendak maka dia melakukan dan bila dia berkehendak maka dia meninggalkan. Dan bila ikrah itu ghair muljii’ seperti seandainya orang berkata “bila kamu tidak melakukan kekafiran atau tidak membunuh si Zaid maka aku akan membunuhmu” sedangkan dia mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa bila dia tidak melakukan (hal itu) tentu orang itu membunuhnya, maka taklif tidaklah tertolak bersamanya akan tetapi sah saja dia itu terkena taklif, dan hal ini dibuktikan oleh tetap berlakunya keharaman membunuh dan berzina saat dipaksa.
Dijelaskan di dalam kitab Al Mahshul milik Ar Raziy juz 2 hal 449, masalah keempat tentang orang yang dipaksa terhadap suatu perbuatan, apakah boleh dia diperintahkan dengannya dan meninggalkannya?
المشهور أن الإكراه إما أن ينتهي إلى حد الإلجاء أو لا ينتهي إليه فإن انتهى إلى حد الإلجاء امتنع التكليف لأن المكره عليه يعتبر واجب الوقوع وضده يصير ممتنع الوقوع والتكليف بالواجب والممتنع غير جائز وإن لم ينته إلى حد الإلجاء صح التكليف به
Yang masyhur bahwa ikrah itu ada yang sampai pada batas iljaa’ (keterdesakan) dan ada yang tidak sampai kepada batas itu. Bila ia sampai kepada batas iljaa’ maka taklif tertolak, karena apa yang dipaksakan itu dianggap pasti terjadi dan lawannya menjadi mustahil terjadi, sedangkan taklif dengan suatu yang pasti terjadi dan dengan yang mustahil terjadi itu adalah tidak boleh. Dan bila belum sampai kepada batas iljaa’, maka taklif dengannya adalah sah.
Ada di dalam Ushul Al Bazdawiy juz 1 hal 357: Adapun pasal lain, maka ia adalah pasal ikrah, dan ia itu ada tiga macam;
نوع يعدم الرضاء ويفسد الاختيار وهو الملجىء , ونوع يعدم الرضاء ولا يفسد الاختيار وهو الذي لا يلجئ , ونوع آخر لا يعدم الرضاء وهو أن يهتم (بمعنى يلحقه الهم والغم ) بحبس ابيه أو ولده وما يجري مجراه
Satu macam yang menghilangkan keridloan dan merusak ikhtiyar (pilihan), yaitu muljii’. Dan macam lain yang menghilangkan keridloan dan tidak merusak ikhtiyar (pilihan), yaitu ikrah yang tidak muljii’. Serta macam lain yang tidak menghilangkan keridloan, yaitu membuatnya murung dan bingung dengan pemenjaraan ayahnya atau anaknya dan yang serupa itu.
Di dalam Al Ihkam milik Al Amidiy juz 1 hal 203:
المسألة الثالثة اختلفوا في الملجىء إلى الفعل بالإكراه بحيث لا يسعه تركه في جواز تكليفه بذلك الفعل إيجادا وعدما والحق أنه إذا خرج بالإكراه إلى حد الاضطرار وصار نسبة ما يصدر عنه من الفعل إليه نسبة حركة المرتعش إليه أن تكليفه به إيجادا وعدما غير جائز إلا على القول بتكليف ما لا يطاق وإن كان ذلك جائزا عقلا لكنه ممتنع الوقوع سمعا لقوله عليه السلام رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه والمراد منه لا رفع المؤاخذة وهو مستلزم لرفع التكليف وما يلزمه من الغرامات فقد سبق جوابه غير مرة
Masalah ketiga, mereka berselisih prihal orang yang dipaksa melakukan dengan ikrah muljii’, sehingga tidak ada jalan lain untuk meninggalkannya, tentang kebolehan pentaklifannya dengan hal itu dari sisi ada dan tidak adanya. Dan pendapat yang benar adalah bahwa bila ia keluar dengan sebab ikrah itu kepada batas idlthirar (mesti terjadi) dan sehingga penisbatan perbuatan yang muncul dari kepadanya menjadi seperti penisbatan gerakan orang yang gemetaran kepadanya, maka pentaklifannya dengan hal itu baik dari sisi ada dan tidak adanya adalah tidak boleh, kecuali atas dasar pendapat yang mengatakan kebolehan pentaklifan sesuatu yang tidak bisa dipikul, meskipun hal itu adalah boleh secara akal akan tetapi ia itu mustahil terjadi secara syar’iy, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Telah diangkat dari umatku (dosa) kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepada mereka,” sedangkan yang dimaksudkan darinya adalah peniadaan sangsi, dan sedangkan ia itu adalah memestikan peniadaan taklif dan hal-hal yang menjadi kemestiannya seperti denda-denda, di mana telah lalu dengan sering jawaban terhadapnya.
Asy Syaukaniy berkata dalam As Sailul Jarrar juz 4 hal 409:
وأما قوله وبالإكراه فوجهه واضح إذا بلغ الحد الذي يصير به الفعل منه كلافعل وأما لو بقي له فعل فلا يجوز كما تقدم في باب الإكراه
Dan adapun ucapannya “dan dengan ikrah” maka arahnya adalah jelas bila paksaan itu sampai pada batas yang mana dengan sebabnya si tindakan yang muncul dari orang itu seperti tidak ada tindakan. Dan adapun bila masih tersisa tindakan baginya, maka tidak boleh sebagaimana yang telah lalu di bab ikrah.
Berkata juga dalam As Sailul Jarrar juz 4 hal 265:
وقوله وما لم يبق له فيه فعل فكلا فعل أقول هذا من الوضوح والجلاء بحيث لا ينبغي أن يلتبس أو يتردد فإنه في هذه الحالة قد صار كالآلة لفاعل الإكراه فتكليفه بما فعله مما لم يبق له فعل تكليف بما لا يطاق وقد رفعه الله عن عباده بنصوص كتابه وسنة رسوله صلى الله عليه
Dan ucapannya “dan suatu yang tidak tersisa di dalamnya tindakan baginya, maka seolah tidak ada tindakan baginya” Saya katakan ini sangat jelas lagi terang sehingga tidak layak untuk dianggap samar atau diragukan, di mana sesungguhnya pada keadaan ini dia itu seolah seperti alat bagi pelaku pemaksaan. Sehingga pentaklifannya dengan suatu yang tidak menyisakan kesempatan tindakan baginya adalah taklif dengan suatu yang di luar batas jangkauan kemampuannya padahal hal itu telah diangkat Allah dari hamba-hamba-Nya dengan nushush Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam Fathul Bariy Ibnu Hajar juz 12 hal 311 dan berkata….
فلا خلاف في جواز التكليف به وانما جرى الخلاف في تكليف الملجأ وهو من لا يجد مندوحة عن الفعل كمن ألقى من شاهق وعقله ثابت فسقط على شخص فقتله فإنه لا مندوحة له عن السقوط ولا اختيار له في عدمه وانما هو آلة محضة ولا نزاع في أنه غير مكلف إلا ما أشار إليه الآمدي من التفريع على تكليف ما لا يطاق
Maka tidak ada perselisihan dalam hal kebolehan taklif dengannya. Namun perselisihan itu hanyalah dalam pentaklifan orang yang (mukrah) muljii’ yaitu orang yang tidak memiliki jalan lain kecuali melakukan, seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya sehat terus ia jatuh menimpa seseorang sehingga membunuhnya, maka dia itu tidak memiliki jalan untuk menghindar dari keterjatuhan dan ia tidak memiliki pilihan untuk tidak jatuh, akan tetapi dia hanyalah alat murni, sedangkan tidak ada perselisihan bahwa dia itu tidak mukallaf kecuali apa yang diisyaratkan oleh Al Amidiy berupa pencabangan terhadap pentaklifan suatu yang diluar batas kemampuan.
Selesai ucapan para ulama…
Dan sekarang kami akan menjelaskan apa yang telah kami nukil dari ahli ilmu. Dan saya akan meringkas ucapan mereka agar saya bisa meletakkan tangan saya di atas apa yang saya inginkan supaya hal itu jelas bagi orang yang Allah inginkan pemberian hidayah kepadanya.
Para ulama berkata saat mereka menjelaskan ikrah:
Prihal tawanan yang diberikan pilihan antara dia dibunuh atau meminum khamr.
Seperti dilemparkan dari puncak gunung.
Satu macam yang menghilangkan keridloan dan merusak ikhtiyar (pilihan), yaitu muljii’.
Sehingga tidak ada jalan lain untuk meninggalkannya.
Seperti penisbatan gerakan orang yang gemetaran kepadanya.
Bila paksaan itu sampai pada batas yang mana dengan sebabnya si tindakan yang muncul dari orang itu seperti tidak ada tindakan.
Di mana sesungguhnya pada keadaan ini dia itu seolah seperti alat bagi pelaku pemaksaan.
Seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya sehat terus ia jatuh menimpa seseorang sehingga membunuhnya.
Saya katakan, apakah anda sekalian telah mengetahui apa yang tindakan yang dinamakan ikrah yang telah diterima oleh Allah sebagai udzur bagi orang yang menampakkan kekafiran, yang mana seseorang dengan sebab keberadaan ikrah itu menjadi orang yang tidak mukallaf. Apakah anda sekalian telah mengetahui bentuknya sebagaimana yang dicontohkan para ulama. Saya akan memberikan dua contoh di hadapan anda sekalian dari apa yang telah saya kutipkan tadi, di mana dua contoh itu menjelaskan maksud saya ini dengan izin Allah.
Di mana sesungguhnya pada keadaan ini dia itu seolah seperti alat bagi pelaku pemaksaan.
Seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya sehat terus ia jatuh menimpa seseorang sehingga membunuhnya.
Apakah anda mengetahui apa itu ikrah yang mu’tabar yang menghilangkan ridlo dan merusak ikhtiyar (pilihan) yang mana seseorang di dalamnya menjadi seperti batu yang dilemparkan dari atap rumah terus menimpa seorang pria sehingga membunuhnya. Apakah batu itu dicela karena menyebabkan keterbunuhan pria itu ataukah yang dicela itu orang yang melemparkan batu tersebut?? Kami beri contoh lain agar lebih jelas: Seseorang jatuh dalam genggaman orang lain yang mengancamnya dengan ancaman mau dibunuh atau disiksa dengan siksaan dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan atau dia harus kafir kepada Allah.
Jadi dia itu di hadapan dua pilihan; dibunuh atau kafir kepada Allah, dan tidak ada pilihan ketiga di hadapannya. Dan disebabkan manusia itu diciptakan di atas tabi’at mencintai kehidupan, maka sesungguhnya gambaran sebenarnya adalah bahwa orang tersebut tidak ada pilihan di hadapannya, yaitu bahwa dia itu dipaksa untuk menampakkan kekafiran kepada Allah. Atau dengan gambaran yang lebih jeli sungguh orang yang mengancamnya itu telah memojokkannya kepada penampakkan kekafiran kepada Allah, karena tidak ada pilihan lain di hadapannya. Oleh karenanya taklif menjadi gugur darinya, karena dia itu kehilangan keridloan dan kehilangan pilihan, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Ar Raziy di dalam Al Mahshul:
لأن المكره عليه يعتبر واجب الوقوع وضده يصير ممتنع الوقوع
“Karena apa yang dipaksakan itu dianggap pasti terjadi dan lawannya menjadi mustahil terjadi.”
Inilah gambaran ikrah yang mu’tabar:
Dibunuh atau kafir kepada Allah.
Pemukulan dasyat yang menyebabkan lenyapnya anggota badan atau kafir kepada Allah.
Pemotongan salah satu anggota badan atau kafir kepada Allah.
Sebagian orang kadang meyakini bahwa pembunuhan atau penyiksaan itu adalah dilontarkan sebagai pilihan di hadapan orang yang dipaksa, sedangkan keyakinan ini adalah tidak benar, karena seandainya ia itu adalah pilihan yang diterima oleh jiwa manusia, tentulah Allah tidak merukhshahkan penampakkan kekafiran terhadap-Nya saat dipaksa untuk dibunuh atau dengan disiksa, dan tentulah orang yang mengambil ‘azimah dan memilih dibunuh atau disiksa daripada dia menampakkan kekafiran kepada Allah (tentulah) dia tidak lebih besar pahalanya di sisi Allah berdasarkan ijma.
Dan dikarenakan pembunuhan itu mengandung pelenyapan bagi mashlahat terbesar yaitu penegakkan dienullah di muka bumi, dan dikarenakan jiwa manusia itu -sebagaimana yang telah kami sebutkan- ditabi’atkan di atas kebencian kepada keterbunuhan atau penyiksaan dan disakiti secara umum.
Dan secara ringkas, seandainya pembunuhan itu adalah dilontarkan sebagai pilihan ganti bagi penampakkan kekafiran kepada Allah, tentu bab ini tidak akan ditemukan sama sekali di dalam kitab-kitab para fuqaha, yaitu bab ikrah.
Dan adapun ikrah yang di dalamnya ada dua pilihan sebagai pengganti bagi pembunuhan atau penyiksaan, maka ini sama sekali bukan ikrah muljii’, seperti contoh yang telah diutarakan Ibnu Abdil Barr di dalam At Tamhid, di mana beliau berkata:
“Bila kamu tidak melakukan kekafiran atau tidak membunuh si Zaid maka aku akan membunuhmu.”
Yaitu bahwa dia itu memiliki dua pilihan dalam menghadapi pembunuhan:
Pertama: Kamu kafir.
Dan kedua: Kamu membunuh si Zaid.
Dua pilihan di hadapan apa yang tidak disukai jiwa manusia yang mana dia diciptakan Allah di atas tabi’at mencintai kehidupan. Oleh karena ini maka syahadah fi sabilillah adalah sangat agung di sisi Allah karena jiwa tidak menyukainya.
Ikrah macam ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr adalah ikrah ghair muljii’. Adapun ikrah macam lain yaitu ikrah yang mu’tabar dalam penampakkan kekafiran, maka ia adalah ikrah yang tidak ada di hadapan seseorang di dalamnya kecuali satu pilihan saja di dalam menghadapi apa yang diancamkan kepadanya berupa pembunuhan atau pemotongan anggota badan atau pemukulan dahsyat yang bisa melenyapkan salah satu anggota badan. Dan ikrah macam ini dinamakan oleh para ulama sebagai ikrah muljii’.
Jadi apa ikrah muljii’ itu? Dan kenapa dinamakan sebagai (ikrah) muljii’ atau taamm (sempurna), apakah di sana ada sebab bagi penamaan ini ataukah ia itu hanya sekedar penamaan?????
Pertama-tama kita harus mengetahui makna Talji-ah (التلجئه) secara bahasa:
Di dalam Lisanul ‘Arab juz 1 hal 152 dikatakan:
( لجأ ) لَجَأَ إِلى الشيء والمَكان يَلْجَأُ لَجْأً ولُجُوءاً ومَلْجَأً ولَجِئَ لَجَأً والْتَجَأَ وأَلْجأْتُ أَمْري إِلى اللّه أَسْنَدتُ وفي حديث كَعْب رضي اللّه عنه مَن دَخَل في ديوان المُسلِمِين ثمَ تَلجَّأَ منهم فقد خَرج من قُبَّة الإِسْلامِ يقال لَجَأْتُ إِلى فلان وعنه والتَجَأْتُ وتَلجَّأْتُ إِذا اسْتَنَدْتَ إِليه واعْتَضَدْتَ به أَو عَدَلْتَ عنه إِلى غيره كأَنه إِشارةٌ إِلى الخُروج والانْفراد عن المسلمِين واَلْجَأَه إِلى الشيءِ اضْطَرَّه إِليه وأَلْجَأَه عَصَمه والتَّلْجِئةُ الإِكْراهُ أَبو الهيثم التَّلْجِئةُ أَنْ يُلْجئَكَ أَن تَأْتِيَ أَمْراً باطِنُه خِلافُ ظاهره وذلِكَ مِثْلُ إِشْهادٍ على أَمْرٍ ظاهِرُه خِلافُ باطِنِه وفي حديث النُّعْمانِ بن بَشِير هذا تَلْجِئةٌ فأَشْهِدْ عليه غَيْرِي التَلْجِئة تَفْعِلة من الإِلْجَاءِ كأَنه قد أَلْجَأَكَ إِلى أَنْ تَأْتِيَ أَمراً باطِنُه خلافُ ظاهره وأَحْوَجَك إِلى أَن تَفْعَل فِعلاً تَكْرَهُه
“(Laja-a) Laja-a Ilasysyai-i wal makaan yalja-u laj-an wa lujuu-an wa malja-an wa laji-a laja-an wal taja-a wa alja-tu amrii ilallaah maknanya aku sandarkan (urusanku) kepada Allah, dan di dalam hadits Ka’ab radliyallahu ‘anhu: Man dakhala fii diiwaanil muslimiin tsumma talajja-a minhum faqad kharaja min qubbatil islam” dikatakan laja-tu ilaa fulaan wa ‘anhu wal taja-tu wa talajja-tu bila engkau bersandar kepadanya dan mengokohkan dirimu dengannya atau engkau berpaling darinya kepada selainnya seolah ia adalah isyarat kepada sikap keluar dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Wa alja-ahuu ilasysyai-i maknanya dia menyudutkannya kepadanya dan alja-ahu artinya menjaganya, dan talji-ah artinya adalah ikrah. Berkata Abul Haitsam: Talji-ah adalah dia menyudutkamu untuk melakukan suatu hal yang bathinnya berbeda dengan dhahirnya. Dan itu seperti mempersaksikan terhadap suatu hal yang dhahirnya menyelisihi bathinnya. Dan di dalam hadits An Nu’man Ibnu Basyir: Ini adalah talji-ah, maka carilah saksi terhadap hal ini selain saya,” talji-ah itu adalah wazan taf’ilah dari iljaa-u seolah dia itu telah menyudutkanmu untuk melakukan suatu hal yang bathinnya menyelisihi dhahirnya dan memojokkanmu untuk melakukan perbuatan yang tidak engkau sukai.”
Di dalam Al Qamus Al Muhith juz 1 hal 65:
لَجَأَ إليه كمنع وفرِحَ : لاذَ كالْتَجَأَ . وأَلْجَأَهُ : اضْطَرَّهُ و أَمْرَهُ إلى اللَّهِ قَيْلٌ . والتَّلْجِئَةُ : الا كراه
“Laja-a ilaihi seperti mana’a dan fariha: Laadza seperti iltaja-a, sedangkan alja-ahu artinya adalah idltharrahu wa amrahu ilallah (memojokkannya dan urusannya kepada Allah) yaitu menyandarkannya… Dan Talji-ah adalah ikrah.”
Di dalam Mukhtar Ashshihhaah juz 1 hal 612:
[ لجأ ] ل ج أ : لَجَأ إليه يلجأ مثل قطع يقطع لَجَأً بفتحتين و مَلْجَأ و الْتَجَأَ مثله و التَّلْجِئَة الإكراه و ألْجَأَه إلى كذا اضطره إليه و أَلْجَأ أمره إلى الله أسنده
“(Laja-a) Lam Jim Alif: Laja-a ilaihi yalja-u seperti qatha’a yaqtha’u laja-an wa malja-an, dan iltaja-a juga seperti itu, sedangkan taljia-ah adalah ikrah (paksaan), dan alja-ahu ila kadza maknanya adalah idltharrahu ilaihi (memojokkannya kepadanya), dan sedangkan alja-a amrahu ilallaah artinya adalah asnadahu (menyandarkannya).
Di dalam Kitab Al ‘Ain juz 6 hal 178:
لجأ :لَجَأَ فلانٌ إلى كذا مَلْجَأً ولَجْأً وهو يَلْجَأُ ويَلْتَجِئُ وأَلْجَأَنا الأَمْرُ إلى كذا أي : إضطّرني إليه
“Laja-a, Laja-a fulan ila kadza malja-an wa laja-an, wa huwa yalja-u wa yaltaji-u, wa alja-anaa al amru ila kadza maknanya adalah memojokkanku kepadanya.”
Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsirnya juz 8 hal 149:
والملجأ الحصن عن قتادة وغيره ابن عباس : الحرز وهما سواء يقال : لجأت إليه لجأ ( بالتحريك ) وملجأ والتجأت إليه بمعنى والموضع أيضا لجأ وملجأ والتلجئة الإكراه وألجأته إلى الشيء اضطررته إليه وألجأت أمري إلى الله أسندته
“Malja adalah Hishn (benteng), dari Qatadah dan yang lainnya dari Ibnu Abbas: Hirz (penjagaan), sedangkan keduanya adalah sama, dikatakan: Laja-tu ilaihi laja-an wa malja-an wal taja-tu ilaihi adalah semakna, dan tempat juga disebut laja dan malja. Sedangkan Talji-ah adalah ikrah, dan alja-tuhu ilasysyai-i adalah saya memojokkannya kepadanya, dan alja-tu amrii ilallah bermakna aku menyandarkannya.
Setelah kita mengetahui maknanya secara bahasa, maka apa makna syar’iy bagi ikrah muljii’ itu?? Atau apa ikrah muljii’ itu menurut para ulama?
Definisi ikrah muljii’ menurut para ulama:
Ibnu Abdul Barr telah menjelaskannya dengan ungkapan yang singkat yang akan kami tuturkan dan setelah itu kami akan menuturkan yang lainnya. Ibnu Abdil Barr berkata di dalam At Tamhid juz 1 hal 120:
الإكراه إن كان ملجئا وهو الذي لا يبقى للشخص معه قدرة ولا اختيار
“Ikrah itu bila muljii’ yaitu ikrah yang tidak menyisakan bagi seseorang sedikitpun qudrah (kemampuan) dan ikhtiyar (pilihan) bersamanya.”
Asy Syaukaniy berkata tentang ikrah muljii’ ini di dalam As Sailul Jarrar juz 4 hal 409:
وأما قوله وبالإكراه فوجهه واضح إذا بلغ الحد الذي يصير به الفعل منه كلافعل وأما لو بقي له فعل فلا يجوز كما تقدم في باب الإكراه
“Adapun ucapannya ‘dan dengan ikrah’ maka sisi alasannya adalah sangat jelas, bila ikrah itu telah sampai pada batas yang menjadikan perbuatan yang muncul darinya itu seolah tidak ada perbuatan, dan adapun seandainya masih tersisa baginya perbuatan, maka hal itu tidak boleh sebagaimana yang telah lalu di bab ikrah.”
Al Bazdawiy telah menuturkannya di dalam Ushul-nya, di mana beliau berkata di juz 1 hal 357:
واما الفصل الآخر فهو فصل الاكراه وهو ثلاثة أنواع نوع يعدم الرضاء ويفسد الاختيار وهو الملجىء
“Dan adapun pasal yang lain, maka ia itu pasal ikrah, sedangkan ia itu ada tiga macam, satu macam yang menghilangkan ridlo dan merusak ikhtiyar, dan ia itu adalah (ikrah) muljii’.”
Di dalam kitab Al Lubab Fi Syarhi Al Kitab juz 4 hal 16:
كتاب الإكراه
وهو لغة : حمل الإنسان على أمر يكرهه وشرعا : حمل الغير على فعل بما يعدم رضاه دون اختياره لكنه قد يفسده وقد لا يفسده. قال في التنقيح :وهو إما ملجئ : بأن يكون بفوت النفس أو العضو وهذا معدم للرضا مفسد للاختيار وإما غير ملجئ : بأن يكون بحبس أو قيد أو ضرب وهذا معدم للرضا غير مفسد للاختيار
“Kitab Ikrah, di mana ia secara bahasa adalah: membawa orang kepada suatu yang dibencinya. Sedangkan secara syar’iy ia adalah membawa orang lain kepada perbuatan dengan suatu yang melenyapkan keridloannya tanpa melenyapkan ikhtiyarnya akan tetapi kadang merusaknya dan kadang tidak merusaknya. Berkata di dalam At Tanqih: Sedangkan ikrah ada yang muljii’: yaitu dengan pelenyapan nyawa atau anggota badan, dan ikrah ini melanyapkan ridlo lagi merusak ikhtiyar. Dan ada ikrah ghair muljii’: yaitu dengan pemenjaraan, atau pengikatan, atau pemukulan, dan ikrah macam ini adalah melenyapkan ridlo namun tidak merusak ikhtiyar (pilihan).”
Ada di dalam kitab Bada-iu Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 184:
“Pasal: Penjelasan macam-macam ikrah.
وأما بيان أنواع الإكراه فنقول : إنه نوعان :نوع يوجب الإلجاء والاضطرار طبعا كالقتل والقطع والضرب الذي يخاف فيه تلف النفس أو العضو قل الضرب أو كثر ومنهم من قدره بعدد ضربات الحد وأنه غير سديد لأن المعول عليه تحقق الضرورة فإذا تحققت فلا معنى لصورة العدد وهذا النوع يسمى إكراها تاما.
ونوع لا يوجب الإلجاء والاضطرار وهو الحبس والقيد والضرب الذي لا يخاف منه التلف وليس فيه تقدير لازم سوى أن يلحقه منه الاغتمام البين من هذه الأشياء أعني الحبس والقيد والضرب وهذا النوع من الإكراه يسمى إكراها ناقصا.
Adapun penjelasan macam-macam ikrah, maka kami katakan: Sesungguhnya ikrah itu ada dua macam: Satu macam ikrah yang mengharuskan keterdesakan dan keterpaksaan secara pasti, seperti pembunuhan, pemotongan anggota badan, dan pemukulan yang dikhawatirkan melenyapkan nyawa atau anggota badan, baik pukulan itu banyak maupun sedikit, dan di antara ulama ada yang menetapkan ukuran sejumlah pukulan had, namun penetapan ukuran jumlah ini tidaklah tepat, karena yang menjadi acuan adalah keterbuktian adanya keterdesakan, sehingga bila ia itu terbukti maka tidak ada maknanya bagi jumlah bilangan. Dan ikrah macam ini dinamakan sebagai ikrah taamm (yang sempurna).
Dan satu macam lagi adalah (ikrah) yang tidak mengharuskan keterdesakan dan keterpaksaan, yaitu pemenjaraan, pengikatan, dan pemukulan yang tidak dikhawatirkan melenyapkan (nyawa atau anggota badan). Dan di dalam hal-hal ini tidak ada batasan selain bahwa hal-hal ini menyebabkan dia mengalami kepenatan yang nyata dari sebab hal-hal ini yaitu akibat pemenjaraan, pengikatan dan pemukulan. Dan ikrah macam ini dinamakan sebagai ikrah naqish (yang kurang).
Di dalam Ahkamul Qur’an milik Al Jashshash juz 5 hal 13:
قوله تعالى من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان روى معمر عن عبدالكريم عن أبي عبيد بن محمد بن عمار بن ياسر إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان قال أخذ المشركون عمارا وجماعة معه فعذبوهم حتى قاربوهم في بعض ما أرادوا فشكا ذلك إلى رسول الله ص – قال كيف كان قلبك قال مطمئن بالإيمان قال فإن عادوا فعد
“Firman-Nya Ta’ala ‘Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan’ (An Nahl: 106), Ma’mar meriwayatkan dari Abdul Karim dari Abu Ubaid Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar Ibnu Yasir “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan” ia berkata: Kaum musyrikin menangkap ‘Ammar dan sejumlah orang bersamanya, terus mereka menyiksa orang-orang itu sampai mereka menyetujui kaum musyrikin dalam sebagian apa yang mereka inginkan, maka ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya: Bagaimana hatimu? Ia berkata: Tentram dengan keimanan,” maka beliau berkata: Bila mereka mengulangi, maka ulangilah.”
Abu Bakar berkata:
هذا اصل في جواز إظهار كلمة الكفر في حال الإكراه والإكراه المبيح لذلك هو أن يخاف على نفسه أو بعض أعضائه التلف إن لم يفعل ما أمره به فأبيح له في هذه الحال أن يظهر كلمة الكفر ويعارض بها غيره إذا خطر ذلك بباله.انتهى .
Ini adalah landasan bagi kebolehan penampakkan ucapan kekafiran di saat ikrah. Sedangkan ikrah yang membolehkan hal itu adalah: (Kondisi) dia mengkhawatirkan kelenyapan nyawa atau sebagian anggota badan bila dia tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, maka dalam kondisi ini dibolehkan baginya untuk menampakkan ucapan kekafiran, dan dia menggunakan ungkapan kiasan yang lain bila hal itu terlintas di benaknya.” Selesai.
Ada di dalam Al Mabsuth juz 7 hal 269:
وشبهه بعضهم باشتراط الخيار فإن شرط الخيار يعدم الرضا بحكم السبب دون نفس السبب ثم في الإكراه يعتبر معنى في المكره ومعنى في المكره ومعنى فيما أكره عليه ومعنى فيما أكره به فالمعتبر في المكره تمكنه من إيقاع ما هدده به فإنه إذا لم يكن متمكنا من ذلك فإكراهه هذيان وفي المكره المعتبر أن يصير خائفا على نفسه من جهة المكره في إيقاع ما هدده به عاجلا لأنه لا يصير ملجأ محمولا طبعا إلا بذلك وفيما أكره به بأن يكون متلفا أو مزمنا (…) أو متلفا عضوا أو موجبا عما ينعدم الرضا باعتباره وفيما أكره عليه أن يكون المكره ممتنعا منه قبل الإكراه إما لحقه أو لحق آدمي آخر أو لحق الشرع وبحسب اختلاف هذه الأحوال يختلف الحكم.
“Dan sebagian ulama menyerupakannya dengan pensyaratan khiyar, di mana sesungguhnya syarat khiyar melenyapkan keridloan terhadap hukum sebab bukan sebabnya itu. Kemudian di dalam ikrah itu diperhitungkan makna pada orang yang memaksa dan makna pada orang yang dipaksa, juga makna pada apa yang dipaksakan terhadapnya serta makna pada apa yang digunakan untuk memaksa. Di mana yang dianggap pada orang yang memaksa adalah adanya kemampuan dia untuk menimpakan apa yang diancamkannya, sehingga bila dia tidak memiliki kemampuan terhadap hal itu maka ikrahnya itu adalah igauan. Dan yang dianggap pada orang yang dipaksa adalah keberadaan dia menjadi mengkhawatirkan keselamatan nyawanya dari tindakan orang yang memaksa yang akan menimpakan apa yang diancamkannya secara segera, karena ia itu menjadi ikrah muljii’ yang mendesak kecuali dengan hal itu. Dan dianggap pada apa yang digunakan untuk memaksa adalah dengan cara pelenyapan nyawa atau muzamman (….) atau pelenyapan anggota badan atau hal yang memestikan lenyapnya keridloan dengan sebabnya. Dan pada apa yang dipaksakan terhadapnya hendaknya si orang yang dipaksa itu menolaknya sebelum ada ikrah itu, baik karena haknya atau karena hak orang lain atau karena hak syari’at, dan dengan perbedaan keadaan-keadaan ini maka hukumpun berbeda-beda.”
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari juz 12 hal 311:
“Syarat-syarat ikrah ada empat:
Pertama: Si pelaku mampu merealisasikan apa yang diancamkannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak mampu menolaknya walaupun dengan cara melarikan diri.
Kedua: Kuat dugaan orang yang dipaksa bahwa seandainya dia menolak maka orang yang memaksa pasti menimpakkan apa yang diancamkannya kepadanya.
Ketiga: Apa yang diancamkannya itu adalah saat itu juga, di mana seandainya dia berkata: Bila kamu tidak melakukan hal ini maka aku akan memukulmu besok hari,” maka hal itu tidak dianggap sebagai ikrah, namun dikecualikan bila dia menyebutkan waktu yang sangat dekat sekali atau menurut kebiasaan bahwa dia itu selalu merealisasikan ancamannya.
Keempat: Tidak nampak dari orang yang dipaksa itu suatu yang menunjukan bahwa dia itu adalah pilihannya (yaitu tidak merasa dipaksa).”
Dan beliau berkata juga sesudahnya:
“Namun yang ada perselisihan itu adalah hanyalah dalam hal pentaklifan orang yang berada pada kondisi ikrah muljii’, yaitu orang yang tidak memiliki jalan untuk menghindari dari melakukan, seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya masih ada, terus ia jatuh menimpa orang sehingga membuatnya terbunuh, maka sesungguhnya ia itu tidak memiliki jalan untuk menghindari dari keterjatuhan dan dia tidak memiliki pilihan untuk tidak jatuh, namun ia itu adalah murni alat, sedangkan tidak ada perselisihan dalam hal ini bahwa ia itu tidak mukallaf, kecuali apa yang diisyaratkan oleh Al Amidiy berupa pengembangan cabang terhadap pentaklifan suatu yang di luar kemampuan (manusia), dan telah terjadi perselisihan prihal pentaklifan orang yang lalai seperti orang yang tidur atau orang yang lupa, sedangkan ia itu lebih jauh dari dari iljaa’ (ikrah muljii’) karena ia itu sama sekali tidak memiliki rasa.”
Setelah pemaparan perkataan para ulama ini, maka yang kita pahami dari ucapan mereka tentang ikrah muljii’ adalah:
Pertama: Bahwa ia disebut muljii’ karena ia tidak menyisakan bagimu sedikitpun peluang untuk ikhtiyar (pilihan), dan dikarenakan ia itu memojokkanmu untuk menampakkan kekafiran atau melakukan apa yang dipaksakannya, karena tidak ada pilihan bagimu selainnya.
Dan dengan ungkapan yang lebih jelas: tidak ada jalan lari bagimu dari pembunuhan kecuali dengan penampakkan kekafiran. Ini adalah makna muljii’, yaitu ia tidak menyisakan bagimu kesempatan lain setelah pembunuhan kecuali penampakan kekafiran, yaitu ia tidak meninggalkan bagimu pilihan sama sekali, sehingga (untuk selamat dari itu) kamu wajib menampakkan kekafiran, yaitu ia menyudutkanmu untuk menampakkan kekafiran kepada Allah. Saya berharap bahwa saya sudah cukup bisa menjelaskan point ini, karena ia adalah sangat penting dalam memahami ikrah ini.
Kedua: Supaya ia itu menjadi ikrah muljii’ untuk menampakkan kekafiran, maka yang diancamkan itu harus berupa pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan bisa melenyapkan salah satu anggota badan.
Ketiga: Bahwa orang yang memaksamu untuk menampakkan kekafiran dengan ancaman pembunuhan atau dengan pemukulan atau pemotongan anggota badan itu haruslah mampu untuk merealisasikan ancamannya ini, karena kalau tidak demikian maka ikrahnya itu bukanlah ikrah muljii’ karena ketidakmampuan orang yang memaksa untuk merealisasikan ancamannya.
Keempat: Disamping terkumpul syarat-syarat yang telah kami sebutkan tadi, disyasratkan juga ancamannya itu fauriy (langsung) yaitu saat itu juga, di mana seandainya dia berkata kepadamu “besok” maka hal ini tidak dianggap ikrah muljii’, karena pilihanmu itu tidak ada sesuatupun yang menggugurkannya sehingga kamu melakukan apa yang mereka ancamkannya kepadamu sampai tiba waktu ikrah. Dan dengan ungkapan yang lebih jelas, tidak ada sesuatupun yang mendorongmu untuk kafir kepada Allah, akan tetapi bila pembunuhan atau pemotongan anggota badan itu besok maka kamu wajib bersabar sampai tibanya waktu pembunuhan, dan setelah datangnya waktu itu maka sebab ikrah muljii’ itu telah terpenuhi, karena kamu tidak mengetahui apakah kamu masih bisa hidup sampai besok siang atau apakah orang yang mengancammu itu masih bisa hidup sampai besok (atau tidak), di mana semua ini ada di Tangan Allah, oleh sebab itu tidak boleh kamu lebih dahulu melakukan kekafiran kepada Allah, wal ‘iyadzu billah.
Bisa saja salah seorang dari kaum muslimin mengatakan: “Jangan tergesa-gesa engkau kawan,” ini adalah ucapan yang benar secara global, akan tetapi ia membutuhkan perincian, di mana batasan keterbuktian ikrah itu telah diperselisihkan ulama, sedangkan engkau di sini mengatakan bahwa batasan yang diterima di dalam penampakkan kekafiran saat ikrah itu adalah dengan berupa (ancaman) pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau dengan pemukulan yang dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan. Maka kami menjawabnya dengan izin Allah: Justeru sesungguhnya pemahamanmu terhadap ucapan para ulama itulah yang global, bukan apa yang telah kami utarakan di sini wal hamdulillah. Dan kami akan menjelaskan di hadapanmu masalah ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sebagian ulama. Dan kami akan menyinggung nama para ulama yang telah dinukil dari mereka di dalam kontek bahasan ikrah nukilan yang seolah menyatakan bahwa di sana ada perselisihan pada batasan ikrah, agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan perselisihan ini.
Batasan Ikrah.
Orang-orang yang menuturkan bahwa di sana ada perselisihan pada batasan ikrah atau dengan ungkapan yang lebih tepat; orang-orang yang saya temui saat saya menelusuri ucapan para ulama mereka menyebutkan perselisihan pada batasan ikrah adalah: Al Qurthubiy dan Ibnu Hajar.
Al Qurthubiy berkata dalam Tafsir-nya:
“Kesembilan belas- Para ulama berselisih pada batasan ikrah, di mana diriwayatkan dari Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: Orang itu tidak merasa aman terhadap dirinya bila kamu menakut-nakutinya atau kamu mengikatnya atau kamu memukulnya. Ibnu Mas’ud berkata: Tidak satu ucapanpun yang bisa menghindarkan dari saya dua pukulan cemeti melainkan aku pasti mengatakannya. Al Hasan berkata: Taqiyyah itu boleh bagi orang mu’min sampai hari kiamat akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak menjadikan taqiyyah pada pembunuhan. An Nakha’iy berkata: Pengikatan itu adalah ikrah dan pemenjaraan adalah ikrah. Dan ini adalah pendapat Malik juga, akan tetapi ia mengatakan: Ancaman yang menakutkan adalah ikrah walaupun hal itu tidak terjadi bila benar-benar terbukti kedzaliman orang yang aniaya itu ada perealisasiannya terhadap apa yang diancamkannya. Menurut Malik dan para pengikutnya tidak ada batasan pada pemukulan dan pemenjaraan, namun cukup pemukulan yang menyakitkan dan pemenjaraan yang membuat penat (sempit) terhadap orang yang dipaksa. Paksaan penguasa dan yang lainnya menurut Malik adalah ikrah juga. Ulama Kufiyyun saling kontradiksi di mana mereka tidak menjadikan pemenjaraan dan pengikatan sebagai ikrah terhadap minum khamr dan makan bangkai, karena dikhawatirkan kebinasaan dari akibat dua hal itu, dan mereka menjadikan dua hal itu sebagai ikrah dalam pengakuannya bahwa saya memiliki hutang seribu dirham kepada si fulan. Ibnu Sahnun berkata: Dan di dalam ijma mereka bahwa penyiksaan yang dahsyat itu adalah ikrah terdapat hal yang menunjukan bahwa ikrah itu bisa tanpa pelenyapan nyawa. Malik berpendapat bahwa barangsiapa dipaksa untuk sumpah dengan ancaman atau pemenjaraan atau pemukulan maka ia itu silahkan sumpah dan tidak dianggap melanggar, dan ia adalah pendapat Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Tsaur dan mayoritas ulama.”
Catatan terhadap ucapan Al Qurthubiy:
Kita bisa memperhatikan bahwa Al Imam sama sekali tidak menyinggung masalah mengucapkan atau melakukan kekafiran, akan tetapi ucapan beliau itu hanyalah tentang suatu yang di bawah kekafiran. Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari juz 12 hal 311:
Dan ada perselisihan prihal apa yang dijadikan ancaman:
Di mana mereka sepakat terhadap pembunuhan, pelenyapan salah satu anggota badan, pemukulan yang dahsyat serta pemenjaraan yang lama. Dan mereka berselisih pada pukulan yang ringan dan pemenjaraan yang sebentar seperti sehari atau dua hari.
Ucapannya: Dan firman Allah Ta’ala “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan” (An Nahl: 106) adalah ancaman yang dahsyat bagi orang yang murtad tanpa dipaksa, dan adapun orang yang dipaksa terhadap hal itu maka dia itu diudzur berdasarkan ayat itu, karena pengecualian dari al itsbaat (kalimat positif) adalah nafyun (negatif), sehingga memiliki makna bahwa orang yang dipaksa terhadap kekafiran adalah tidak masuk di bawah ancaman.
Dan yang masyhur bahwa ayat itu turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir, sebagaimana telah datang dari jalur Abu ‘Ubaidah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar Ibnu Yasir berkata: Kaum musyrikin menangkap ‘Ammar terus mereka menyiksanya sampai mereka bisa menekannya menyetujui sebagian apa yang mereka inginkan, maka ia mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepadanya: Bagaimana engkau dapati hatimu? Ia berkata: Tentram dengan keimanan,” beliau berkata: Bila mereka kembali melakukan (hal itu), maka kembalilah engkau lakukan.” Atsar ini mursal sedangkan para perawinya tsiqat, telah dikeluarkan oleh Ath Thabariy dan diterima juga oleh Abdurrazzaq, dan telah meriwayatkan darinya ‘Abd Ibnu Humaid dan telah dikeluarkan oleh Al Baihaqiy dari jalur ini dan ia menambahkan di dalam sanad itu, di mana ia berkata dari Abu ‘Ubaidah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar dari ayahnya, sedangkan ia adalah mursal juga.
Ibnu Hajar berkata prihal hadits ini: (Para perawinya tsiqat walaupun mursal, dan mursal-mursal ini satu sama lain saling menguatkan).
Jawaban terhadap apa yang lalu:
Pertama-tama kami katakan sebagai bantahan terhadap ucapan Al Qurthubiy bahwa ia adalah ucapan yang umum yang tidak menunjukkan bahwa beliau memaksudkan ikrah terhadap ucapan kekafiran, dan dikarenakan sebagaimana yang akan kita ketahui bahwa para ulama itu melakukan pemilahan di dalam ikrah sesuai mukrah bih (apa yang dijadikan sebagai alat paksakan) dan sesuai mukrah ‘alaih (sesuatu yang dipaksakan terhadapnya), dan mereka meletakkan syarat-syarat bagi masing-masing dari keduanya, dan di samping ini sesungguhnya ucapan Al Qurthubiy sendiri menyelisihi pemahaman ini di tempat lain. Telah berkata Al Qurthubiy di dalam Tafsir-nya juz 10 hal 170: Ahli ilmu telah ijma’ (sepakat) bahwa orang yang dipaksa terhadap kekafiran sampai mengkhawatirkan dirinya dibunuh, maka sesungguhnya ia tidak dosa bila ia melakukan kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan dan isterinya tidak lepas darinya serta ia tidak divonis kafir. Ini adalah pendapat Malik, Kufiyyun dan Asy Syafi’iy selain Muhammad Ibnul Hasan di mana beliau berkata: Bila ia menampakkan kemusyrikan, maka ia murtad secara dhahir, sedangkan kaitan antara dirinya dengan Allah Ta’ala adalah dia muslim, dan isterinya lepas darinya dan ia tidak dishalatkan bila ia mati serta ia tidak mewarisi bapaknya bila si ia mati dalam keadaan muslim, dan pendapat ini adalah tertolak oleh Al Kitab dan Assunnah. Di mana Allah Ta’ala mengatakan “kecuali orang yang dipaksa” dan berfirman “kecuali kalian dalam rangka siasat memelihara diri dari mereka” (Ali Imran: 28) dan berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri[342], (kepada mereka) Malaikat bertanya : “Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Dan berfirman: “kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (Annisaa: 97-98) di mana Allah mengudzur kaum mustadl’afin yang enggan meninggalkan apa yang Allah perintahkan, sedangkan orang yang mukrah itu tidak lain adalah orang mustadl’af yang tidak menolak dari melakukan apa yang Allah perintahkan, ini dikatakan oleh Al Bukhariy.
Dan adapun ucapan Ibnu Hajar, maka sesungguhnya bantahannya ada di dalam ucapannya itu sendiri, karena beliau berkata sesungguhnya yang masyhur dalam masalah ini adalah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir, dan beliau terus menuturkan kisahnya, di mana beliau berkata: Dan yang masyhur bahwa ayat itu telah turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir.
Dan agar kita mengetahui jelas masalah ini, maka kami akan menyebutkan para ulama yang mengatakan bahwa batasan ikrah di dalam kekafiran itu adalah dengan pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau pemukulan yang dasyat yang bisa melenyapkan (anggota badan). Dan (supaya) kita juga mengetahui bagaimana para ulama itu membedakan antara ikrah terhadap penampakkan kekafiran dengan ikrah terhadap suatu di luar kekafiran.
Orang yang paling bagus memberikan perincian di dalamnya adalah Al Imam ‘Alaauddien Abu Bakar Al Kaasaaniy di dalam Badaa-i’u Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 185:
فصل : بيان ما يقع عليه الإكراه
وأما بيان ما يقع عليه الإكراه فنقول وبالله التوفيق : ما يقع عليه الإكراه في الأصل نوعان : حسي وشرعي وكل واحد منهما على ضربين معين ومخير فيه أما الحسي المعين في كونه مكرها عليه فالأكل والشرب والشتم والكفر والإتلاف والقطع عينا وأما الشرعي فالطلاق والعتاق والتدبير والنكاح والرجعة واليمين والنذر والظهار والإيلاء والفيء في الإيلاء والبيع والشراء والهبة والإجارة والإبراء عن الحقوق والكفالة بالنفس وتسليم الشفعة وترك طلبها ونحوها والله أعلم
Pasal: Penjelasan Hal-Hal Yang Terjadi Ikrah Terhadapnya.
Adapun penjelasan hal-hal yang terjadi ikrah terhadapnya, maka kami katakan dengan taufiequllah: Suatu yang terjadi ikrah terhadapnya pada dasarnya ada dua macam; Hissiy dan Syar’iy, dan masing-masing dari keduanya ada dua model yaitu mu’ayyan (tertentu) dan mukhayyar fiih (yang ada pilihan di dalamnya). Adapun hissiy yang mu’ayyan dalam kondisi dia dipaksa terhadapnya, maka ia itu seperti makan, minum, menghina, kekafiran, pelenyapan (pengrusakan) dan pemotongan (anggota badan) secara tertentu tanpa ada pilihan. Dan adapun syar’iy, maka ia itu seperti thalaq, pemerdekaan budak langsung, pemerdekaan budak dengan menggantungkannya terhadap kematian dirinya, nikah, rujuk, sumpah, nadzar, dhihar, ilaa, kembali dalam ilaa, jual beli, hibah, penyewaan, pembebasan hak, kafalah (jaminan) dengan jiwa, penyerahan syuf’ah dan meninggalkan tuntutannya serta hal-hal serupa itu, wallahu a’lam.”
Juga dalam Badaa-i’u Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 185:
فصل : بيان حكم ما يقع عليه الإكراه
وأما بيان حكم ما يقع عليه الإكراه فنقول وبالله التوفيق : أما التصرفات الحسية فيتعلق بها حكمان :
أحدهما : يرجع إلى الآخرة والثاني : يرجع إلى الدنيا
أما الذي يرجع إلى الآخرة فنقول وبالله التوفيق : التصرفات الحسية التي يقع عليها الإكراه في حق أحكام الآخرة ثلاثة أنواع : نوع هو مباح ونوع هو مرخص ونوع هو حرام ليس بمباح ولا مرخص
أما النوع الذي هو مباح فأكل الميتة والدم ولحم الخنزير وشرب الخمر إذا كان الإكراه تاما بأن كان بوعيد تلف
لأن هذه الأشياء مما تباح عند الإضرار
Pasal: Penjelasan hukum hal-hal yang terjadi ikrah terhadapnya.
Adapun penjelasan hal-hal yang terjadi ikrah terhadapnya, maka dengan taufiqullah kami katakan: Adapun tasharrufat hissiyyah (tindakan-tindakan yang bersifat kongkrit), maka ada dua hukum yang berkaitan dengannya: Pertama: Hukum yang kembali ke akhirat. Dan kedua: Hukum yang kembali ke dunia.
Adapun yang kembali ke akhirat, maka kami katakan dengan taufiqullah: Tasharrufat hissiyyah yang terjadi ikrah terhadapnya pada kaitan hukum-hukum akhirat ada tiga macam; satu macam yang bersifat mubah, macam lain yang bersifat diberikan rukhshah (keringanan), serta macam lain yang bersifat haram yang tidak mubah dan tidak pula dirukhshahkan.
Adapun macam yang bersifat mubah, maka ia itu adalah memakan bangkai, darah dan daging babi serta meminum khamr, bila ikrahnya itu taamm (sempurna) yaitu dengan berupa ancaman pelenyapan (nyawa atau anggota badan), karena hal-hal ini tergolong yang dibolehkan saat dlarurat.”
Juga dalam Badaa-i’u Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 186:
Adapun macam yang dirukhshahkan, maka ia itu adalah pelontaran ucapan kekafiran dengan lisan dengan disertai ketentraman hati dengan keimanan bila ikrahnya memang taamm (sempurna). Di mana ucapan kekafiran itu pada dasarnya adalah diharamkan namun ada rukhshah, maka rukhshah ini berpengaruh dalam perubahan hukum perbuatan yaitu pemberian sangsi bukan dalam perubahan sifatnya yaitu keharaman, karena ucapan kekafiran itu tergolong hal yang tidak mungkin dibolehkan sama sekali, sehingga keharaman itu tetap tegak berdiri namun pemberian sangsi menjadi gugur dengan keberadaan udzur ikrah, Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106)
Yaitu kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan, di mana di dalam firman Allah ini ada taqdim (pengedepanan) dan ta-khir (pengakhiran) pada susunanya, wallahu ta’ala a’lam.
Sedangkan penolakan dari mengucapkan kekafiran (saat ikrah taamm) adalah lebih utama dari melakukannya, sehingga seandainya dia menolak dan terus dibunuh maka dia mendapatkan pahala, karena dia mengorbankan dirinya di jalan Allah Ta’ala, dan diharapkan baginya pahala orang-orang yang berjihad dengan jiwanya, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
من قتل مجبرا في نفسه فهو في ظل العرش يوم القيامة
“Barangsiapa terbunuh seraya dipaksa pada jiwanya, maka dia itu berada di bawah naungan ‘Arasy di hari kiamat.”
Dan begitu juga pelontaran hinaan terhadap Nabi ‘alaihissalam (di saat ikrah taamm) dengan disertai ketentraman hati dengan keimanan.
Sedangkan landasan dalam hal ini adalah: Apa yang diriwayatkan bahwa ‘Ammar Ibnu Yasir radliyallahu ‘anhuma tatkala dipaksa oleh orang-orang kafir, dan ia kembali mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepadanya: Ada apa wahai ‘Ammar? Maka ia menjawab: Keburukan wahai Rasulullah, mereka tidak meninggalkanku sampai aku mencela engkau,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Bila mereka kembali, maka kembalilah.” Di mana Rsulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan rukhshah dalam pelontaran ucapan (kekafiran) dengan syarat ketentraman hati dengan keimanan (di saat ikrah), di mana beliau ‘alaihishshalatu wassalam memerintahkannya untuk kembali kepada apa yang muncul darinya, akan tetapi penolakan adalah lebih utama berdasarkan apa yang telah lalu.
Dan termasuk macam ini adalah penghinaan orang muslim, karena kehormatan orang muslim itu adalah haram diganggu pada setiap kondisi, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, kehormatannya dan hartanya,” akan tetapi dirukhshahkan baginya karena udzur ikrah, sedangkan pengaruh rukhshah itu hanyalah pada pengguguran sangsi (dosa) bukan (perubahan) status keharaman. Sedangkan penolakan darinya demi menjaga kehormatan orang muslim dan mengedepankannya terhadap dirinya adalah lebih utama. Dan termasuk macam ini juga adalah pelenyapan harta orang muslim, karena keharaman harta orang muslim itu adalah sama dengan keharaman darahnya berdasarkan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia tidak mungkin gugur sama sekali, namun dirukhshahkan baginya melenyapkan harta orang muslim itu karena udzur ikrah di saat kelaparan sebagaimana yang akan kami sebutkan, dan seandainya dia menolak sampai dia terbunuh, maka dia tidak dosa bahkan justeru dapat pahala, karena keharaman itu masih tegak berdiri. Sehingga dia dengan penolakan itu telah mengedepankan hak keharaman, maka saat itu dia mendapatkan bahala lagi tidak berdosa. Begitu juga pelenyapan harta milik pribadinya adalah dirukhshahkan dengan ikrah, akan tetapi hukum keharaman masih tetap berdiri, sehingga seandainya dia menolak sampai terbunuh, maka dia tidak dosa namun diberi pahala, karena keharaman hartanya tidaklah gugur dengan ikrah itu, bukankah ia dibolehkan untuk mempertahankan hartanya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berperanglah untuk membela hartamu,” begitu juga orang yang terkena kelaparan terus ia meminta makanan kepada temannya, namun temannya menolak dari memberinya sehingga dia pun menolak dari memakannya sampai mati, maka sesungguhnya dia itu tidak dosa berdasarkan apa yang telah kami utarakan bahwa dengan penolakannya itu dia telah menjaga sisi keharaman.
Ini bila ikrahnya itu taamm (sempurna), namun bila ikrahnya itu naqish (kurang) berupa pemenjaraan, pengikatan dan pemukulan yang tidak dikhawatirkan melenyapkan nyawa dan anggota badan, maka tidak dirukhshahkan baginya sama sekali, dan justeru dia divonis kafir walaupun dia mengatakan: Hatiku tentram dengan keimanan,” maka ucapan itu tidak dianggap di dalam vonis hukum ini berdasarkan apa yang akan kami utarakan.
Dan dia berdosa dengan sebab menghina orang muslim dan melenyapkan hartanya, karena dlarurat itu belum terealisasi (di saat ikrahnya naqish), dan begitu juga (berdosa) bila ikrahnya itu taamm (sempurna) akan tetapi kuat dugaan orang yang dipaksa bahwa orang yang memaksa itu tidak akan merealisasikan ancamannya, maka tidak dirukhshahkan baginya melakukan sama sekali, dan seandainya dia melakukannya maka dia berdosa karena dlaruratnya tidak terealisasi dan ikrahnya juga tidak terbukti. Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam.
Dan adapun macam yang tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan sama sekali dengan ikrah, maka ia itu adalah membunuh orang muslim tanpa hak, baik ikrahnya itu naqish (kurang) maupun taamm (sempurna), karena membunuh orang muslim tanpa hak itu adalah sama sekali tidak mungkin dibolehkan.
Dan beliau berkata juga:
Adapun macam pertama: maka ia itu adalah orang yang dipaksa untuk minum (khamr), dia tidak dikenakan had bila ikrahnya taamm (sempurna), karena had itu disyari’atkan sebagai penjera dari tindak pidana di masa mendatang, sedangkan meminum (khamr) itu tidak menjadi tindak pidana dengan sebab ikrah dan ia menjadi mubah bahkan wajib atasnya sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Adapun bila ikrahnya itu naqish (kurang), maka wajib dihad, karena ikrah yang naqish (kurang) itu tidak menyebabkan perubahan (hukum) perbuatan dari hukum yang ada sebelum ikrah dengan sebab apapun, sehingga ia tidak menyebabkan perubahan hukumnya. Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam.
Dan beliau berkata lagi:
ولو لم يخطر بباله شيء لا يحكم بكفره ويحمل على جهة الإكراه على ما مر والله سبحانه وتعالى أعلم هذا إذا كان الإكراه على الكفر تاما فأما إذا كان ناقصا يحكم بكفره لأنه ليس بمكره في الحقيقة لأنه ما فعله للضرورة بل لدفع الغم عن نفسه ولو قال : كان قلبي مطمئنا بالإيمان لا يصدق في الحكم لأنه خلاف الظاهر كالطائع إذا أجرى الكلمة ثم قال : كان قلبي مطمئنا بالإيمان ويصدق فيما بينه وبين الله تعالى
Dan seandainya tidak terlintas di benaknya sesuatupun, maka dia tidak divonis kafir dan hal itu dibawa ke arah ikrah berdasarkan apa yang telah lalu, Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam. Ini bila ikrahnya terhadap kekafiran itu adalah taamm (sempurna), adapun bila ikrahnya itu adalah naqish (kurang) maka dia divonis kafir, karena dia itu pada hakikatnya tidak mukrah, itu disebabkan dia tidak melakukannya karena dlarurat, akan tetapi untuk melenyapkan ghamm (kepenatan/pusing/kebingunan) dari dirinya, dan seandainya dia mengatakan: hatiku tentram dengan keimanan,” maka tidak dianggap di dalam vonis itu, karena ia bertentangan dengan dhahirnya, sama saja seperti orang yang tidak dipaksa bila dia melontarkan ucapan (kekafiran) terus berkata: Hatiku tentram dengan keimanan,” dan dianggap di antara dirinya dengan Allah Ta’ala.
Dan berkata juga:
Begitu juga wanita bila dia dipaksa untuk berzina, maka dia tidak dikenakan had, karena dengan sebab ikrah itu dia menjadi terpaksa memberikan kesempatan (dizinai) karena takut tebasan pedang, maka kewajiban had dihindarkan darinya, sebagaimana pada hak laki-laki juga, bahkan wanita lebih utama (untuk tidak kena had) dikarenakan yang ada darinya tidak lain adalah pemberian kesempatan saja, kemudian ikrah itu tatkala memiliki pengaruh pada diri si pria, maka lebih utama lagi ia memiliki pengaruh pada diri si wanita. Ini bila pemaksaan terhadap pria itu adalah taamm (sempurna).
Adapun bila ikrahnya itu naqish (kurang) berupa pemenjaraan, atau pengikatan atau pemukulan yang tidak dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya (nyawa atau anggota badan), maka dia wajib dikenakan had, berdasarkan apa yang telah lalu bahwa ikrah yang naqish itu tidak menjadikan orang yang dipaksa tersebut terdesak untuk melakukan apa yang dipaksakan, sehingga dia tetap dianggap leluasa maka dia-pun dikenakan sangsi hukum perbuatannya.
Adapun pada diri si wanita, maka tidak ada perbedaan antara ikrah taamm dengan ikrah naqish, dan had dihindarkan darinya di dalam dua macam ikrah ini, karena tidak didapatkan darinya tindakan zina, namun yang didapatkan adalah tamkin (pemberian keleluasaan), sedangkan ia itu telah keluar dari keberadaannya sebagai bukti keridloan dengan sebab ikrah, maka had-pun dihindarkan darinya.
Yang kami sebutkan ini adalah bila mukrah ‘alaih (apa yang dipaksakan terhadapnya) itu adalah mu’ayyan (tertentu).
Adapun bila ia itu mukhayyar fiih (bersifat ada pilihan di dalamnya), umpamanya seseorang dipaksa untuk melakukan satu dari dua tindakan yang tidak mu’ayyan dari ketiga macam urusan itu, maka kami katakan dengan taufiqullah: Adapun hukum yang kembali kepada urusan akhirat yaitu apa yang telah kami utarakan berupa ibahah (kebolehan), rukhshah dan keharaman yang muthlaq, maka tidak berbeda pemberian pilihan itu antara hal yang mubah dengan hal yang dirukhshahkan, yaitu bahwa ia (pemberian pilihan) itu menggugurkan hukum rukhshah, maksudnya bahwa setiap yang dibolehkan pada kondisi ta’yin (tertentu) adalah dibolehkan juga pada kondisi takhyir (pemberian pilihan), dan setiap yang tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan pada saat ta’yin adalah tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan pada saat takhyir, serta setiap yang dirukhshahkan pada saat ta’yin adalah dirukhshahkan juga pada saat takhyir, kecuali bila takhyir (pemberian pilihan) itu terjadi antara hal yang dibolehkan dengan hal yang dirukhshahkan.
Penjelasan ungkapan ini adalah: bila orang dipaksa untuk memakan bangkai atau membunuh orang muslim, maka dibolehkan baginya memakan bangkai dan tidak dirukhshahkan baginya membunuh itu, begitu juga bila dia dipaksa untuk makan bangkai atau melakukan suatu yang tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan pada saat ta’yin seperti memotong tangan, menghina orang muslim dan zina, maka dibolehkan baginya makan bangkai dan tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan sesuatupun dari hal-hal itu sebagaimana pada kondisi ta’yin, dan seandainya dia menolak memakan bangkai sampai dia dibunuh maka dia dosa sebagaimana pada kondisi ta’yin. Dan seandainya dia dipaksa untuk membunuh dan berzina, maka tidak dirukhshahkan baginya melakukan salah satunya, dan seandainya dia menolak dari melakukan kedua hal itu sampai dia dibunuh maka dia tidak dosa bahkan dia dapat pahala sebagaimana pada kondisi ta’yin. Dan seandainya dia dipaksa untuk membunuh atau melanyapkan harta seseorang, maka dirukhshahkan baginya melenyapkan harta, dan seandainya dia menolak dari melakukan salah satunya sampai dibunuh, maka dia tidak dosa bahkan dia mendapat pahala sebagaimana pada kondisi ta’yin. Begitu juga bila dia dipaksa untuk membunuh seseorang dan melenyapkan hartanya sendiri, maka dirukhshahkan baginya melenyapkan hartanya tapi tidak dirukhshahkan membunuh sebagaimana pada kondisi ta’yin, dan seandainya dia menolak dari melakukan dua hal itu sampai dibunuh, maka dia tidak dosa.
Dan begitu juga seandainya dia dipaksa untuk membunuh atau untuk melakukan kekafiran, maka dirukhshahkan baginya melontarkan ucapan kekafiran bila hatinya tentram dengan keimanan dan tidak dirukhshahkan baginya membunuh, dan seandainya dia menolak dari melakukan dua hal itu sampai dibunuh maka dia mendapat pahala sebagaimana pada kondisi ta’yin.
Adapun bila dipaksa untuk memakan bangkai atau melakukan kekafiran, maka pasal ini tidak disebutkan di dalam kitab ini, namun sepantasnya tidak dirukhshahkan pengucapan ucapan kekafiran baginya sama sekali sebagaimana tidak dirukhshahkan baginya membunuh, karena rukhshah dalam pelontaran ucapan kekafiran itu adalah karena kondisi dlarurat (keterdesakan) sedangkan dia bisa menolak dlarurat ini dengan suatu yang dibolehkan secara muthlaq yaitu memakan bangkai, sehingga pelontaran ucapan kekafiran itu terjadi tanpa paksaan sama sekali, makanya tidak ada rukhshah baginya. Wallahu A’lam.
Di dalam kitab Al Mabsuth milik Abu Bakar Muhammad Ibnu Abi Sahl As Sarkhasiy juz 7 hal 269 dikatakan:
“Taqiyyah itu hanya dengan lisan bukan dengan tangan, yaitu membunuh, sedangkan taqiyyah dengan lisan adalah pelontaran ucapan kekafiran dalam kondisi mukrah. Dari (Hudzaifah radliyallahu ‘anhu berkata: Fitnah (siksaan) cemeti itu lebih dasyat dari fitnah pedang,” Orang-orang bertanya kepadanya: Bagaimana itu bisa? Beliau berkata: Sesungguhnya seseorang dipukul dengan cemeti sampai dia naik kayu, yaitu orang yang akan disalibnya, dia dipukul dengan cemeti sampai naik tangga walaupun dia mengetahui apa yang akan diperlakukan kepadanya bila dia sudah naik).
Dan di dalamnya ada dalil yang menunjukan bahwa ikrah itu sebagaimana terbukti dengan ancaman bunuh, ia juga terbukti dengan ancaman pukulan yang dikhawatirkan bisa melenyapkan (nyawa atau anggota badan). Dan yang dimaksud dengan fitnah di sana adalah siksaan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Rasakanalah adzab kalian,” (Adz Dzariyat: 14), dan firman-Nya Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa kaum mu’minin dan mu’minat..” (Al Buruj: 10) yaitu mengadzab mereka. Jadi makna ucapan Hudzaifah itu adalah bahwa siksaan cemeti itu lebih menyakitkan daripada siksaan pedang, karena rasa sakit dalam pembunuhan dengan pedang itu adalah dirasakan saat itu saja, sedangkan rasa sakit dengan pukulan cemeti yang terus-menerus itu adalah dirasakan sampai diakhiri dengan kematian.
Pemilik Al Kitab Al Imam Abul Husen Ahmad Ibnu Muhammad Al Qaduriy Al Baghdadiy (362-428 H) berkata pada juz 1 hal 290:
- 61 Kitab Ikrah. Ikrah itu terbukti hukumnya bila muncul dari orang yang mampu menimpakkan apa yang diancamkannya baik dia itu penguasa ataupun perampok. Bila seseorang dipaksa untuk menjual hartanya atau membeli suatu barang atau untuk mengakui hutang seribu (dinar) pada seseorang atau untuk menyewakan rumahnya, dan dia dipaksa terhadap hal itu dengan pembunuhan atau pemukulan yang dahsyat atau dengan pemenjaraan yang lama, terus dia menjual atau membeli maka dia itu memiliki hak khiyar; bila dia mau maka dia meluluskan jual belinya dan bila dia mau maka dia bisa membatalkannya, dan bila dia telah menerima pembayaran secara suka rela maka berarti dia telah meluluskan jual belinya, dan bila dia menerima pembayaran secara mukrah maka hal itu bukan pelulusan jual beli dan dia harus mengembalikannya bila uangnya masih ada, dan bila barangnya itu rusak di tangan si pembeli sedangkan dia itu tidak mukrah maka dia harus mengganti nilainya, dan orang yang dipaksa bisa meminta ganti kepada yang memaksa bila dia mau.
Dan barangsiapa dipaksa untuk memakan bangkai atau meminum khamr, dan dia dipaksa terhadap hal itu dengan pemenjaraan atau pemukulan atau pengikatan, maka hal itu tidak halal baginya kecuali bila dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan kelenyapan nyawanya atau anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh melakukan apa yang dipaksakan terhadapnya dan dia tidak boleh sabar terhadap apa yang diancamkannya itu, dan bila dia sabar sampai mereka menimpakkan ancamannya itu dan dia tidak makan, maka dia dosa.
Dan bila dia dipaksa untuk kafir kepada Allah ‘Azza wa Jalla atau untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengikatan atau pemenjaraan atau pemukulan maka hal itu tidak dianggap ikrah sampai dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh menampakkan apa yang mereka perintahkan dan dia melakukan tauriyah (penyamaran ucapan), kemudian bila dia menampakkan hal itu sedangkan hatinya tentram dengan keimanan maka tidak ada dosa atasnya, namun bila dia bersabar sampai terbunuh dan dia tidak menampakkan kekafiran maka dia mendapatkan pahala.
Di dalam Al Lubab Fi Syarhi Al Kitab juz 4 hal 16 dikatakan:
“(Dan barangsiapa dipaksa untuk memakan bangkai) atau darah atau daging babi (atau meminum khamr, dan dia dipaksa terhadap hal itu) dengan ikrah ghair muljii’ umpamanya (dengan pemenjaraan atau pengikatan atau pemukulan) yang tidak dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badan (maka tidak halal baginya) melakukan hal itu, karena tidak ada dlarurat pada ikrah ghair muljii’ akan tetapi dia tidak dikenakan had dengan sebab meminum khamr karena ada syubhat, dan tidak halal baginya melakukan (kecuali bila dia dipaksa) dengan ikrah muljii’, yaitu (dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan) kelenyapan (nyawanya atau) kelenyapan (anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh melakukan apa yang dipaksakan terhadapnya), bahkan hal itu wajib atasnya, oleh sebab itu beliau berkata (dan dia tidak boleh sabar terhadap apa yang diancamkannya itu) sampai mereka benar-benar menimpakkan ancamannya itu, (dan bila dia sabar sampai mereka menimpakkan ancamannya itu) secara benar-benar (dan dia tidak makan, maka dia dosa), karena sesungguhnya tatkala hal itu dibolehkan baginya, maka dengan penolakkannya itu dia berarti telah membantu orang lain dalam membinasakan dirinya, sehingga dia dosa sebagaimana pada kondisi kelaparan.
(Dan bila dia dipaksa untuk kafir kepada Allah) ‘Azza wa Jalla (atau untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengikatan atau pemenjaraan atau pemukulan maka hal itu tidak dianggap ikrah) karena ikrah dengan hal-hal ini bukanlah ikrah di dalam meminum khamr sebagaimana yang telah lalu, maka lebih bukan sebagai ikrah lagi di dalam kekafiran, akan tetapi harus (sampai dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh menampakkan) lewat lisannya (apa yang mereka perintahkan dan dia melakukan tauriyah (penyamaran ucapan)) yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dirahasiakan, (kemudian bila dia menampakkan hal itu) lewat lisannya (sedangkan hatinya tentram dengan keimanan maka tidak ada dosa atasnya), karena dengan penampakkan hal itu maka iman sebenarnya tidak lenyap karena keberadaan tashdiq, sedangkan dalam penolakan itu menyebabkan lenyapnya nyawa secara sebenarnya, sehingga dia boleh cenderung menampakkan apa yang mereka minta, (namun bila dia bersabar) terhadap hal itu (sampai terbunuh dan dia tidak menampakkan kekafiran maka dia mendapatkan pahala), karena penolakkan demi kemuliaan dien adalah ‘azimah.
(Dan bila dipaksa untuk melenyapkan harta) orang (muslim dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan keselamatan nyawanya atau salah satu anggota badannya, maka dia boleh melakukan hal itu) karena harta orang lain dibolehkan saat dlarurat sebagaimana pada kondisi kelaparan sedangkan dlarurat itu sudah terbukti, (dan si pemilik harta boleh meminta ganti kepada orang yang memaksa) dikarenakan orang yang dipaksa itu adalah seperti alat. (Dan bila dia dipaksa dengan ancaman dibunuh agar dia membunuh orang lain, maka dia tidak boleh melakukan pembunuhan itu dan dia harus sabar sampai terbunuh, dan bila dia malah membunuh maka dia berdosa) karena membunuh orang muslim itu tergolong hal yang tidak dibolehkan karena suatu dlarurat, maka begitu juga dengan dlarurat ini (akan tetapi wajib qishash atas orang yang memaksanya bila pembunuhannya sengaja. Beliau berkata di dalam Al Hidayah: Ini menurut Abu Hanifah dan Muhammad, dan Zufar berkata: wajib atas orang yang dipaksa,” dan Abu Yusuf berkata: tidak wajib atas keduanya.” Selesai.
Setelah penjelasan ini, maka orang bisa jadi mengatakan: Kenapa engkau menguatkan bahwa ikrah mu’tabar yang menjadi udzur syar’iy itu adalah apa yang bersifat pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan, kenapa engkau menguatkan hal ini padahal ada orang yang mengatakan bahwa di sana ada perselisihan ulama? Maka kenapa engkau terlalu memperketat di dalam masalah ini padahal Allah telah melapangkannya?
Maka kami katakan: Sesungguhnya itu adalah pentarjihan para ulama, dan pentarjihan kami bagi sisi ini dari masalah tersebut bukanlah serampangan, dan itu berdasarkan sebab-sebab berikut ini:
Pertama: Sesungguhnya masalah yang berkaitan dengan ikrah ini adalah masalah yang sangat besar yang tidak tersamar keagungannya kecuali atas orang yang bashirahnya telah Allah tutup, yaitu kekafiran kepada Allah Yang Maha Agung.
Kedua: Sesungguhnya orang-orang yang menyelisihi sebagaimana yang telah kami uraikan adalah menjelaskan secara global dan tidak melakukan perincian di dalam masalah ini, sedangkan kemungkinan yang terjadi adalah bahwa mereka itu tidak memaksudkan perselisihan di dalam ikrah yang berkaitan dengan penampakkan kekafiran, namun mereka hanya memaksudkan perselisihan di dalam permasalahan yang lebih rendah dari penampakkan kekafiran.
Ketiga: Sesungguhnya dalil-dalil yang dijadikan sandaran oleh para ulama dalam masalah penampakkan kekafiran saat ikrah itu semuanya bermuara pada kondisi ikrahnya itu berupa ancaman pembunuhan atau pemotongan anggota badan atau lenyapnya anggota badan akibat pemukulan, dan juga keberadan ikrahnya itu langsung saat itu juga, maka yang lebih hati-hati dalam masalah seperti ini yang berkaitan dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah memegang dalil seperti apa adanya agar ia selamat dari keterjatuhan di dalam kekafiran atau kemusyrikan tanpa dia sadari, wal ‘iyadzu billah.
Adapun dalil-dalil yang mengukuhkan ucapan kami yang telah lalu itu, maka ia adalah sebagaimana berikut ini:
Ibnu Taimiyyah berkata:
(Saya telah mengamati berbagai madzhab, maka ternyata saya mendapatkan bahwa ikrah itu berbeda-beda tergantung mukrah ‘alaih (apa yang dipaksakan terhadapnya), di mana ikrah yang mu’tabar di dalam ucapan kekafiran tidaklah sama dengan ikrah yang mu’tabar di dalam hibah dan yang serupa itu. Sesungguhnya Ahmad telah menegaskan di dalam banyak tempat bahwa ikrah terhadap kekafiran itu tidak terbukti kecuali dengan penyiksaan berupa pemukulan dan pengikatan, dan (ancaman) ucapan itu tidaklah dinilai sebagai ikrah). (Ad Difaa’ ‘An Ahlissunnah Wal Ittibaa’ milik Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq hal 32 dan Majmu’ah At Tauhid hal 419 di dalam risalah ke 12 milik Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq juga).
Dalil yang menunjukkan bahwa ikrah yang mu’tabar di dalam kekafiran itu adalah ikrah yang taamm (sempurna).
Ada di dalam Tafsir Al Baidlawiy juz 1 hal 421:
Firman Allah Ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106).
Ia adalah dalil yang menunjukkan kebolehan pengucapan kekafiran saat ikrah, walaupun yang lebih utama adalah menjauhinya demi pengokohan dien ini sebagaimana yang dilakukan oleh kedua orang tua ‘Ammar, dan berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Musailamah (Al Kadzdzab) menangkap dua orang pria, terus dia berkata kepada salah satunya: Apa pendapatmu tentang Muhammad? Maka ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Maka bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Engkau,” maka dia melepaskannya, dan dia berkata kepada yang lain: Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad? Ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Dan bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Aku tidak bisa mendengar,” maka Musailamah mengulangi pertanyaannya tiga kali kepadanya dan ia-pun mengulangi jawabannya yang sama, maka dia membunuhnya, kemudian hal itu sampai beritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata:
أما الأول فقد أخذ رخصة الله وأما الثاني فقد صدع بالحق فهنيئا له تفسير أبي السعود
Adapun orang yang pertama, maka ia telah mengambil rukhshah Allah, dan sedangkan yang kedua maka ia telah menjaharkan kebenaran, maka alangkah bahagianya dia.”
Di dalam Tafsir Abu As Su’ud juz 5 hal 143:
Allah Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (١٠٧) أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٠٨)
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.” (An Nahl: 107-108).
Diriwayatkan bahwa Quraisy telah memaksa ‘Ammar dan kedua orang tuanya yaitu Yasir dan Sumayyah untuk murtad, namun kedua orang tuanya menolak maka mereka mengikat Sumayyah di antara dua unta dan ia ditusuk dengan tombak di kemaluannya dan mereka mengatakan: Sesungguhnya dia itu masuk Islam hanyalah demi laki-laki,” dan merekapun membunuhnya dan membunuh Yasir juga. Keduanya adalah dua orang pertama yang terbunuh di dalam Islam. Adapun ‘Ammar, maka ia memberikan kepada mereka dengan lisannya apa yang mereka paksakan terhadapnya, maka dikatakan: Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Ammar telah kafir,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Tidak, sesungguhnya ‘Ammar itu penuh dengan keimanan dari ujung kepala sampai ujung telapak kaki, dan iman telah menyatu dengan daging dan darahnya,” kemudian ‘Ammar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menangis, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua matanya dan berkata: Bila mereka mengulangi lagi hal itu kepadamu, maka ulangilah kepada mereka dengan apa yang telah kamu katakan.”
Ia adalah dalil yang menunjukkan kebolehan pengucapan kekafiran saat ikrah muljii’, walaupun yang lebih utama adalah menjauhinya demi pengokohan dien ini sebagaimana yang dilakukan oleh kedua orang tua ‘Ammar, dan berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Musailamah (Al Kadzdzab) menangkap dua orang pria, terus dia berkata kepada salah satunya: Apa pendapatmu tentang Muhammad? Maka ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Maka bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Engkau,” maka dia melepaskannya, dan dia berkata kepada yang lain: Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad? Ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Dan bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Aku tidak bisa mendengar,” maka Musailamah mengulangi pertanyaannya tiga kali kepadanya dan ia-pun mengulangi jawabannya yang sama, maka dia membunuhnya, kemudian hal itu sampai beritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata:
أما الأول فقد أخذ برخصة وأما الثاني فقد صدع بالحق
Adapun orang yang pertama, maka ia telah mengambil rukhshah Allah, dan sedangkan yang kedua maka ia telah menjaharkan kebenaran.”
Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsir-nya juz 10 hal 170:
Firman Allah Ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106).
Di dalamnya ada 21 masalah. Beliau berkata:…..
Kedua: Firman-Nya Ta’ala “kecuali orang yang dipaksa” ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir menurut pernyataan para ahli tafsir, karena ‘Ammar mengiyakan sebagian apa yang mereka paksakan kepadanya. (Ibnu ‘Abbas berkata: Kaum musyrikin menangkapnya dan mereka menangkap bapaknya dan Sumayyah ibunya juga Shuhaib, Bilal, Khabbab dan Salim, terus mereka menyiksanya. Sumayyah diikat di antara dua unta dan kemaluannya ditusuk dengan tombak serta dikatakan kepadanya: Kamu masuk Islam itu hanyalah karena laki-laki,” terus ia dibunuh dan Yasir suaminya juga dibunuh, dan keduanya adalah dua orang pertama yang terbunuh di dalam Islam.
Adapun ‘Ammar, maka ia memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan dengan lisannya seraya mukrah (dipaksa), kemudian ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: Bagaimana kamu dapatkan hatimu? Ia menjawab: Tentram dengan keimanan,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Bila mereka mengulangi, maka ulangilah).
Dan (Manshur Ibnu Al Mu’tamir meriwayatkan dari Mujahid, berkata: Syahidah pertama di dalam Islam adalah ibu ‘Ammar di mana ia dibunuh oleh Abu Jahal, sedangkan syahid pertama dari kalangan pria adalah Mahja’ maula Umar) Dan (Manshur meriwayatkan juga dari Mujahid, berkata: Orang yang paling pertama menampakkan keislaman itu tujuh orang: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Bilal, Khabbab, Shuhaib, ‘Ammar, Sumayyah Ibu ‘Ammar. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau dilindungi Abu Thalib, dan adapun Abu Bakar maka ia dilindungi kaumnya. Sedangkan yang lain maka mereka ditangkap oleh Quraisy terus mereka memaksa memakaikan pakaian besi kepada mereka kemudian mereka menjemur orang-orang lemah itu di terik matahari sampai mereka mengalami puncak kepayahan akibat panasnya besi dan matahari. Tatkala sore hari maka Abu Jahal mendatangi mereka dengan membawa tombak pendek, dia menghina mereka dan mengumpat mereka dan dia mendatangi Sumayyah terus dia menghinanya dan menendanginya kemudian dia menusuk kemaluannya sampai tombak itu tembus keluar dari mulutnya sehingga membuatnya terbunuh radliyallahu ‘anha). Berkata: Dan yang lain mengatakan apa yang mereka minta kecuali Bilal, di mana ia merasa ringan jiwanya dengan penderitaan di jalan Allah, maka mereka-pun menyiksanya dan mengatakan kepadanya: Baliklah kamu dari agamamu,” sedangkan ia mengatakan “Ahad Ahad” sampai mereka merasa bosan.
Keempat: Para ulama sepakat bahwa barangsiapa dipaksa untuk kafir sampai dia mengkhawatirkan dirinya dibunuh maka dia tidak dosa bila melakukan kekafiran sedangkan hatinta tentram dengan keimanan dan isterinya tidak lepas darinya dan dia tidak divonis kafir, ini adalah pendapat Malik, Kufiyyun dan Asy Syafi’iy, akan tetapi Muhammad Ibnul Hasan berpendapat lain dan mengatakan: Bahwa bila dia menampakkan kemusyrikan maka dia murtad secara dhahir sedangkan di antara dirinya dengan Allah Ta’ala adalah dia itu muslim dan istrerinya menjadi lepas darinya, dan bila dia mati maka tidak dishalatkan dan tidak mewarisi bapaknya bila bapaknya itu mati dalam keadaan muslim,” ini adalah pendapat yang tertolak oleh Al Kitab dan Assunnah, di mana Allah Ta’ala berfirman:”kecuali orang yang dipaksa..” (An Nahl: 106), dan berfirman:”kecuali kalian dalam rangka siasat memelihara diri dari mereka,”(Ali Imran: 28), dan berfirman:”…..”(Annisa: 97-98), di mana Allah mengudzur kaum mustadl’afin yang menolak dari meninggalkan apa yang Allah perintahkan, sedangkan orang mukrah itu tidak lain adalah orang mustadl’af yang tidak menolak dari melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, ini dikatakan oleh Al Bukhari.
Asy Syaukaniy berkata di dalam Fathul Qadir juz 3 hal 282:
Firman Allah Ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106).
Firman-Nya “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman” Al Qurthubiy berkata:
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa diapaksa untuk kafir sampai dia mengkhawatirkan dirinya dibunuh maka dia tidak dosa bila melakukan kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan dan isterinya tidak lepas darinya dan dia tidak divonis kafir, ini adalah pendapat Malik, Kufiyyun dan Asy Syafi’iy, akan tetapi Muhammad Ibnul Hasan berpendapat lain dan mengatakan: Bahwa bila dia menampakkan kemusyrikan maka dia murtad secara dhahir sedangkan di antara dirinya dengan Allah Ta’ala adalah dia itu muslim dan istrerinya menjadi lepas darinya, dan bila dia mati maka tidak dishalatkan dan tidak mewarisi bapaknya bila bapaknya itu mati dalam keadaan muslim,” ini adalah pendapat yang tertolak oleh Al Kitab dan Assunnah. Dan Al Hasan Al Bashriy, Al Auza’iy, Asy Syafi’iy dan Sahnun berpendapat bahwa rukhshah yang disebutkan di dalam ayat ini hanyalah berkaitan dengan ucapan saja, dan adapun perbuatan maka tidak ada rukhshah di dalamnya, seperti orang dipaksa untuk sujud kepada selain Allah. Namun pendapat ini tertolak oleh dhahir ayat itu, di mana ayat itu umum prihal orang yang dipaksa tanpa perbedaan antara antara ucapan dengan perbuatan, dan juga tidak ada dalil bagi orang-orang yang membatasi ayat pada ucapan saja, sedangkan kekhususan sebab itu tidaklah dianggap bila lafadhnya itu umum, sebagaimana yang sudah baku di dalam ilmu Ushul. Kalimat “sedangkan hatinya tentram dengan keimanan” adalah pada posisi nashab sebagai haal dari mustatsna (orang yang dikecualikan): yaitu kecuali orang yang kafir dengan ikrah sedangkan keadaannya bahwa hatinya itu tentram dengan keimanan lagi tidak berubah aqidahnya, dan bukan setelah ancaman yang besar ini yaitu penggabungan bagi orang-orang murtad itu antara murka Allah dengan siksaan-Nya yang besar..”
Dan saya mendapatkan ucapan salah seorang syaikh masa kini yang di dalamnya ia menjelaskan apa yang telah kamu kukuhkan sebelumnya -walhamdulillah- dan ia menjelaskan bahwa hujjah yang dijadikan sandaran oleh jumhur yang mengatakan bahwa ikrah terhadap kekafiran itu tidak menjadi rukhshah kecuali dengan ikrah muljii’ dan tidak bisa dengan yang lebih rendah dari itu. Di mana ia berkata di dalamnya: (Dan hujjah bagi pendapat jumhur adalah sebab nuzul ayat, karena sesungguhnya ‘Ammar Ibnu Yasir tidak mengucapkan kekafiran sampai terlebih dahulu disiksa oleh kaum musyrikin, di mana sesuai kisah yang masyhur bahwa ia adalah sebab nuzul firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman.” (An Nahl: 106). Ibnu Hajar berkata: (Dan yang masyhur bahwa ayat itu turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir, sebagaimana telah datang dari jalur Abu ‘Ubaidah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar Ibnu Yasir berkata: Kaum musyrikin menangkap ‘Ammar terus mereka menyiksanya sampai mereka bisa menekannya menyetujui sebagian apa yang mereka inginkan, maka ia mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepadanya: Bagaimana engkau dapati hatimu? Ia berkata: Tentram dengan keimanan,” beliau berkata: Bila mereka kembali melakukan (hal itu), maka kembalilah engkau lakukan.” Atsar ini mursal sedangkan para perawinya tsiqat, telah dikeluarkan oleh Ath Thabariy dan diterima juga oleh Abdurrazzaq, dan telah meriwayatkan darinya ‘Abd Ibnu Humaid).(Fathul Bariy 12/312).
Dan Al Bukhari sebagaimana biasanya telah mengisyaratkan secara halus kepada batasan ikrah yang menjadi rukhshah dalam kekafiran, dan itu ada pada bab (Orang yang memilih dipukul, dibunuh dan dihinakan daripada kekafiran) di Kitab Ikrah dari kitab Shahih-nya, dan di dalamnya beliau menuturkan 3 hadits, yang pertama hadits Anas secara marfu’
ثلاث من كُنّ فيه وجد حلاوة الإيمان ــ ومنها ــ وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار
(Tiga hal yang barangsiapa hal-hal itu ada pada dirinya, maka ia pasti mendapatkan manisnya keimanan -di antaranya- dan ia membenci kembali ke dalam kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam api neraka)
Di mana di dalamnya ada isyarat bahwa kembali kepada kekafiran itu sebanding dengan masuk neraka yang berarti kebinasaan, sehingga tidak dirukhshahkan di dalam kekafiran kecuali saat khawatir binasa dan lenyap nyawa, dan ini adalah pendapat jumhur.
Hadits kedua: Dari Said Ibnu Zaid berkata: “Sungguh aku telah melihat diriku sedangkan Umar mengikatku karena saya masuk islam,” di dalam hadits ini ada penjelasan bahwa Umar Ibnul Khaththab -sebelum masuk islam- pernah mengikat Said Ibnu Zaid, ia mengikatnya supaya Said murtad dari Islam, akan tetapi pengikatan itu tidak menjadi rukhshah baginya dalam hal itu, dan di dalamnya ada isyarat bantahan terhadap Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa pemenjaraan dan pengikatan adalah ikrah terhadap kemurtaddan.
Kemudian Al Bukhariy menuturkan hadits Khabbab secara marfu’
قد كان من قبلكم يؤخذ الرجل فيُحفر له في الأرض فيُجعل فيها، فيجاء بالمنشار فيوضع على رأسه فيُجعل نصفين، ويمشط بأمشاط الحديد من دون لحمه وعظمه، فما يصدّه ذلك عن دينه
(Sungguh umat sebelum kalian dahulu ada seorang pria yang ditangkap terus dibuatkan lobang di tanah baginya kemudian dia dimasukan ke dalamnya, kemudian didatangkan gergaji terus diletakkan di atas kepalanya dan kemudian dia dibelah dua, dan dia dicabik-cabik antara daging dan tulangnya dengan sisir besi, akan tetapi hal itu tidak menghalangi dirinya dari diennya…)
Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memuji orang yang memilih dibunuh dan disiksa daripada kafir, dan Al Bukhariy mengisyaratkan dengan hal itu kepada dalil yang selaras dengan ijma bahwa orang yang memilih dibunuh daripada kafir itu adalah lebih besar pahalanya. Dan tiga hadits yang disebutkan di sini nomor-nomornya adalah (6941, 6942, 6943).
Setelah penjelsan dan keterangan ini terhadap batasan ikrah yang mu’tabar di dalam penampakkan kekafiran kepada Allah ini, maka kami bisa mengatakan bahwa pendapat yang rajih di dalamnya adalah bahwa ikrah yang mu’tabar di dalam penampakkan kekafiran kepada Allah Yang Maha Agung adalah ikrah muljii’, yaitu ikrah yang melenyapkan ridlo dan merusak ikhtiyar di dalamnya atau ia adalah ikrah yang tidak menyisakan bagi orang itu sedikitpun qudrah (kemampuan) dan ikhtiyar atau ikrah yang dengan sebabnya perbuatan yang muncul darinya menjadi seperti tidak ada perbuatan. Sedangkan ini tidak terbukti kecuali bila yang dijadikan ancaman kepada seseorang itu adalah pembunuhan atau pemotongan anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan, sedangkan selain itu maka bukan ikrah mu’tabar di dalam penampakkan kekafiran kepada Allah, wallahu a’lam.
Dan tidak lupa juga kami ingatkan kepada hal penting yang telah disebutkan oleh para ulama di sela-sela pengkajian mereka terhadap masalah ini, yaitu wajibnya memakai tauriyah (pengucapan ucapan yang samar) pada kondisi penampakkan kekafiran bila hal itu terlintas di benak orang yang dipaksa.
Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsirnya juz 10 hal 170:
Ketujuh belas: Ulama muhaqqiqin berkata: Bila orang yang dipaksa mengucapkan kekafiran maka tidak boleh baginya melontarkannya lewat lisannya kecuali dengan kata-kata yang samar, karena pada kata-kata yang samar itu memiliki kadar kecukupan yang bisa menghindarkan dari dusta, dan bila tidak dilakukan seperti itu maka dia itu kafir, karena kata-kata yang samar itu tidak ada kekuasaan ikrah terhadapnya, umpamanya: Dikatakan kepada seseorang “kafirlah kamu kepada Allah” maka orang yang dipaksa mengatakan “.. kafir kepada allahiy” dengan menambahkan huruf ya, begitu juga bila dikatakan kepadanya “kafirlah kamu kepada Nabi” maka dia mengatakan “kafir kepada nabiy” seraya mentasydidkannya, yang maknanya adalah tempat yang tinggi dari bumi, dan kadang dipakai juga untuk tempat hidangan, di mana di hatinya dia memaksudkan kepada salah satunya dan dia baraa’ dari kekafiran dan baraa’ dari dosanya. Bila dikatakan kepadanya: kafirlah kepada nabi’ “ dengan pakai hamzah, maka ia mengatakan: ia kafir kepada nabi’ “ seraya dia memaksudkan orang yang memberikan kabar siapa saja, seperti Thulaihah dan Musailamah Al Kadzab, atau ia memaksudkan nabi’ yang dikatakan oleh seorang penyair:
( فأصبح رتما دقاق الحصى … مكان النبيء من الكاثب )
Di dalam Al Lubab Fi Syarhi Al Kitab juz 4 hal 16 dikatakan:
(Dan bila dia dipaksa untuk kafir kepada Allah) ‘Azza wa Jalla (atau untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengikatan atau pemenjaraan atau pemukulan maka hal itu tidak dianggap ikrah) karena ikrah dengan hal-hal ini bukanlah ikrah di dalam meminum khamr sebagaimana yang telah lalu, maka lebih bukan sebagai ikrah lagi di dalam kekafiran, akan tetapi harus (sampai dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh menampakkan) lewat lisannya (apa yang mereka perintahkan dan dia melakukan tauriyah (penyamaran ucapan)) yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dirahasiakan, (kemudian bila dia menampakkan hal itu) lewat lisannya (sedangkan hatinya tentram dengan keimanan maka tidak ada dosa atasnya), karena dengan penampakkan hal itu maka iman sebenarnya tidak lenyap karena keberadaan tashdiq, sedangkan dalam penolakan itu menyebabkan lenyapnya nyawa secara sebenarnya, sehingga dia boleh cenderung menampakkan apa yang mereka minta, (namun bila dia bersabara) terhadap hal itu (sampai terbunuh dan dia tidak menampakkan kekafiran maka dia mendapatkan pahala), karena penolakkan demi kemuliaan dien adalah ‘azimah.
* * *