Jumat, 30 Mei 2014

TSIQOH MUTABADILAH ANTARA ANGGOTA JAMAAH DAN QIYADAH

Tsiqoh Mutabadilah Antara Anggota Jamaah Dan Qiyadah

Fardhu dakwah dan jihad di jalan Allah adalah beban syar’i yang tidak bisa dipikul oleh individu secara sendirian tanpa bantuan saudara muslim yang lain betapapun hebat kemampuan individu tersebut. Keduanya merupakan kewajiban syar’i yang mesti dipikul secara bersama-sama, secara berjamaah. Kebersamaan itu harus diwujudkan dalam kerjasama (amal jama’i) yang rapi. Dari sini kemudian, kebutuhan akan jamaah yang rapi pengorganisasianya dan solid hubungan antar individu yang ada di dalamnya merupakan hal yang sangat penting. Tidak saja demi kepentingan tugas-tugas iqomatuddien, tapi juga untuk melindungi para muqimuddien dan aktifitas iqomatudien itu sendiri dari berbagai gangguan.
Tekanan dan serangan dari luar jamaah, betapapun dahsyatnya tak akan menimbulkan permasalahan berarti, manakala kondisi internal bangunan jamaah tersebut telah kokoh. Sebaliknya, bangunan itu bisa saja runtuh dari dalam, hanya karena rongrongan fitnah dan friksi internal. Ancaman dari dalam ini lebih berbahaya. Bila tidak dibenahi, ia bisa menjadi bom waktu yang dapat meledakkan bangunan jamaah tersebut.
Secara institusional, jamaah dakwah dan jihad harus dibangun dengan rapi dan kokoh, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”(QS. Ash-Shaf: 4)
Dalam struktur sebuah jamaah tentu ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Keduanya harus memiliki tsiqah yang sehat secara timbal balik. Bagi para anggota, tsiqahnya adalah ketenangan hati kepada pemimpin. Sikap ini tak akan lahir dari doktrin semata. Loyalitas anggota pada pemimpin, terbentuk dari sentuhan dan interaksi seorang anggota secara langsung kepada pemimpinnya, hingga tumbuh keyakinan akan kebersihan niat, kualitas moral, kapasitas kepemimpinan, dan keluasan wawasan pemimpin.
Sebaliknya, seorang pemimpin juga harus memiliki rasa tsiqah kepada para anggotanya. Para pemimpin harus percaya terhadap keikhlasan, kapasitas, kualitas, dan komitmen anggotanya.Tsiqah secara timbal balik seperti ini (tsiqah mutabadilah) yang akan memelihara kekuatan soliditas jamaah karena dikendalikan pemimpin yang bisa dipercaya dan anggota yang taat.
Mengamalkan rasa tsiqah, membutuhkan kesabaran yang besar. Utamanya bila ada ketidakcocokan seorang anggota jamaah dengan kebijakan pimpinannya, atau kebijakan jamaah secara umum.
Melontarkan gagasan, ide atau usulan merupakan sikap positif, sepanjang dilakukan secara etis, proporsional dan benar. Namun, tak mesti sampai merasa hanya pendapatnya yang paling benar. Atau, boleh jadi benar, tapi jamaah belum bisa menerimanya karena berbagai hal yang menghalangi penerapannya. Seperti kemampuan jamaah yang terbatas, atau karena sedang memfokuskan perhatian pada masalah lain yang lebih penting. Di sini nampak urgensihusnudhon sebagai salah satu pilar utama tsiqoh anggota kepada qiyadah jamaah. Bila yang dikedepankan adalah suudhan, maka ketika usul dan inisiatifnya tidak terakomodasi dan tidak terealisasi, yang muncul adalah penilaian miring terhadap kinerja dan kapasitas qiyadah.
Struktur jamaah yang solid bukan berarti menolak sikap kritis. Sikap kritis dalam jamaah adalah sikap kritis untuk hal-hal yang tidak ada nash qoth’inya atau yang telah menjadi hasil syura. Seperti pertanyaan Khabbab bin al-Mundzir radhiyallahu ‘anhu di perang Badr, “Apakah dalam memilih tempat ini, engkau menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah berdasarkan strategi peperangan?” Seperti juga penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat diminta tetap di Madinah menjelang perang Uhud, karena hasil syura menetapkan untuk menyongsong musyrikin Quraisy di luar Madinah. Demikian pula, tidak layak untuk mengkritisi kebijakan qiyadah jamaah dalam masalah ijtihadiah yang telah ditetapkan berdasarkan kajian dari sisi syar’i maupun aqli (tinjauan akal sehat) yang dilakukan pihak-pihak yang dianggap paling berkompeten dan berwenang dalam masalah tersebut. Sikap menolak kebijakan semacam ini karena berseberangan dengan pandangan pribadinya, walaupun atas nama bersikap kritis dan tidak ingin bersikap “mbebek” atau “kerbau dicucuk hidung” dalam berjamaah, jelas mengindikasikan telah berkurangnya tsiqoh orang tersebut kepada qiyadah jamaah.
Gejala faqduts tsiqoh (kehilangan tsiqoh) semacam itu perlu dicermati dan diwaspadai. Gejala lain yang juga merupakan indikasi mulai luruhnya tsiqoh anggota kepada qiyadahnya adalah adanya keengganan seseorang untuk dipimpin oleh orang-orang yang berada di bawah dirinya dalam hal pengalaman organisasi, latarbelakang pendidikan dan senioritas dalam berjamaaah. Sempat didapati kasus-kasus di lapangan semacam itu. Berikut ini kita nukilkan sebuah dialog antara seorang anggota sebuah pergerakan dengan seorang ustadz seniornya mengenai gejala runtuhnya tsiqoh pada diri seseorang. Dialog ini diambil dari sebuah blog di internet namun dari isinya jelas sekali bahwa ustadz tersebut berilmu dan berpengalaman dalam dunia pergerakan. Dialog tersebut sangat bermanfaat dan relevan dengan pembahasan ini. Tidak semua muatan dialog diambil karena ada sebagian hal yang tidak relevan dan tidak pas dengan manhaj pergerakan jamaah ini.
Pada suatu saat seorang aktifis pergerakan Islam mengadukan kegundahannya kepada seorang ustadz. Ia membeberkan hubungannya yang tidak harmonis dengan atasannya. Sebut saja Ahmad.
Ahmad: Saya berharap kiranya ustadz berkenan memberikan bimbingan praktis agar saya lega terhadap posisi saya dalam sebuah jabatan. Saya sekarang ini menjadi bawahan orang yang secara usia, pengalaman organisasi dan jenjang pendidikannya jauh dibawah saya. Saya mengharapkan jawaban itu karena saya sendiri sedang tidak stabil, secara dakwah, keimanan dan kejiwaan. Tsiqoh saya dalam organisasi ini demikian terganggu karena fenomena ini.
Ustadz: Akhi, terima kasih atas kepercayaan antum kepada saya sehingga sudi menyampaikan pertanyaan kepada saya. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua berada seperti kadar kepercayaan tersebut.
Akhi, keterlibatan antum dalam aktifitas Islam menurut saya merupakan sesuatu yang luar biasa.
Pertama-tama antum adalah seseorang yang komitmen terhadap agama antum dan cinta kepadanya. Antum sadar sepenuhnya akan tujuan dan peran yang mesti antum mainkan selaku makhluk yang diciptakan untuk itu. Antum juga memiliki cara pandang yang jelas dan bashirah yang membuat antum mampu menentukan jalan dan sarana yang akan antum tempuh untuk mencapai tujuan dengan memainkan peran itu. Kita memohon kepada Allah kiranya menjadikan bashirah itu memantulkan cahaya Allah Ta’ala.
Apa yang antum katakan itu menuntunku untuk memberikan jawaban yang luas. Terutama ketika saya melihat umur yang antum sebutkan itu. Dengan karunia Allah ternyata antum berada pada kematangan usia dan akal pikiran yang membuat antum bisa menilai sesuatu secara terukur serta menjaga antum dari ketergesaan seorang pemuda.
Saya ingin membagi jawabannya menjadi dua bagian: Pertama saya tujukan kepada antum. Kedua, saya tujukan untuk semua qiyadah dalam harakah Islamiyah dan semua organisasi dakwah Islam.
Untuk antum, saya tidak akan memperpanjang kata, sebab saya yakin antum sering mendengar kata-kata semacam ini melalui qiyadah antum. Juga antum telah sering membaca hal-hal yang berkaitan dengan etika amal jama’i. Tugas saya kepada antum hanyalah mengingatkan dan memfokuskan perhatian kepada hal-hal yang boleh jadi terlupakan.
Akhi Ahmad,
Saya akan memulai jawaban ini dengan berita gembira dari kekasih kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau sampaikan kepada siapa saja yang berbuat untuk Islam seperti antum. Yang bisa jadi mereka tidak mendapatkan hak manusiawinya atau penghargaan duniawinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, “ Berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya dan berdebu kakinya. Jika berjaga ia tetap berjaga. Jika bertugas di belakang ia tetap di belakang. Ketika meminta izin tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan.”
Menurut saya, antum tidak perlu penjelasan tentang hadits tersebut. Yang tentu saja tidak hanya berlaku dalam perang atau kaitannya dengan pangkat dalam militer. Namun ia berlaku bagi semua amal di jalan Allah yang ditujukan untuk berkhidmat bagi Islam.
Selamat bagi siapa saja yang tidak mengagungkan dirinya di jalan Allah. Yang dengan ilmunya ia tidak menghendaki kedudukan, jabatan, ketenaran atau harta benda. Sikap ini harus selalu ada dalam diri setiap orang yang bekerja untuk Islam. Bahkan termasuk hal utama yang harus dipelajari seseorang ketika mulai menempuh jalan dakwah tersebut.
Ini bukan berarti seseorang harus merahasiakan kemampuannya, mengubur bakatnya dan mengebiri ide-idenya. Bahkan seharusnya seorang aktivis mengoptimalkan potensinya dan kemampuan intelektual, fisik serta hartanya yang diberikan Allah kepadanya untuk menegakkan Islam.
Realita sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sarat dengan contoh-contoh ideal. Seperti usulan Khubab bin Mundzir radhiyallahu ‘anhu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memindah kamp tentara Islam dalam perang Badar. Kendatipun tempat yang semula adalah pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ini tidak membuatnya menahan gagasannya setelah ia memastikan bahwa pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu semata-mata pertimbangan manusiawinya, bukan bersumber dari wahyu Allah. Maka tidak ada pilihan lain bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain menerima pendapat tersebut lalu beliau memindahkan kamp tentara. Ternyata, ini menjadi salah satu faktor kemenangan kaum Muslimin dalam perang tersebut.
Ini satu sisi, sisi lain ya akhi, bahwa Sirah juga menjelaskan kepada kita agar ketika menilai seseorang dalam kerja jihad dan dakwah, seharusnya tidak menggunakan neraca duniawi, sebagaimana lazimnya digunakan banyak orang terhadap suatu tugas, pekerjaan dan jabatan. Pertimbangan usia, level pendidikan, kedudukan dan kekuatan fisik mestinya tidak dijadikan sebagai skala prioritas dan tidak dijadikan sebagai penentu keputusan. Ada hal-hal lain yang mestinya diprioritaskan seperti ketakwaan, keikhlasan, kemampuan menyelesaikan tugas sebagaimana yang diharapkan, pengetahuan terhadap hukum-hukum syar’i, khususnya yang berkaitan dengan tugas yang diembannya. Disamping itu ia juga memiliki pemahaman segala aturan main yang diberlakukan oleh suatu organisasi, jamaah atau gerakan dimana ia berafiliasi kepadanya.
Kita tahu bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih para pemimpin dan panglima. Yang intinya beliau mampu memberdayakan potensi dan menempatkan posisi dengan sangat baik sehingga memberikan kontribusi positif bagi Islam dan kaum Muslimin. Beliau mengangkat Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu –kendatipun masuk Islamnya belakangan- sebagai seorang panglima di beberapa operasi militer. Padahal yang dipimpinnya para sahabat senior dalam Islam dan jihad. Demikian pula ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang umurnya belum genap tujuh belas tahun sebagai panglima perang, diantara pasukannya terdapat banyak sahabat yang lebih tua dan lebih senior dalam Islam.
Rasulullah tidak mempertimbangkan senioritas dalam Islam dan jihad maupun usia. Beliau melihat potensi dan kemampuan dalam menyelesaikan tugas dengan baik dengan hasil yang diridhai Allah dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Rasulullah juga menjadikan Bilal radhiyallahu ‘anhu sebagai tukang adzan karena suaranya yang merdu. Mengangkat Hasan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu sebagai penyair Islam yang berjuang membela agama dan syariah. Bahkan beliau juga memotivasinya dan memberi berita gembira kepadanya tentang dukungan Ruhul Qudus, malaikat Jibril kepadanya. Kendatipun Hasan sendiri tidak ikut terlibat di medan perang. Namun ia berjihad dengan lisan dan syairnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun telah ridha kepadanya dengan model perjuangannya ini bahkan berterima kasih kepadanya.
Rasulullah juga tidak mau basa basi kepada seseorang demi kemaslahatan umum, terutama dalam memilih pimpinan. Lihatlah akhi, bagaimana Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diangkat sebagai salah satu pimpinan. Dan kendatipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya, beliau pun menjawab seraya menepuk pundaknya, “Abu Dzar, kamu ini orang lemah. Jabatan itu amanah. Dan pada hari Kiamat nanti ia menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang dapat menunaikan haknya dan menjalankan tugasnya” (Muslim)
Disini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringkas kaidah penting dengan dua kata, menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha). Betapa mulia Rasulullah dan betapa cerdasnya panglima ulung ini, salawat dan salam untuknya.
Oleh karenanya saya mengajak antum akhi, untuk pertama-tama mengalamatkan tuduhan kepada diri sendiri. Boleh jadi kita lebih tua, lebih berpendidikan dan lebih menguasai salah satu bidang. Namun untuk sebuah tugas iqomatuddin boleh jadi kita tidak memiliki sifat-sifat yang semestinya. Atau bisa jadi kita memiliki sebagian sifatnya namun tidak nampak dan tidak menonjol menurut qiyadah antum. Sebab antum belum menunjukkannya atau belum memberitahukan hal itu kepada mereka. Mereka hanya melihat sifat-sifat lain yang menonjol pada diri kita yang tidak dibutuhkan untuk suatu tugas tertentu.
Atau barangkali kondisinya sebaliknya, yakni kita punya sifat-sifat negatif yang tidak kita sadari atau kita menganggapnya tidak mempunyai pengaruh negatif. Namun saudara-saudara dan qiyadah kita melihatnya lain dan menganggapnya serius yang membuat kita tidak layak mengemban tugas tersebut.
Itulah akhi al-karim, beberapa hal yang mendasar yang harus kita sepakati. Setelah itu marilah kita menentukan beberapa langkah strategis sebagaimana yang antum minta. Agar terciptalah keselarasan antar kita dengan Rabb kita dan saudara kita. Keselarasan yang sesuai kaidah tawazun imani, nafsi dan da’awi.
Pertama:
Hendaknya kita mempertanyakan beberapa hal ini kepada diri sendiri: Mengapa kita disini? Untuk siapa amal yang kita lakukan? Dan apa yang kita kehendaki dengan amal ini?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini perlu kejujuran terhadap diri sendiri yang memang sangat sulit. Ya, sungguh sulit. Karena terkadang kita sering berbohong terhadap diri sendiri atau kita menipu diri sendiri. Bisa jadi ada niat-niat lain yang tersembunyi dibalik niat yang kita tunjukkan kepada orang lain, dan niat-niat itu yang menggerakkan dan mengarahkan kita.
Apakah kita hanya ingin memuaskan keinginan tersembunyi kita itu hingga kita berharap mendapatkan kedudukan pada suatu kaum agar kita mendapatkan hak untuk memerintah, melarang dan memutuskan?
Apakah ada keinginan untuk menunjukkan kemampuan dalam diri, dimana kita melihatnya memiliki potensi yang luar biasa dan bakat yang harus dinampakkan? Apakah ada niat untuk menunjukkan keberanian dan kemampuan kita dalam menyelesaikan suatu tugas yang sulit?
Apakah kita menginginkan kedudukan yang bisa dilihat orang, hingga kita menjadi terkenal dan kita menjadi buah bibir di banyak forum?
Ataukah untuk mendapatkan ridha Allah dan meninggikan kalimat-Nya? Mengharapkan surga dan agar terjaga dari neraka?
Jawabannya ada pada diri kita sendiri…
Untuk siapakah kita beraktifitas?
Apakah kita persembahkan kerja kita untuk atasan dan pimpinan kita dengan mengharapkan pujian dan sanjungan mereka atas kontribusi kita lalu mereka mengalungkan medali penghargaan? Lebih dari itu agar kita mendapatkan penghargaan dari pimpinan tertinggi?
Ataukah kita ingin mempersembahkannya kepada Rabb kita agar kiranya Allah memberikan ridha dan surga-Nya kepada kita lalu kedudukan kita menjadi tinggi di akhirat kelak?
Jawabannya juga ada pada diri kita sendiri…
Saya ingin mengingatkan antum dan diri saya sendiri serta kaum Muslimin, bahwa Allah tidak pernah tertipu oleh seseorang. Allah dapat melihat apa saja yang berada di balik dada dan membedah apa yang disembunyikan oleh jiwa. Allah meng-hisab semua hamba-Nya sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Bukan secara simbolis, menipu atau kamuflase.
Ayat dan hadits tentang hal ini sangat banyak. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya bahwa seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata. “Seseorang berperang karena harta rampasan, seseorang berperang karena popularitas dan seseorang berperang agar kedudukannya bisa diketahui orang. Maka siapakah di antara mereka yang berada di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Barang siapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka orang itu berada di jalan Allah.”
Di Shahih Tirmidzi juga diriwayatkan bahwa (pada hari kiamat) nanti akan didatangkan seseorang yang terbunuh di jalan Allah (menurut anggapan orang). Allah bertanya kepadanya, “Karena apa kamu terbunuh?” Ia menjawab,”Karena Engkau telah memerintahkan berjihad di jalan-Mu, maka aku berperang lalu terbunuh.” Allah berkata kepadanya,”Kamu berbohong.” Malaikat juga berkata kepadanya,”Kamu berbohong.” Allah berkata,”Sebenarnya kamu ingin agar orang mengatakan, ‘si fulan itu memang pemberani.’ Dan sudah ada yang mengatakannya.” Lalu ia termasuk orang pertama yang masuk neraka.”
Mari kita lihat akhi. Seorang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beriman dan mengikuti beliau kemudian berhijrah ke Madinah. Pada suatu peperangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat rampasan seorang wanita lalu diberikan kepadanya. Ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa ini?” Beliau berkata, “Aku membaginya untukmu.” Ia berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu, yang aku inginkan adalah sekiranya aku terkena anak panah disini –ia menunjuk ke arah leher- lalu aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu).” Lalu orang itu pun terbunuh di peperangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan orang itu terkena panah di tempat yang ditunjuk itu. Beliau bertanya, “Apakah ia ini orangnya?” Mereka menjawab., “Benar” Beliau bersabda, “Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu).” Lalu beliau mengkafani dengan jubahnya, meletakkannya dan menshalatinya. Lalu berdo’a untuknya, “Ya Allah, hamba-Mu ini keluar untuk berhijrah di jalan-Mu lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya.” (Imam Nasa’I dengan sanad shahih).
Benar akhi, siapa yang jujur Allah akan membuktikan kejujurannya. Marilah kita duduk dengan penuh kejujuran terhadap diri sendiri. Kita evaluasi niat dan tujuan kita. Tentunya dengan penuh kesadaran bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Kalau kita mampu memperbaiki niat – dan ini sangat penting namun sangat sulit pada awalnya- itu akan lebih baik bagi kita, dunia dan akhirat. Jika kita tidak mampu dan tetap saja ada ganjalan terhadap qiyadah kita serta tidak ridha terhadap posisinya sekarang ini, bukan berarti kita harus meninggalkan amal atau memutuskan hubungan dengan ikhwah. Namun hendaknya kita tetap berjihad melawan diri kita untuk mendapatkan niat yang diridhai Allah. Tentu saja berbagai kesulitan yang kita hadapi dalam hal ini menjadi aset kebaikan kita di sisi Allah. Ingatlah firman Allah,
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan” Al Ankabut: 69.
Kedua:
Kita menunaikan tugas yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidakpuasan kita terhadap posisi kita itu membuat kita malas menunaikan tugas dan kewajiban.
Ketiga:
Selalu berharap kepada Allah melalui doa dalam shalat, sujud kita dan waktu-waktu mulia agar dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya. Juga agar Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan, kebenaran dan merubah kita. Agar kita diselamatkan dari fitnah kedudukan dan kepemimpinan dimana kita tidak mampu menunaikannya. Sebab ia adalah –seperti sabda Rasulullah- amanah, yang pada hari Kiamat nanti menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Cukup disini jawaban untukmu akhi. Mudah-mudahan dapat menghilangkan ganjalan di hati antum.
Kini tiba saatnya kita berada pada bagian kedua pembicaraan kita. Yang saya tujukan kepada segenap qiyadah harakah dan gerakan Islam. Apa yang saya sampaikan tadi kepada antum akhi, merupakan taujih dan saran. Bukan berarti para qiyadah harakah dan jamaah terlepas dari tanggung jawab. Atau membebaskan mereka dari kesalahan dan dosa. Bahkan mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam masalah ini. Agar parameternya seimbang dan duduk perkaranya menjadi jelas, maka masalah ini harus dilihat dari dua sisi, pribadi dan jamaah, yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban.
Pertama:
Kewajiban pertama kepada para qiyadah jamaah, agar senantiasa mengikuti manhaj syariah dan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memilih pimpinan di berbagai wilayah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas iqomatuddien. Hendaknya mereka berupaya menempatkan orang yang lebih cocok. Kata cocok (munasib) disini adalah sesuai dengan kapasitas syar’i yang membuat orang itu layak menempati sebuah jabatan tertentu. Yakni pada qiyadah tersebut terdapat sifat-sifat positif dan yang paling penting adalah kafaah dan kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Menunjukkan keikhlasan dalam memberikan pengarahan kepadanya. Menjadi qudwah bagi bawahannya. Adil dalam suka maupun tidak suka. Tidak menerima perantara. Tidak memihak kepada salah satu pihak. Tidak marah karena nafsunya. Cinta dan benci karena Allah. Tidak merasa lebih tinggi saat menasehati atau mengkritik. Tidak sibuk mencari keuntungan materi maupun non materi dari jabatannya. Bersifat hormat kepada bawahannya, fleksibel dan tidak kaku
Yang lebih penting lagi agar loyalitasnya diberikan kepada fikrah dan bukan kepada orang-orang yang mengangkatnya. Sifat ini saya sebutkan secara khusus karena sangat urgen. Sebab kadang-kadang sebuah fikrah itu dikesampingkan oleh qiyadah, jadinya loyalitas berubah dari untuk fikrah menjadi untuk pribadi qiyadah, berjalan bersamanya, kemana saja, lalu berputar bersamanya mengikuti arah angin.
Kedua:
Hendaknya qiyadah mendidik para bawahannya akan nilai-nilai Islam yang dengan nilai-nilai itu ia dapat menerima untuk berada dibawah kepemimpinan seseorang yang lebih muda darinya. Atau tingkat pendidikan dan wawasannya lebih rendah darinya. Atau hal-hal lain yang berkaitan dengan parameter dunia kalau memang parameter syar’i terpenuhi.
Pendidikan nilai-nilai ini mestinya diberikan kepada mereka sebelum fitnah datang menimpa, ambisi pribadi muncul dan godaan syetan mulai menggejala. Ujian tidak akan datang sebelum ada proses belajar. Sebab kalau tidak, seorang murid akan gagal karena tidak menguasai rumus-rumus dan logaritma yang diujikan. Dimana parameter yang biasa dijumpainya dalam kesehariannya berbeda dengan parameter yang dijumpainya saat ujian.
Ketiga:
Para qiyadah hendaknya tidak menjadikan nash-nash syar’i yang menyeru kepada pengingkaran jati diri dan keikhlasan dalam amal, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, sebagai obat bius yang memaksa masing-masing pribadi agar menyerah saja kepada posisi tertentu. Bisa jadi mereka memang punya hak saat ia menolak atau meminta ada perubahan.
Keempat:
Senantiasa memotivasi masing-masing anggota agar menunjukkan kemampuan mereka serta mengembangkan bakat inovatif mereka. Bukannya memendam dan menahannya. Sangat disayangkan ada sebagian orang yang mencoba intervensi terhadap niat mereka lalu memutuskan persoalan berdasarkan niat tersebut. Seolah-olah ia telah membedah hati mereka dan mengungkap niat itu. Ia meginterpretasikan upaya-upaya mereka dalam rangka menunjukkan kemampuan dan mengklaim mereka memiliki sifat hubbudz-dzuhur (exhibitionisme) atau berambisi kepada jabatan dan rakus kedudukan. Bisa jadi memang benar. Namun orang-orang seperti itu perlu diuji sebelum dihakimi.
Kelima:
Anggapan bahwa penilaian qiyadah terhadap anggota, positif maupun negatif, adalah wahyu yang tidak bisa dibantah, yang dengan dasar itu anggota dihukumi kredibel atau tidak, perlu ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebab untuk menilai seseorang harus dari berbagai sisi dan setelah melakukan berbagai ujian, untuk menjauhi tendensi pribadi yang kadang bisa mempengaruhi qiyadah kendatipun ia berupaya untuk mengesampingkannya. Betatapun, qiyadah adalah manusia juga yang tidak terbebas dari kesalahan dan kekeliruan dalam mengambil keputusan.
Keenam:
Hendaknya qiyadah bisa menjadi teladan dalam amal shalih. Agar apa yang diucapkan serasi dengan apa yang dikerjakan. Ketahuilah bahwa keteladanan ini mempunyai kesan yang kuat dan mendalam dalam diri anggotanya ketimbang kata-kata yang terucap, apatah lagi kata-kata itu hanyalah pemanis bibir yang tidak ada realita amalnya. Lebih ironis lagi jika amal perbuatannya bertolak belakang dengan pernyatannya dan dengan syariah Islam.
Terakhir, mohon maaf atas jawaban yang bertele-tele ini. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan nasihat ini ikhlas hanya mengharapkan ridha-Nya dan bisa menjadi kontribusi untuk antum akhi, untuk keluar dari cobaan yang menimpa.
Kalau kita cermati, jawaban sang ustadz terhadap persoalan tsiqoh yang mulai terganggu itu sedemikian detail dengan hujah yang kuat. Dan perlu dipahami, sang ustadz bukanlah anggota jamaah jihad namun jamaah dakwah. Maka bagaimana pendapat anda terhadap seorang anggota jamaah jihadiyah yang telah sekian lama dididik di jamaah tersebut dan memiliki pengetahuan yang memadai tentang organisasi ini berikut para qiyadahnya dan mekanisme kerjanya dalam menghasilkan sebuah keputusan dan kebijakan. Semestinya para anggota, apalagi para pengurusnya, memiliki tingkat ketsiqohan dan positif thinking kepada qiyadah yang lebih baik dari mereka.
Demikian pula, semestinya para qiyadah di jamaah semacam ini memiliki ketsiqohan dan positif thinking kepada para anggota yang lebih baik daripada mereka. Hal ini dikarenakan tuntutan untuk menjadi jamaah yang sangat solid lebih besar daripada mereka sebab jamaah jihadiyah adalah sebuah jamaah yang mengemban tugas dakwah dan jihad sekaligus. Sementara jamaah dakwah baru pada tahap konsentrasi di bidang dakwah. Di sinilah urgensi dari tsiqoh mutabadilah antara anggota dan qiyadah yang menjadi penentu dari soliditas sebuah jamaah, keberhasilanya dalam menjalankan seluruh programnya dan mengatasi segala rintangan yang menghalang di jalanya sebagaimana pernyataan Hasan Al Banna rahimahullah,
“Pemimpin adalah unsur penting dalam dakwah; Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh mutabadilah – yang bersifat timbal balik - antara pemimpin dan yang dipimpin menjadi parameter yang menentukan sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilannya mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya mengatasi berbagai kendala yang menghadangnya.” [lasdipo.com]

Kamis, 29 Mei 2014

KETIKA IBLIS LEBIH SOPAN DARI BANYAK DAI'

Ketika Iblis Lebih Sopan dari Banyak Da’i

Segala puji hanya milik Allah Rabbal ‘Alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para nabi. wa ba’du:

Ketika bashirah telah tertutup dan akal sehat telah tiada serta kecintaan kepada dunia telah menjalar, maka pengetahuan agama menjadi tidak berguna dan malah menjadi bencana serta sumber penyesatan yang membinasakan, sehingga menjadikan orangnya lebih lancang dan lebih kafir dari iblis laknatullah.

Itulah realita banyak da’i dan sarjana universitas yang berlebel Islam pada masa sekarang dimana mereka itu telah meninggalkan prinsip tauhid dan jihad dan malah menjadi pengusung jalur demokrasi. Seharusnya mereka itu menjadi pelopor umat dalam dakwah tauhid dan jihad untuk menegakkan kalimat Allah dan menggerakkan umat untuk menyingkirkan para thaghut yang telah mengotori bumi Allah dengan kebejatan dan yang telah merampas kebebasan umat Islam, namun ternyata para da’i dan sarjana itu malah bergandeng tangan dengan para perusak itu menggagahi umat dan mengotori kehormatan agama Allah, bahkan dengan dalih agama.

Diantara mereka berdalih dengan jabatan Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada raja yang kafir sebagai menteri pangannya untuk melegalkan jabatan sebagai menteri atau anggota parlemen pada pemerintahan thaghut masa sekarang. Jadi menurut mereka jabatan menteri atau legislatif sekarang ini adalah boleh dan sah-sah saja karena Nabi Yusuf ‘alaihissalam juga menempatinya pada raja yang kafir di Mesir.

Kita bertanya kepada mereka: Apakah Nabi Yusuf ‘alaihissalam saat menjadi menteri di raja yang kafir itu, beliau menerapkan atau memakai undang-undang raja (thaghut) ataukah memakai hukum Allah?

Kalau mereka menjawab: Beliau memakai hukum Allah ta’ala.

Maka kita bertanya: Kalau para da’i kalian yang menjadi menteri atau anggota Parlemen, apakah yang diikuti dan dijalankannya hukum Allah ta’ala ataukah undang-undang buatan?

Mereka pasti menjawab: Memakai undang-undang buatan.

Maka kita katakan: Kalau begitu kenapa kalian menyamakan posisi Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang tidak memakai hukum thaghut dengan posisi mereka yang memakai hukum thaghut, bukankah ini qiyas yang tidak sama?!!!

Kemudian kalau mereka malah menjawab: “Bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam itu memang memakai hukum raja (thaghut).”

Maka kita katakan: Kalian mendustakan Al Qur’an dan bahkan kalian kafir melebihi kekafiran iblis laknatullah.

Pertama “Kalian mendustakan Al Qur’an” karena kalian mendustakan firman Allah ta’ala :

     مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ

    “Tidak mungkin dia (Yusuf) membawa saudaranya ke dalam undang-undang raja.” [QS Yusuf 12:76]

Sedangkan orang yang mendustakan Al Qur’an adalah orang kafir, sebagaimana firman-Nya :

    فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ

    “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kebohongan terhadap Allah dan mendustakan kebenaran yang telah datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam ada tempat tinggal bagi orang-orang kafir?.” [QS Az Zumar 39:32]

Dan diantara kebenaran yang telah datang itu adalah pemberitahuan Allah bahwa Yusuf ‘alaihissalam tidak memakai hukum raja (thaghut) dan justru ia memakai hukum Allah ta’ala, yaitu bahwa si pencuri itu dijadikan budak selama satu tahun sebagaimana itu adalah syari’at Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Yusuf ‘alaihissalam berkata saat saudara-saudaranya meminta agar saudaranya itu digantikan dengan salah seorang dari mereka :

     قَالَ مَعَاذَ اللّهِ أَن نَّأْخُذَ إِلاَّ مَن وَجَدْنَا مَتَاعَنَا عِندَهُ إِنَّآ إِذًا لَّظَالِمُونَ

    “Dia (Yusuf) berkata :”Aku memohon perlindungan kepada Allah dari menahan (seseorang), kecuali orang yang kami temukan harta kami padanya, jika kami (berbuat) demikian, berarti kami orang yang zalim.”[QS Yusuf  12:79]

Kemudian pernyataan kami bahwa kalian ini lebih kafir dari iblis laknatullah adalah dikarenakan iblis saat bersumpah di hadapan Allah akan menyesatkan semua manusia, namun ia mengecualikan hamba-hamba Allah yang mukhlashin (terpilih), yaitu bahwa mereka tidak akan bisa dia sesatkan.

    قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ، إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

    “(Iblis) berkata: ”Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Mu yang terpilih di antara mereka.” [QS Shaad 38:82-83]

Yaitu iblis tidak akan bisa menjerumuskan hamba-hamba Allah yang terpilih ke dalam dosa apalagi ke dalam kekafiran dan kemusyrikan. Sedangkan Yusuf ‘alaihissalam itu adalah termasuk hamba-hamba Allah yang terpilih, sebagaimana firman-Nya ta’ala :

     كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِين

    “Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” [QS Yusuf 12:24]

Sedangkan kalian dengan menyatakan bahwa Yusuf ‘alaihissalam itu memakai hukum raja berarti telah menuduh beliau melakukan kekafiran dan kemusyrikan, karena tahakum (merujuk hukum) kepada hukum buatan (thaghut) adalah kekafiran, sebagaimana firman-Nya perihal orang yang berpaling dari hukum Allah ta’ala kepada hukum buatan (thaghut):

     أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ

    “Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu, akan tetapi mereka ingin merujuk hukum kepada thaghut, padahal mereka sudah diperintahkan untuk kafir terhadapnya.” [QS An Nisa 4:60]

Juga vonis kafir yang Allah ta’ala berikan bagi orang yang berpaling dari memutuskan dengan hukum Allah dan malah memakai hukum buatan :

    وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

    “Dan barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [QS Al Maidah 5:44]

Juga vonis musyrik yang Allah ta’ala sematkan bagi orang yang mengikuti satu hukum buatan (thaghut):

    وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

    “Dan bila kalian mematuhi mereka, maka sesungguhnya kalian benar-benar orang musyrik.” [QS Al An’am 6:121]

Jadi kalian mengetahui bahwa kenapa iblis laknatullah lebih sopan daripada kalian…?!!!

Terus kami bertanya kepada kalian : Apakah Nabi Yusuf saat memangku jabatan menteri itu beliau mengikrarkan sumpah atau janji setia kepada undang-undang raja (thaghut)?

Kalau kalian menjawab: Tidak,” Maka kami bertanya lagi: Kalau para menteri atau anggota parlemen demokrasi sekarang saat menjabat jabatan-jabatannya itu mengikrarkan sumpah atau janji setia kepada UUD dan undang-undang thaghut atau tidak?

Bila kalian menjawab – dan memang harus menjawab-: ya, mengikrarkan.”

Maka kami katakan: Kalau demikian halnya, kenapa kalian menyamakan posisi Yusuf ‘alaihissalam yang tidak bersumpah setia kepada thaghut dengan menteri dan anggota parlemen kalian yang mengikrarkan sumpah dan janji setia kepada thaghut?!!! Bukankah ini penyamaan dua hal yang berbeda, dan kemana akal kalian?!!! Apa sudah lenyap bersama rupiah dan mobil mewah …?!!!

Kalau kalian menjawab: Bahwa Yusuf ‘alaihissalam bersumpah setia kepada hukum raja (thaghut).”

Maka kami katakan: Kalian lebih bejat dari iblis, karena janji setia atau sumpah setia kepada hukum buatan itu adalah kemurtaddan, sebagaimana firman-Nya ta’ala :

     إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ

    “Sesungguhnya orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran), setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setanlah yang merayu mereka dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu, karena sesungguhnya mereka telah mengatakan kepada orang-orang yang tidak senang kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kalian dalam sebagian urusan.” [QS Muhammad 47:25-26]

Padahal Yusuf ‘alaihissalam termasuk hamba Allah yang terpilih yang dikecualikan iblis dari bisa disesatkan.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesehatan akal pikiran….

Kalau kalian bertanya: Jadi bagaimana posisi Yusuf ‘alaihissalam yang menjadi menteri di raja kafir itu sebenarnya?

Ketahuilah bahwa Yusuf ‘alaihissalam diangkat menjadi menteri oleh raja yang kafir dengan keleluasaan penuh tanpa batas setelah beliau mentakwil mimpi si raja, diketahui kejujurannya dan setelah beliau berbicara dengan raja tentang suatu hal:

     وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مِكِينٌ أَمِينٌ

    “Dan raja berkata: “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia (raja) berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.” [QS Yusuf 12:54]

Apakah materi pembicaraan Yusuf ‘alaihissalam dengan raja itu? Apakah cerita cinta isteri Al Aziz kepadanya dan keterpesonaan para wanita terhadapnya? Apakah cerita semacam itu layak dilontarkan seorang rasul kepada seorang tokoh penting yaitu si raja? Ataukah kita mesti menafsirkan materi pembicaraan itu dengan husnudhdzhan kepada Yusuf ‘alaihissalam karena posisinya sebagai rasulullah? Ya, ini yang semestinya kita lakukan, dimana kita harus memastikan materi pembicaraan rasulullah kepada si raja itu adalah penjelasan inti dakwah rasul, sebagaimana firman-Nya ta’ala :

     وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

    “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat, (mereka menyerukan): ”Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu.”” [QS An Nahl 16:36]

Jadi beliau itu mengajak si raja untuk bertauhid, yaitu ibadah hanya kepada Allah ta’ala dan menjauhi segala thaghut, sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyurati dan mengajak para raja untuk masuk Islam dengan tunduk kepada ajaran Allah ta’ala. Dan ternyata si raja itu walaupun dia tidak menerima ajakan Yusuf ‘alaihissalam untuk bertauhid, akan tetapi dia tidak mempermasalahkan prinsip Yusuf ‘alaihissalam itu dan malah mempersilahkan berbuat sesuka hati dengan memberikan kepadanya kedudukan yang tinggi tanpa batas lagi tidak diikat oleh hukumnya lagi diberikan kepercayaan seluas-luasnya untuk mengurusi ekonomi negerinya: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.” [QS Yusuf 12: 54]

Jadi beliau ini seolah negara di dalam negara, dan apakah para menteri zaman ini dan para anggota parlemen bisa melaksanakan tugasnya di luar UUD dan UU yang berlaku di negeri ini dan mereka seluas-luasnya memakai hukum Islam?!!!… Mana mungkin … Mimpi kali …!!!

Kemudian tamkin (kedudukan leluasa tanpa batas dari raja) yang didapatkan Yusuf ‘alaihissalam itu sebenarnya adalah tamkin dari Allah ta’ala:

     وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاء

    “Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir), untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki.” [QS Yusuf 12:56]

Dengan tamkin dari Allah ta’ala ini Yusuf bisa leluasa kemana saja pergi di negeri Mesir, sedangkan ciri-ciri dan sifat-sifat orang yang diberikan tamkin di muka bumi itu adalah :

     الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ

    “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan memerintahkan berbuat yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.” [QS Al Hajj 22:41]

Jadi Yusuf ‘alaihissalam memerintahkan berbuat yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Sedangkan perbuatan ma’ruf tertinggi adalah tauhid dan perbuatan mungkar terburuk adalah syirik. Berarti Yusuf ‘alaihissalam menjaharkan tauhid dan mendakwahkannya dengan leluasa, bagaimana tidak, sedangkan pada saat beliau ditindas dan pada kondisi dipenjara saja beliau menjaharkan tauhid, sebagaimana ucapannya kepada kawan-kawannya di sel :

     إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لاَّ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَهُم بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ، وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَآئِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَن نُّشْرِكَ بِاللّهِ مِن شَيْءٍ ذَلِكَ مِن فَضْلِ اللّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُون، يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، مَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِهِ إِلاَّ أَسْمَاء سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَآؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

    “Sesungguhnya aku telah meninggalkan millah kaum yang tidak beriman kepada Allah, dan mereka itu tidak beriman kepada hari akhirat, dan aku mengikuti millah nenek moyangku: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub. Tidak pantas bagi kami (para nabi) mempersekutukan apapun dengan Allah, itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (semuanya); tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. Wahai kedua penghuni penjara! Manakah yang baik, tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kalian sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kalian buat-buat, baik oleh kalian sendiri ataupun oleh nenek moyang kalian. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[QS Yusuf 12:37-40]

Bila saja dalam kondisi tertindas beliau menjaharkan tauhid dan keberlepasan dari syirik, maka apalagi saat sudah diberikan tamkin dari Allah kemudian si raja pun tidak mempermasalahkannya…..

Jadi jelaslah di dalam kisah Yusuf ‘alaihissalam ini tidak ada dalil bagi para du’at kaum musyrikin yang melegalkan syirik..

Paling masalahnya adalah hukum bekerja di raja (penguasa) atau pemerintah yang kafir bagi orang yang bebas merdeka menjaharkan tauhid dan menampakkan keberlepasan dari thaghut dan syirik, sedang ini adalah kaitan dengan syari’at yang dibolehkan di dalam syari’at Yusuf ‘alaihissalam dan diharamkan di dalam syari’at Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya bila penguasanya durjana (muslim memiliki tauhid tapi aniaya) dan zalim, beliau melarangnya menjadi polisi, arif (orang yang menjadi perantara antara penguasa dengan rakyatnya, semacam RT, RW, Kades dll), pemungut zakat dan pemegang perbendaharaan, maka bagaimana halnya kalau pemimpinnya kafir ?!!! maka lebih haram lagi.

Uraian ini atas dasar bahwa si raja itu kafir, namun ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa dia itu muslim, maka ini lebih jelas lagi.

Semoga uraian ini bisa memuaskan pencari kebenaran, dan adapun lalat-lalat maka yang dia cari hanyalah kotoran, sehingga bila masalah ini sudah dibersihkan dari kotoran syubhat maka dia akan lari mencari kotoran syubhat. Tapi yakinlah bahwa setiap syubhat itu pasti ada jawabannya di dalam nash wahyu, sebagaimana janji-Nya :

     وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

    “Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” [QS Al furqan 25:33]

Wallahu a’lam

Oleh:  Abu Sulaiman

Jumat, 23 Mei 2014

BATASAN IKRAH DALAM KEKAFIRAN

Batasan Ikrah Dalam Kekafiran

Diambil dari Multaqa Ahlil Hadits (www.ahlalhdeeth.com).

Alih Bahasa: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy.

Muqaddimah

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya, keluarganya dan para sahabatnya, wa ba’du:

Akhir-akhir ini sejalan dengan programnya para thaghut ingin memurtadkan para ikhwan masjunin dengan program mereka memberikan kemudahan bebas dengan syarat menanda tangani kekafiran atau lebih parah dari itu adalah syarat mengikuti program pembinaan mereka di Lapas yang sarat dengan kekafiran, sehingga ada atau banyak yang terpedaya dengannya dan jatuh dalam kekafiran dan kemurtaddan baik disadari maupun tidak dengan dalih ikrah, padahal tidak ada penyiksaan atau ancaman bunuh dan yang serupa itu.

Sesungguhnya penjara itu bukan ikrah bagi kekafiran akan tetapi madhannah ikrah (tempat yang memungkinkan ada ikrah), oleh sebab itu bila ada orang yang di penjara mengucapkan kekafiran atau mengiyakan kekafiran yang diminta oleh anshar thaghut atau mengikut program kekafiran tanpa ada ikrah muljii’ atau ikrah mu’tabar dalam kekafiran, yaitu ancaman dibunuh atau pemotongan anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan melenyapkan salah satu anggota badan, maka dia itu murtad walupun mengklaim hatinya tetap lurus, seperti sebagian orang menandatangani syarat-syarat kekafiran untuk PB yang diajukan thaghut:

    Setia dan taat kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Patuh dan tunduk kepada Pemerintah Republik Indonesia.
    Mau bersikap kooperatif dan mengikuti program deradikalisasi.
    Bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membantu membongkar perkara yang dilakukan.

Atau ikut dalam upacara yang di dalamnya ada lagu Garuda Pancasila atau Bagimu Negeri atau ada Catur Darma Narapidana yang memang berisi kekafiran yang nyata.

Saya terjemahkan risalah ini dalam rangka iqmatul hujjah dan pelepasan tanggung jawab dan teguran kepada yang pernah melakukan agar bertaubat dari apa yang telah mereka lakukan, karena taubat itu lebih baik daripada kebersikukuhan di atas kekafiran.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarga dan para sahabatnya. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.

Kembang Kuning Nusakambangan,

14 Syawal yawaal 1434 H / 21 Agustus 2013

Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Al Arkhabiliy

—–

Penanya (Al Mushlihiy) berkata: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.

Saya telah membaca banyak materi tentang ikrah, akan tetapi saya belum sampai kepada kesimpulan yang jelas prihal batasan-batasan dan rambu-rambu ikrah terhadap kekafiran. Maka apa batasan-batasan ikrah terhadap kekafiran? Dan kapan sah kita katakan tentang seseorang bahwa dia itu dipaksa terhadap kekafiran? Dan kapan hal itu tidak sah? Kami berharap diberikan jawaban yang penjang lebar dalam hal itu, karena materi ini sangat penting, sungguh akhir-akhir ini telah merebak perbuatan kekafiran dengan dalih ikrah. Wallahul Musta’an.

Syaikh Abu Turab Al Hasyimiy menjawab:

Bismillah Walhamdulillah, Washshalatu Wassalamu ‘Ala Rasulillah Wa Man Walah, Wa Ba’du:

Telah ada di dalam kitab Al Wala Wal Bara milik Muhammad Ibnu Sa’id Al Qahthaniy: Ibnu Hajar berkata:

شروط الإكراه أربعة :

1_أن يكون فاعله قادرا ً على ايقاع ما يهدد به , والمأمور عاجزا ً عن الدفع ولو بالفرار .

2_أن يغلب على ظنه أنه لو امتنع أوقع به ذلك .

3_أن يكون ما هدد به فورياً فلو قال ان لم تفعل كذا ضربتك غدا ً , لا يعد مكرها ً . ويستثنى ما إذا ذكر زمنا ً قريبا ً جداً , أو جرت العادة بأنه لا يخلف .

4_أن لا يظهر من المأمور ما يدل على اختياره

Syarat-syarat ikrah ada empat:

1. Si Pemaksa mampu menimpakan apa yang diancamkannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak kuasa untuk menghindarinya walaupun dengan cara melarikan diri.

2. Kuat dugaannya bahwa seandainya dia menolak maka si pemaksa pasti menimpakkan hal itu kepadanya.

3. Apa yang diancamkannya itu direalisasikan langsung saat itu juga. Dan seandainya dia berkata: Bila kamu tidak melakukan hal ini maka aku akan memukulmu esok hari, maka hal itu tidak dianggap orang yang mukrah, namun dikecualikan bila dia menyebutkan waktu yang dekat sekali atau sesuai kebiasaan bahwa dia itu selalu merealisasikannya.

4. Tidak nampak dari orang yang dipaksa itu sesuatu yang menunjukkan bahwa dia itu tidak merasa dipaksa.

Di dalam kitab itu juga: Al Khazin berkata: Para ulama berkata: Ikrah yang membolehkan baginya untuk mengucapan kekafiran itu harus dengan bentuk dia disiksa dengan penyiksaan yang tidak mampu dipikulnya, seperti diancam mau dibunuh dan pemukulan yang dahsyat serta penyiksaan-penyiksaan yang berat, seperti dibakar dengan api dan yang serupa itu.

Dan di dalamnya juga: Macam-Macam Ikrah:

1. Iljaa: Di mana keridloan dan pilihan menjadi lenyap serta lenyap pula iradah (keinginan) dan qashdu (kebermaksudan), dan itu terbukti dengan keterjatuhan di bawah penyiksaan yang dahsyat atau hal serupa itu, dan keadaan inilah yang turun berkenaannya ayat An Nahl ini: “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan.”

2. Tahdid (ancaman): Di mana ridlo menjadi lenyap, tapi ikhtiyar (pilihan) tidak lenyap secara total, dan ini adalah seperti dalam keadaan yang mana seseorang bisa memilih di dalamnya hal yang paling ringan di antara dua bahaya seperti keadaan Nabi Syu’aib ‘Alaihissalam bersama kaumnya, di mana mereka memberikan pilihan kepadanya antara kembali kepada kekafiran atau keluar dari negeri mereka

قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ (٨٨) قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِي مِلَّتِكُمْ بَعْدَ إِذْ نَجَّانَا اللَّهُ مِنْهَا وَمَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَعُودَ فِيهَا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّنَا وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ (٨٩)

“Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu Hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota Kami, atau kamu kembali kepada agama kami.” berkata Syu’aib: “Dan Apakah (kamu akan mengusir kami) kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh Kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan Kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al A’raf: 88-89)

Maka tidak boleh memenuhi paksaan semacam ini berdasarkan nash ayat ini dan juga berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِنْ جَاءَ نَصْرٌ مِنْ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ (١٠)

“Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah,” Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya Kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (Al Ankabut: 10)

3. Istidl’af (ketertindasan): Dan di sini tidak ada ancaman dan tidak ada penyiksaan, akan tetapi orang yang mustadl’af itu masuk di dalam kondisi yang dikuasai orang lain, seperti orang yang muqim di Mekkah setelah kaum muslimin hijrah darinya. Dan bila kondisi keberadaan dia di bawah kondisi ini karena ketidakmampuannya untuk mengelaknya dan untuk keluar darinya dan seandainya dia memiliki peluang untuk itu tentu dia melakukannya apapun pengorbanannya dan beban beratnya, maka orang ini telah dimaafkan (dengan keberadaannya di situ).

Dan terakhir: Ibnu Taimiyyah berkata: Saya telah mengamati berbagai madzhab, ternyata saya mendapatkan bahwa ikrah itu berbeda-beda tergantung apa yang dipaksakannya, di mana ikrah yang mu’tabar di dalam pengucapan kekafiran tidaklah seperti ikrah yang mu’tabar di dalam hibah dan yang seperti hal itu. Di mana (Imam) Ahmad telah menegaskan di banyak tempat bahwa ikrah terhadap kekafiran itu tidaklah dianggap kecuali dengan penyiksaan berupa pemukulan atau pengikatan, dan ancaman ucapan itu tidaklah dianggap sebagai ikrah. (Selesai penukilan dari kitab Al Wala Wa Al Bara dari hal 375-379).

Syaikh Abdullah Asy Syarqawiy waffaqahullah juga menjawab: Assalamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah.

Ini adalah cuplikan-cuplikan dari tulisan lama yang saya berharap bisa manfaat bagi engkau. (Al Muntashir Billah Asy Syarqawiy).

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata (juz 1/217) untuk para pemuda semacam mereka itu: “Syubhat yang masuk kepada dirimu itu adalah uang yang ada di tanganmu yang mana kamu dan keluargamu takut terlantar bila kamu meninggalkan negeri kaum musyrikin dan kamu ragu pada rizqi Allah, dan juga teman-teman yang buruk telah menyesatkanmu sebagaimana ia adalah kebiasaan mereka. Kamu ini wal ‘iyadzu billah terpuruk sedikit demi sedikit, pertamanya pada keraguan dan negeri syirik….(sampai ucapan beliau): Dan telah lenyap dari benakmu firman Allah Ta’ala prihal ‘Ammar Ibnu Yasir dan yang semacamnya: “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan.” Sampai firman-Nya : “Yang demikian itu disebabkan karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat” (An Nahl: 106-107), di mana Allah tidak mengecualikan kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan, yaitu dengan syarat ketentraman hatinya, sedangkan ikrah itu tidak mungkin terjadi terhadap keyakinan akan tetapi terhadap ucapan dan perbuatan. Di mana Dia telah menegaskan bahwa barangsiapa mengucapkan atau melakukan suatu yang mengkafirkan maka dia telah kafir kecuali orang yang dipaksa dengan syarat tersebut.

Dan dia menyebutkan bahwa (kekafiran) itu adalah dengan sebab lebih mementingkan dunia bukan dengan sebab keyakinan. Maka pikirkanlah dirimu apakah mereka itu memaksamu dan menggiringmu kepada pedang seperti ‘Ammar ataukah tidak.”

Dan sekarang telah tiba saatnya kami menjelaskan masalah yang sangat berbahaya ini yang tidak menerima sedikitpun kesalahan. Dan pertama-tama kami akan berbicara tentang definisi rukhshah (ikrah) ini dan apa yang dikatakan para ulama tentangnya.

Definisi Ikrah:

Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari juz 12 hal 311:

Ikrah adalah pengharusan orang lain dengan sesuatu yang tidak diinginkannya. Telah ada di dalam ‘Umdatul Qari juz 24 hal 95:

(Kitab Ikrah) yaitu ini adalah tema tentang penjelasan hukum ikrah (pemaksaan). Ikrah (pemaksaan) adalah pengharusan orang lain dengan sesuatu yang tidak diinginkannya. Di mana ia itu berbeda-beda sesuai perbedaan

(1) Orang yang memaksa

(2) Apa yang dipaksakan terhadapnya, dan

(3) Tindakan yang digunakan untuk memaksanya.”

Dan telah ada di dalam Al Lubab Fi Syarh Al Kitab juz 4 hal 16:

كتاب الإكراه
وهو لغة : حمل الإنسان على أمر يكرهه وشرعا :حمل الغير على فعل بما يعدم رضاه دون اختياره لكنه قد يفسده وقد لا يفسده

Kitab Ikrah, dan ia (ikrah) secara bahasa adalah: Membawa orang kepada sesuatu yang dibencinya. Sedangkan secara syar’iy adalah: Membawa orang lain terhadap suatu perbuatan dengan sesuatu yang melenyapkan keridloannya tanpa (melenyapkan) pilihannya, namun kadang merusak pilihannya dan kadang tidak merusaknya.”

Di dalam Al Mabsuth juz 7 hal 269:

Telah berkata Asy Syaikh Al Imam Al Ajall Az Zahid Syamsul Aimmah Wa Fakhrul Islam Abu Bakar Muhammad Ibnu Abi Sahl As Sarkhasiy rahimahullah Ta’ala secara imla (pendiktean):

الإكراه اسم لفعل يفعله المرء بغيره فينتفي به رضاه أو يفسد به اختياره من غير أن تنعدم به الأهلية

Ikrah adalah nama bagi tindakan yang dilakukan seseorang kepada orang lain sehingga dengan sebabnya lenyaplah keridloannya atau rusaklah dengannya pilihannya tanpa melenyapkan ahliyyahnya (kelayakannya untuk menerima taklif).

Pemilik Badaaiu Ash Shanaai berkata di dalam juz 6 hal 184:

Kitab Ikrah, Pembicaraan di kitab ini pada beberapa tema: Penjelasan tentang makna ikrah secara bahasa dan syar’iy. Ikrah secara bahasa adalah sebutan bagi penetapan (kurh) kebencian, sedangkan kebencian adalah makna yang ada pada diri orang yang dipaksa yang meniadakan kecintaan dan keridloan, oleh sebab itu masing-masing dari dua hal itu digunakan sebagai lawan bagi yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٢١٦)

“Dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216).

Oleh sebab itu Ahlussunnah berkata: Sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala membenci kekafiran dan maksiat yaitu tidak mencintainya dan tidak meridloinya walaupun ketaatan dan maksiat itu tetap dengan iradah (kehendak) Allah ‘Azza Wa Jalla. Sedangkan ikrah secara syar’iy adalah sebutan bagi ajakan untuk melakukan (tindakan) dengan cara ancaman dan ultimatum bersama keterpenuhan syarat-syaratnya yang akan kami sebutkan pada tempatnya insya Allah Ta’ala.

Bila kita telah mengetahui bahwa ikrah itu adalah pengharusan orang lain dengan suatu yang tidak diinginkannya. Namun apa bentuk ikrah wujud itu, apakah dengan sekedar orang mengatakan kepadamu “bahwa kamu harus melakukan atau mengucapkan kekafiran” lantas kamu ini menjadi mukrah sesuai dengan definisi ini, ataukah di sana ada syarat-syarat dan tanda-tanda yang wajib terpenuhi dalam pengharusan ini supaya ia layak menjadi udzur syar’iy yang diterima di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Maka mari kita kaji, bagaimana para ulama berbicara tentang ikrah dan apa bentuk gambarannya yang mereka sebutkan serta apa contoh-contoh yang mereka berikan dalam menjelasakan ikrah ini sehingga kita mengetahui apa yang ada pada mereka.

Ibnu Al Jauziy berkata dalam Zadul Masir juz 4 hal 140:

فصل الإِكراه على كلمة الكفر يبيح النطق بها .وفي الإِكراه المبيح لذلك عن أحمد روايتان :إِحداهما : أنه يخاف على نفسه أو على بعض أعضائه التلف إِن لم يفعل ما أُمر به .والثانية : أن التخويف لا يكون إِكراها حتى يُنَال بعذاب . وإِذ ثبت جواز «التَّقِيَة» فالأفضل ألاَّ يفعل ، نص عليه أحمد ، في أسير خُيِّر بين القتل وشرب الخمر، فقال : إِن صبر على القتل فله الشرف ، وإِن لم يصبر ، فله الرخصة ، فظاهر هذا ، الجوازُ .

Pasal, Ikrah terhadap pengucapan kekafiran adalah membolehkan untuk mengucapkannya. Sedangkan dalam ikrah yang membolehkan hal itu ada dua riwayat dari (Imam) Ahmad: Pertama: Bahwa dia mengkhawatirkan terhadap kelenyapan nyawanya atau sebagian anggota badanya bila tidak melakukan apa yang dipaksakan. Dan kedua: Bahwa ancaman itu tidak menjadi ikrah sampai ditimpakan penyiksaan terlebih dahulu. Dan bila sudah terbukti bolehnya taqiyyah ini, maka yang paling utama adalah tidak melakukan, di mana hal itu ditegaskan oleh Ahmad prihal tawanan yang diberi pilihan antara dibunuh atau meminum khamr, maka beliau berkata: Bila dia sabar untuk dibunuh maka baginya kemuliaan, dan bila tidak sabar maka dia memiliki rukhshah itu, sehingga dhahir ucapannya ini adalah kebolehan.

Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tamhid juz 1 hal 120, Masalah Kelima:

الإكراه إن كان ملجئا وهو الذي لا يبقى للشخص معه قدرة ولا اختيار كالإلقاء من شاهق فلا يصح معه تكليف لا بالفعل المكره عليه لضرورة وقوعه ولا بضده لامتناعه والتكليف بالواجب وقوعه والممتنع وقوعه محال لأن التكليف شرطه القدرة والقادر هو الذي إن شاء فعل وإن شاء ترك وإن كان غير ملجىء كما لو قال إن لم تكفر أو تقتل زيدا وإلا قتلتك وعلم أو غلب على ظنه أنه إن لم يفعل وإلا قتله فلا يمتنع معه التكليف بل يصح أن يكلف ويدل عليه بقاء تحريم القتل والزنا مع الإكراه

Ikrah, bila ia itu muljii’ yaitu ikrah yang tidak menyisakan bagi orang itu qudrah (kemampuan) dan ikhtiyar (pilihan) bersamanya, seperti dilemparkan dari puncak gunung, maka tidak sah taklif bersamanya baik dengan tindakan yang dipaksakan terhadapnya karena kepastian keterjadiannya dan tidak pula dengan kebalikannya karena ketidakmungkinannya. Sedangkan taklif dengan suatu yang pasti terjadi dan dengan suatu yang tidak mungkin terjadi adalah mustahil, dikarenakan taklif itu syaratnya adalah qudrah (kemampuan), sedangkan orang yang memiliki kemampuan itu adalah orang yang bila dia berkehendak maka dia melakukan dan bila dia berkehendak maka dia meninggalkan. Dan bila ikrah itu ghair muljii’ seperti seandainya orang berkata “bila kamu tidak melakukan kekafiran atau tidak membunuh si Zaid maka aku akan membunuhmu” sedangkan dia mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa bila dia tidak melakukan (hal itu) tentu orang itu membunuhnya, maka taklif tidaklah tertolak bersamanya akan tetapi sah saja dia itu terkena taklif, dan hal ini dibuktikan oleh tetap berlakunya keharaman membunuh dan berzina saat dipaksa.

Dijelaskan di dalam kitab Al Mahshul milik Ar Raziy juz 2 hal 449, masalah keempat tentang orang yang dipaksa terhadap suatu perbuatan, apakah boleh dia diperintahkan dengannya dan meninggalkannya?

المشهور أن الإكراه إما أن ينتهي إلى حد الإلجاء أو لا ينتهي إليه فإن انتهى إلى حد الإلجاء امتنع التكليف لأن المكره عليه يعتبر واجب الوقوع وضده يصير ممتنع الوقوع والتكليف بالواجب والممتنع غير جائز وإن لم ينته إلى حد الإلجاء صح التكليف به

Yang masyhur bahwa ikrah itu ada yang sampai pada batas iljaa’ (keterdesakan) dan ada yang tidak sampai kepada batas itu. Bila ia sampai kepada batas iljaa’ maka taklif tertolak, karena apa yang dipaksakan itu dianggap pasti terjadi dan lawannya menjadi mustahil terjadi, sedangkan taklif dengan suatu yang pasti terjadi dan dengan yang mustahil terjadi itu adalah tidak boleh. Dan bila belum sampai kepada batas iljaa’, maka taklif dengannya adalah sah.

Ada di dalam Ushul Al Bazdawiy juz 1 hal 357: Adapun pasal lain, maka ia adalah pasal ikrah, dan ia itu ada tiga macam;

نوع يعدم الرضاء ويفسد الاختيار وهو الملجىء , ونوع يعدم الرضاء ولا يفسد الاختيار وهو الذي لا يلجئ , ونوع آخر لا يعدم الرضاء وهو أن يهتم (بمعنى يلحقه الهم والغم ) بحبس ابيه أو ولده وما يجري مجراه

Satu macam yang menghilangkan keridloan dan merusak ikhtiyar (pilihan), yaitu muljii’. Dan macam lain yang menghilangkan keridloan dan tidak merusak ikhtiyar (pilihan), yaitu ikrah yang tidak muljii’. Serta macam lain yang tidak menghilangkan keridloan, yaitu membuatnya murung dan bingung dengan pemenjaraan ayahnya atau anaknya dan yang serupa itu.

Di dalam Al Ihkam milik Al Amidiy juz 1 hal 203:

المسألة الثالثة اختلفوا في الملجىء إلى الفعل بالإكراه بحيث لا يسعه تركه في جواز تكليفه بذلك الفعل إيجادا وعدما والحق أنه إذا خرج بالإكراه إلى حد الاضطرار وصار نسبة ما يصدر عنه من الفعل إليه نسبة حركة المرتعش إليه أن تكليفه به إيجادا وعدما غير جائز إلا على القول بتكليف ما لا يطاق وإن كان ذلك جائزا عقلا لكنه ممتنع الوقوع سمعا لقوله عليه السلام رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه والمراد منه لا رفع المؤاخذة وهو مستلزم لرفع التكليف وما يلزمه من الغرامات فقد سبق جوابه غير مرة

Masalah ketiga, mereka berselisih prihal orang yang dipaksa melakukan dengan ikrah muljii’, sehingga tidak ada jalan lain untuk meninggalkannya, tentang kebolehan pentaklifannya dengan hal itu dari sisi ada dan tidak adanya. Dan pendapat yang benar adalah bahwa bila ia keluar dengan sebab ikrah itu kepada batas idlthirar (mesti terjadi) dan sehingga penisbatan perbuatan yang muncul dari kepadanya menjadi seperti penisbatan gerakan orang yang gemetaran kepadanya, maka pentaklifannya dengan hal itu baik dari sisi ada dan tidak adanya adalah tidak boleh, kecuali atas dasar pendapat yang mengatakan kebolehan pentaklifan sesuatu yang tidak bisa dipikul, meskipun hal itu adalah boleh secara akal akan tetapi ia itu mustahil terjadi secara syar’iy, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Telah diangkat dari umatku (dosa) kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepada mereka,” sedangkan yang dimaksudkan darinya adalah peniadaan sangsi, dan sedangkan ia itu adalah memestikan peniadaan taklif dan hal-hal yang menjadi kemestiannya seperti denda-denda, di mana telah lalu dengan sering jawaban terhadapnya.

Asy Syaukaniy berkata dalam As Sailul Jarrar juz 4 hal 409:

وأما قوله وبالإكراه فوجهه واضح إذا بلغ الحد الذي يصير به الفعل منه كلافعل وأما لو بقي له فعل فلا يجوز كما تقدم في باب الإكراه

Dan adapun ucapannya “dan dengan ikrah” maka arahnya adalah jelas bila paksaan itu sampai pada batas yang mana dengan sebabnya si tindakan yang muncul dari orang itu seperti tidak ada tindakan. Dan adapun bila masih tersisa tindakan baginya, maka tidak boleh sebagaimana yang telah lalu di bab ikrah.

Berkata juga dalam As Sailul Jarrar juz 4 hal 265:

وقوله وما لم يبق له فيه فعل فكلا فعل أقول هذا من الوضوح والجلاء بحيث لا ينبغي أن يلتبس أو يتردد فإنه في هذه الحالة قد صار كالآلة لفاعل الإكراه فتكليفه بما فعله مما لم يبق له فعل تكليف بما لا يطاق وقد رفعه الله عن عباده بنصوص كتابه وسنة رسوله صلى الله عليه

Dan ucapannya “dan suatu yang tidak tersisa di dalamnya tindakan baginya, maka seolah tidak ada tindakan baginya” Saya katakan ini sangat jelas lagi terang sehingga tidak layak untuk dianggap samar atau diragukan, di mana sesungguhnya pada keadaan ini dia itu seolah seperti alat bagi pelaku pemaksaan. Sehingga pentaklifannya dengan suatu yang tidak menyisakan kesempatan tindakan baginya adalah taklif dengan suatu yang di luar batas jangkauan kemampuannya padahal hal itu telah diangkat Allah dari hamba-hamba-Nya dengan nushush Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam Fathul Bariy Ibnu Hajar juz 12 hal 311 dan berkata….

فلا خلاف في جواز التكليف به وانما جرى الخلاف في تكليف الملجأ وهو من لا يجد مندوحة عن الفعل كمن ألقى من شاهق وعقله ثابت فسقط على شخص فقتله فإنه لا مندوحة له عن السقوط ولا اختيار له في عدمه وانما هو آلة محضة ولا نزاع في أنه غير مكلف إلا ما أشار إليه الآمدي من التفريع على تكليف ما لا يطاق

Maka tidak ada perselisihan dalam hal kebolehan taklif dengannya. Namun perselisihan itu hanyalah dalam pentaklifan orang yang (mukrah) muljii’ yaitu orang yang tidak memiliki jalan lain kecuali melakukan, seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya sehat terus ia jatuh menimpa seseorang sehingga membunuhnya, maka dia itu tidak memiliki jalan untuk menghindar dari keterjatuhan dan ia tidak memiliki pilihan untuk tidak jatuh, akan tetapi dia hanyalah alat murni, sedangkan tidak ada perselisihan bahwa dia itu tidak mukallaf kecuali apa yang diisyaratkan oleh Al Amidiy berupa pencabangan terhadap pentaklifan suatu yang diluar batas kemampuan.

Selesai ucapan para ulama…

Dan sekarang kami akan menjelaskan apa yang telah kami nukil dari ahli ilmu. Dan saya akan meringkas ucapan mereka agar saya bisa meletakkan tangan saya di atas apa yang saya inginkan supaya hal itu jelas bagi orang yang Allah inginkan pemberian hidayah kepadanya.

Para ulama berkata saat mereka menjelaskan ikrah:

    Prihal tawanan yang diberikan pilihan antara dia dibunuh atau meminum khamr.
    Seperti dilemparkan dari puncak gunung.
    Satu macam yang menghilangkan keridloan dan merusak ikhtiyar (pilihan), yaitu muljii’.
    Sehingga tidak ada jalan lain untuk meninggalkannya.
    Seperti penisbatan gerakan orang yang gemetaran kepadanya.
    Bila paksaan itu sampai pada batas yang mana dengan sebabnya si tindakan yang muncul dari orang itu seperti tidak ada tindakan.
    Di mana sesungguhnya pada keadaan ini dia itu seolah seperti alat bagi pelaku pemaksaan.

    Seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya sehat terus ia jatuh menimpa seseorang sehingga membunuhnya.

Saya katakan, apakah anda sekalian telah mengetahui apa yang tindakan yang dinamakan ikrah yang telah diterima oleh Allah sebagai udzur bagi orang yang menampakkan kekafiran, yang mana seseorang dengan sebab keberadaan ikrah itu menjadi orang yang tidak mukallaf. Apakah anda sekalian telah mengetahui bentuknya sebagaimana yang dicontohkan para ulama. Saya akan memberikan dua contoh di hadapan anda sekalian dari apa yang telah saya kutipkan tadi, di mana dua contoh itu menjelaskan maksud saya ini dengan izin Allah.

    Di mana sesungguhnya pada keadaan ini dia itu seolah seperti alat bagi pelaku pemaksaan.
    Seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya sehat terus ia jatuh menimpa seseorang sehingga membunuhnya.

Apakah anda mengetahui apa itu ikrah yang mu’tabar yang menghilangkan ridlo dan merusak ikhtiyar (pilihan) yang mana seseorang di dalamnya menjadi seperti batu yang dilemparkan dari atap rumah terus menimpa seorang pria sehingga membunuhnya. Apakah batu itu dicela karena menyebabkan keterbunuhan pria itu ataukah yang dicela itu orang yang melemparkan batu tersebut?? Kami beri contoh lain agar lebih jelas: Seseorang jatuh dalam genggaman orang lain yang mengancamnya dengan ancaman mau dibunuh atau disiksa dengan siksaan dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan atau dia harus kafir kepada Allah.

Jadi dia itu di hadapan dua pilihan; dibunuh atau kafir kepada Allah, dan tidak ada pilihan ketiga di hadapannya. Dan disebabkan manusia itu diciptakan di atas tabi’at mencintai kehidupan, maka sesungguhnya gambaran sebenarnya adalah bahwa orang tersebut tidak ada pilihan di hadapannya, yaitu bahwa dia itu dipaksa untuk menampakkan kekafiran kepada Allah. Atau dengan gambaran yang lebih jeli sungguh orang yang mengancamnya itu telah memojokkannya kepada penampakkan kekafiran kepada Allah, karena tidak ada pilihan lain di hadapannya. Oleh karenanya taklif menjadi gugur darinya, karena dia itu kehilangan keridloan dan kehilangan pilihan, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Ar Raziy di dalam Al Mahshul:

لأن المكره عليه يعتبر واجب الوقوع وضده يصير ممتنع الوقوع

“Karena apa yang dipaksakan itu dianggap pasti terjadi dan lawannya menjadi mustahil terjadi.”

Inilah gambaran ikrah yang mu’tabar:

    Dibunuh atau kafir kepada Allah.
    Pemukulan dasyat yang menyebabkan lenyapnya anggota badan atau kafir kepada Allah.
    Pemotongan salah satu anggota badan atau kafir kepada Allah.

Sebagian orang kadang meyakini bahwa pembunuhan atau penyiksaan itu adalah dilontarkan sebagai pilihan di hadapan orang yang dipaksa, sedangkan keyakinan ini adalah tidak benar, karena seandainya ia itu adalah pilihan yang diterima oleh jiwa manusia, tentulah Allah tidak merukhshahkan penampakkan kekafiran terhadap-Nya saat dipaksa untuk dibunuh atau dengan disiksa, dan tentulah orang yang mengambil ‘azimah dan memilih dibunuh atau disiksa daripada dia menampakkan kekafiran kepada Allah (tentulah) dia tidak lebih besar pahalanya di sisi Allah berdasarkan ijma.

Dan dikarenakan pembunuhan itu mengandung pelenyapan bagi mashlahat terbesar yaitu penegakkan dienullah di muka bumi, dan dikarenakan jiwa manusia itu -sebagaimana yang telah kami sebutkan- ditabi’atkan di atas kebencian kepada keterbunuhan atau penyiksaan dan disakiti secara umum.

Dan secara ringkas, seandainya pembunuhan itu adalah dilontarkan sebagai pilihan ganti bagi penampakkan kekafiran kepada Allah, tentu bab ini tidak akan ditemukan sama sekali di dalam kitab-kitab para fuqaha, yaitu bab ikrah.

Dan adapun ikrah yang di dalamnya ada dua pilihan sebagai pengganti bagi pembunuhan atau penyiksaan, maka ini sama sekali bukan ikrah muljii’, seperti contoh yang telah diutarakan Ibnu Abdil Barr di dalam At Tamhid, di mana beliau berkata:

“Bila kamu tidak melakukan kekafiran atau tidak membunuh si Zaid maka aku akan membunuhmu.”

Yaitu bahwa dia itu memiliki dua pilihan dalam menghadapi pembunuhan:

Pertama: Kamu kafir.

Dan kedua: Kamu membunuh si Zaid.

Dua pilihan di hadapan apa yang tidak disukai jiwa manusia yang mana dia diciptakan Allah di atas tabi’at mencintai kehidupan. Oleh karena ini maka syahadah fi sabilillah adalah sangat agung di sisi Allah karena jiwa tidak menyukainya.

Ikrah macam ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr adalah ikrah ghair muljii’. Adapun ikrah macam lain yaitu ikrah yang mu’tabar dalam penampakkan kekafiran, maka ia adalah ikrah yang tidak ada di hadapan seseorang di dalamnya kecuali satu pilihan saja di dalam menghadapi apa yang diancamkan kepadanya berupa pembunuhan atau pemotongan anggota badan atau pemukulan dahsyat yang bisa melenyapkan salah satu anggota badan. Dan ikrah macam ini dinamakan oleh para ulama sebagai ikrah muljii’.

Jadi apa ikrah muljii’ itu? Dan kenapa dinamakan sebagai (ikrah) muljii’ atau taamm (sempurna), apakah di sana ada sebab bagi penamaan ini ataukah ia itu hanya sekedar penamaan?????

Pertama-tama kita harus mengetahui makna Talji-ah (التلجئه) secara bahasa:

Di dalam Lisanul ‘Arab juz 1 hal 152 dikatakan:

( لجأ ) لَجَأَ إِلى الشيء والمَكان يَلْجَأُ لَجْأً ولُجُوءاً ومَلْجَأً ولَجِئَ لَجَأً والْتَجَأَ وأَلْجأْتُ أَمْري إِلى اللّه أَسْنَدتُ وفي حديث كَعْب رضي اللّه عنه مَن دَخَل في ديوان المُسلِمِين ثمَ تَلجَّأَ منهم فقد خَرج من قُبَّة الإِسْلامِ يقال لَجَأْتُ إِلى فلان وعنه والتَجَأْتُ وتَلجَّأْتُ إِذا اسْتَنَدْتَ إِليه واعْتَضَدْتَ به أَو عَدَلْتَ عنه إِلى غيره كأَنه إِشارةٌ إِلى الخُروج والانْفراد عن المسلمِين واَلْجَأَه إِلى الشيءِ اضْطَرَّه إِليه وأَلْجَأَه عَصَمه والتَّلْجِئةُ الإِكْراهُ أَبو الهيثم التَّلْجِئةُ أَنْ يُلْجئَكَ أَن تَأْتِيَ أَمْراً باطِنُه خِلافُ ظاهره وذلِكَ مِثْلُ إِشْهادٍ على أَمْرٍ ظاهِرُه خِلافُ باطِنِه وفي حديث النُّعْمانِ بن بَشِير هذا تَلْجِئةٌ فأَشْهِدْ عليه غَيْرِي التَلْجِئة تَفْعِلة من الإِلْجَاءِ كأَنه قد أَلْجَأَكَ إِلى أَنْ تَأْتِيَ أَمراً باطِنُه خلافُ ظاهره وأَحْوَجَك إِلى أَن تَفْعَل فِعلاً تَكْرَهُه

“(Laja-a) Laja-a Ilasysyai-i wal makaan yalja-u laj-an wa lujuu-an wa malja-an wa laji-a laja-an wal taja-a wa alja-tu amrii ilallaah maknanya aku sandarkan (urusanku) kepada Allah, dan di dalam hadits Ka’ab radliyallahu ‘anhu: Man dakhala fii diiwaanil muslimiin tsumma talajja-a minhum faqad kharaja min qubbatil islam” dikatakan laja-tu ilaa fulaan wa ‘anhu wal taja-tu wa talajja-tu bila engkau bersandar kepadanya dan mengokohkan dirimu dengannya atau engkau berpaling darinya kepada selainnya seolah ia adalah isyarat kepada sikap keluar dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Wa alja-ahuu ilasysyai-i maknanya dia menyudutkannya kepadanya dan alja-ahu artinya menjaganya, dan talji-ah artinya adalah ikrah. Berkata Abul Haitsam: Talji-ah adalah dia menyudutkamu untuk melakukan suatu hal yang bathinnya berbeda dengan dhahirnya. Dan itu seperti mempersaksikan terhadap suatu hal yang dhahirnya menyelisihi bathinnya. Dan di dalam hadits An Nu’man Ibnu Basyir: Ini adalah talji-ah, maka carilah saksi terhadap hal ini selain saya,” talji-ah itu adalah wazan taf’ilah dari iljaa-u seolah dia itu telah menyudutkanmu untuk melakukan suatu hal yang bathinnya menyelisihi dhahirnya dan memojokkanmu untuk melakukan perbuatan yang tidak engkau sukai.”

Di dalam Al Qamus Al Muhith juz 1 hal 65:

لَجَأَ إليه كمنع وفرِحَ : لاذَ كالْتَجَأَ . وأَلْجَأَهُ : اضْطَرَّهُ و أَمْرَهُ إلى اللَّهِ قَيْلٌ . والتَّلْجِئَةُ : الا كراه

“Laja-a ilaihi seperti mana’a dan fariha: Laadza seperti iltaja-a, sedangkan alja-ahu artinya adalah idltharrahu wa amrahu ilallah (memojokkannya dan urusannya kepada Allah) yaitu menyandarkannya… Dan Talji-ah adalah ikrah.”

Di dalam Mukhtar Ashshihhaah juz 1 hal 612:

[ لجأ ] ل ج أ : لَجَأ إليه يلجأ مثل قطع يقطع لَجَأً بفتحتين و مَلْجَأ و الْتَجَأَ مثله و التَّلْجِئَة الإكراه و ألْجَأَه إلى كذا اضطره إليه و أَلْجَأ أمره إلى الله أسنده

“(Laja-a) Lam Jim Alif: Laja-a ilaihi yalja-u seperti qatha’a yaqtha’u laja-an wa malja-an, dan iltaja-a juga seperti itu, sedangkan taljia-ah adalah ikrah (paksaan), dan alja-ahu ila kadza maknanya adalah idltharrahu ilaihi (memojokkannya kepadanya), dan sedangkan alja-a amrahu ilallaah artinya adalah asnadahu (menyandarkannya).

Di dalam Kitab Al ‘Ain juz 6 hal 178:

لجأ :لَجَأَ فلانٌ إلى كذا مَلْجَأً ولَجْأً وهو يَلْجَأُ ويَلْتَجِئُ وأَلْجَأَنا الأَمْرُ إلى كذا أي : إضطّرني إليه

“Laja-a, Laja-a fulan ila kadza malja-an wa laja-an, wa huwa yalja-u wa yaltaji-u, wa alja-anaa al amru ila kadza maknanya adalah memojokkanku kepadanya.”

Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsirnya juz 8 hal 149:

والملجأ الحصن عن قتادة وغيره ابن عباس : الحرز وهما سواء يقال : لجأت إليه لجأ ( بالتحريك ) وملجأ والتجأت إليه بمعنى والموضع أيضا لجأ وملجأ والتلجئة الإكراه وألجأته إلى الشيء اضطررته إليه وألجأت أمري إلى الله أسندته

“Malja adalah Hishn (benteng), dari Qatadah dan yang lainnya dari Ibnu Abbas: Hirz (penjagaan), sedangkan keduanya adalah sama, dikatakan: Laja-tu ilaihi laja-an wa malja-an wal taja-tu ilaihi adalah semakna, dan tempat juga disebut laja dan malja. Sedangkan Talji-ah adalah ikrah, dan alja-tuhu ilasysyai-i adalah saya memojokkannya kepadanya, dan alja-tu amrii ilallah bermakna aku menyandarkannya.

Setelah kita mengetahui maknanya secara bahasa, maka apa makna syar’iy bagi ikrah muljii’ itu?? Atau apa ikrah muljii’ itu menurut para ulama?

Definisi ikrah muljii’ menurut para ulama:

Ibnu Abdul Barr telah menjelaskannya dengan ungkapan yang singkat yang akan kami tuturkan dan setelah itu kami akan menuturkan yang lainnya. Ibnu Abdil Barr berkata di dalam At Tamhid juz 1 hal 120:

الإكراه إن كان ملجئا وهو الذي لا يبقى للشخص معه قدرة ولا اختيار

“Ikrah itu bila muljii’ yaitu ikrah yang tidak menyisakan bagi seseorang sedikitpun qudrah (kemampuan) dan ikhtiyar (pilihan) bersamanya.”

Asy Syaukaniy berkata tentang ikrah muljii’ ini di dalam As Sailul Jarrar juz 4 hal 409:

وأما قوله وبالإكراه فوجهه واضح إذا بلغ الحد الذي يصير به الفعل منه كلافعل وأما لو بقي له فعل فلا يجوز كما تقدم في باب الإكراه

“Adapun ucapannya ‘dan dengan ikrah’ maka sisi alasannya adalah sangat jelas, bila ikrah itu telah sampai pada batas yang menjadikan perbuatan yang muncul darinya itu seolah tidak ada perbuatan, dan adapun seandainya masih tersisa baginya perbuatan, maka hal itu tidak boleh sebagaimana yang telah lalu di bab ikrah.”

Al Bazdawiy telah menuturkannya di dalam Ushul-nya, di mana beliau berkata di juz 1 hal 357:

واما الفصل الآخر فهو فصل الاكراه وهو ثلاثة أنواع نوع يعدم الرضاء ويفسد الاختيار وهو الملجىء

“Dan adapun pasal yang lain, maka ia itu pasal ikrah, sedangkan ia itu ada tiga macam, satu macam yang menghilangkan ridlo dan merusak ikhtiyar, dan ia itu adalah (ikrah) muljii’.”

Di dalam kitab Al Lubab Fi Syarhi Al Kitab juz 4 hal 16:

كتاب الإكراه

وهو لغة : حمل الإنسان على أمر يكرهه وشرعا : حمل الغير على فعل بما يعدم رضاه دون اختياره لكنه قد يفسده وقد لا يفسده. قال في التنقيح :وهو إما ملجئ : بأن يكون بفوت النفس أو العضو وهذا معدم للرضا مفسد للاختيار وإما غير ملجئ : بأن يكون بحبس أو قيد أو ضرب وهذا معدم للرضا غير مفسد للاختيار

“Kitab Ikrah, di mana ia secara bahasa adalah: membawa orang kepada suatu yang dibencinya. Sedangkan secara syar’iy ia adalah membawa orang lain kepada perbuatan dengan suatu yang melenyapkan keridloannya tanpa melenyapkan ikhtiyarnya akan tetapi kadang merusaknya dan kadang tidak merusaknya. Berkata di dalam At Tanqih: Sedangkan ikrah ada yang muljii’: yaitu dengan pelenyapan nyawa atau anggota badan, dan ikrah ini melanyapkan ridlo lagi merusak ikhtiyar. Dan ada ikrah ghair muljii’: yaitu dengan pemenjaraan, atau pengikatan, atau pemukulan, dan ikrah macam ini adalah melenyapkan ridlo namun tidak merusak ikhtiyar (pilihan).”

Ada di dalam kitab Bada-iu Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 184:

“Pasal: Penjelasan macam-macam ikrah.

وأما بيان أنواع الإكراه فنقول : إنه نوعان :نوع يوجب الإلجاء والاضطرار طبعا كالقتل والقطع والضرب الذي يخاف فيه تلف النفس أو العضو قل الضرب أو كثر ومنهم من قدره بعدد ضربات الحد وأنه غير سديد لأن المعول عليه تحقق الضرورة فإذا تحققت فلا معنى لصورة العدد وهذا النوع يسمى إكراها تاما.

ونوع لا يوجب الإلجاء والاضطرار وهو الحبس والقيد والضرب الذي لا يخاف منه التلف وليس فيه تقدير لازم سوى أن يلحقه منه الاغتمام البين من هذه الأشياء أعني الحبس والقيد والضرب وهذا النوع من الإكراه يسمى إكراها ناقصا.

Adapun penjelasan macam-macam ikrah, maka kami katakan: Sesungguhnya ikrah itu ada dua macam: Satu macam ikrah yang mengharuskan keterdesakan dan keterpaksaan secara pasti, seperti pembunuhan, pemotongan anggota badan, dan pemukulan yang dikhawatirkan melenyapkan nyawa atau anggota badan, baik pukulan itu banyak maupun sedikit, dan di antara ulama ada yang menetapkan ukuran sejumlah pukulan had, namun penetapan ukuran jumlah ini tidaklah tepat, karena yang menjadi acuan adalah keterbuktian adanya keterdesakan, sehingga bila ia itu terbukti maka tidak ada maknanya bagi jumlah bilangan. Dan ikrah macam ini dinamakan sebagai ikrah taamm (yang sempurna).

Dan satu macam lagi adalah (ikrah) yang tidak mengharuskan keterdesakan dan keterpaksaan, yaitu pemenjaraan, pengikatan, dan pemukulan yang tidak dikhawatirkan melenyapkan (nyawa atau anggota badan). Dan di dalam hal-hal ini tidak ada batasan selain bahwa hal-hal ini menyebabkan dia mengalami kepenatan yang nyata dari sebab hal-hal ini yaitu akibat pemenjaraan, pengikatan dan pemukulan. Dan ikrah macam ini dinamakan sebagai ikrah naqish (yang kurang).

Di dalam Ahkamul Qur’an milik Al Jashshash juz 5 hal 13:

قوله تعالى من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان روى معمر عن عبدالكريم عن أبي عبيد بن محمد بن عمار بن ياسر إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان قال أخذ المشركون عمارا وجماعة معه فعذبوهم حتى قاربوهم في بعض ما أرادوا فشكا ذلك إلى رسول الله ص – قال كيف كان قلبك قال مطمئن بالإيمان قال فإن عادوا فعد

“Firman-Nya Ta’ala ‘Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan’ (An Nahl: 106), Ma’mar meriwayatkan dari Abdul Karim dari Abu Ubaid Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar Ibnu Yasir “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan” ia berkata: Kaum musyrikin menangkap ‘Ammar dan sejumlah orang bersamanya, terus mereka menyiksa orang-orang itu sampai mereka menyetujui kaum musyrikin dalam sebagian apa yang mereka inginkan, maka ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya: Bagaimana hatimu? Ia berkata: Tentram dengan keimanan,” maka beliau berkata: Bila mereka mengulangi, maka ulangilah.”

Abu Bakar berkata:

هذا اصل في جواز إظهار كلمة الكفر في حال الإكراه والإكراه المبيح لذلك هو أن يخاف على نفسه أو بعض أعضائه التلف إن لم يفعل ما أمره به فأبيح له في هذه الحال أن يظهر كلمة الكفر ويعارض بها غيره إذا خطر ذلك بباله.انتهى .

Ini adalah landasan bagi kebolehan penampakkan ucapan kekafiran di saat ikrah. Sedangkan ikrah yang membolehkan hal itu adalah: (Kondisi) dia mengkhawatirkan kelenyapan nyawa atau sebagian anggota badan bila dia tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, maka dalam kondisi ini dibolehkan baginya untuk menampakkan ucapan kekafiran, dan dia menggunakan ungkapan kiasan yang lain bila hal itu terlintas di benaknya.” Selesai.

Ada di dalam Al Mabsuth juz 7 hal 269:

وشبهه بعضهم باشتراط الخيار فإن شرط الخيار يعدم الرضا بحكم السبب دون نفس السبب ثم في الإكراه يعتبر معنى في المكره ومعنى في المكره ومعنى فيما أكره عليه ومعنى فيما أكره به فالمعتبر في المكره تمكنه من إيقاع ما هدده به فإنه إذا لم يكن متمكنا من ذلك فإكراهه هذيان وفي المكره المعتبر أن يصير خائفا على نفسه من جهة المكره في إيقاع ما هدده به  عاجلا لأنه لا يصير ملجأ محمولا طبعا إلا بذلك وفيما أكره به بأن يكون متلفا أو مزمنا (…) أو متلفا عضوا أو موجبا عما ينعدم الرضا باعتباره وفيما أكره عليه أن يكون المكره ممتنعا منه قبل الإكراه إما لحقه أو لحق آدمي آخر أو لحق الشرع وبحسب اختلاف هذه الأحوال يختلف الحكم.

“Dan sebagian ulama menyerupakannya dengan pensyaratan khiyar, di mana sesungguhnya syarat khiyar melenyapkan keridloan terhadap hukum sebab bukan sebabnya itu. Kemudian di dalam ikrah itu diperhitungkan makna pada orang yang memaksa dan makna pada orang yang dipaksa, juga makna pada apa yang dipaksakan terhadapnya serta makna pada apa yang digunakan untuk memaksa. Di mana yang dianggap pada orang yang memaksa adalah adanya kemampuan dia untuk menimpakan apa yang diancamkannya, sehingga bila dia tidak memiliki kemampuan terhadap hal itu maka ikrahnya itu adalah igauan. Dan yang dianggap pada orang yang dipaksa adalah keberadaan dia menjadi mengkhawatirkan keselamatan nyawanya dari tindakan orang yang memaksa yang akan menimpakan apa yang diancamkannya secara segera, karena ia itu menjadi ikrah muljii’ yang mendesak kecuali dengan hal itu. Dan dianggap pada apa yang digunakan untuk memaksa adalah dengan cara pelenyapan nyawa atau muzamman (….) atau pelenyapan anggota badan atau hal yang memestikan lenyapnya keridloan dengan sebabnya. Dan pada apa yang dipaksakan terhadapnya hendaknya si orang yang dipaksa itu menolaknya sebelum ada ikrah itu, baik karena haknya atau karena hak orang lain atau karena hak syari’at, dan dengan perbedaan keadaan-keadaan ini maka hukumpun berbeda-beda.”

Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari juz 12 hal 311:

“Syarat-syarat ikrah ada empat:

Pertama: Si pelaku mampu merealisasikan apa yang diancamkannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak mampu menolaknya walaupun dengan cara melarikan diri.

Kedua: Kuat dugaan orang yang dipaksa bahwa seandainya dia menolak maka orang yang memaksa pasti menimpakkan apa yang diancamkannya kepadanya.

Ketiga: Apa yang diancamkannya itu adalah saat itu juga, di mana seandainya dia berkata: Bila kamu tidak melakukan hal ini maka aku akan memukulmu besok hari,” maka hal itu tidak dianggap sebagai ikrah, namun dikecualikan bila dia menyebutkan waktu yang sangat dekat sekali atau menurut kebiasaan bahwa dia itu selalu merealisasikan ancamannya.

Keempat: Tidak nampak dari orang yang dipaksa itu suatu yang menunjukan bahwa dia itu adalah pilihannya (yaitu tidak merasa dipaksa).”

Dan beliau berkata juga sesudahnya:

“Namun yang ada perselisihan itu adalah hanyalah dalam hal pentaklifan orang yang berada pada kondisi ikrah muljii’, yaitu orang yang tidak memiliki jalan untuk menghindari dari melakukan, seperti orang yang dilemparkan dari puncak gunung sedangkan akalnya masih ada, terus ia jatuh menimpa orang sehingga membuatnya terbunuh, maka sesungguhnya ia itu tidak memiliki jalan untuk menghindari dari keterjatuhan dan dia tidak memiliki pilihan untuk tidak jatuh, namun ia itu adalah murni alat, sedangkan tidak ada perselisihan dalam hal ini bahwa ia itu tidak mukallaf, kecuali apa yang diisyaratkan oleh Al Amidiy berupa pengembangan cabang terhadap pentaklifan suatu yang di luar kemampuan (manusia), dan telah terjadi perselisihan prihal pentaklifan orang yang lalai seperti orang yang tidur atau orang yang lupa, sedangkan ia itu lebih jauh dari dari iljaa’ (ikrah muljii’) karena ia itu sama sekali tidak memiliki rasa.”

Setelah pemaparan perkataan para ulama ini, maka yang kita pahami dari ucapan mereka tentang ikrah muljii’ adalah:

Pertama: Bahwa ia disebut muljii’ karena ia tidak menyisakan bagimu sedikitpun peluang untuk ikhtiyar (pilihan), dan dikarenakan ia itu memojokkanmu untuk menampakkan kekafiran atau melakukan apa yang dipaksakannya, karena tidak ada pilihan bagimu selainnya.

Dan dengan ungkapan yang lebih jelas: tidak ada jalan lari bagimu dari pembunuhan kecuali dengan penampakkan kekafiran. Ini adalah makna muljii’, yaitu ia tidak menyisakan bagimu kesempatan lain setelah pembunuhan kecuali penampakan kekafiran, yaitu ia tidak meninggalkan bagimu pilihan sama sekali, sehingga (untuk selamat dari itu) kamu wajib menampakkan kekafiran, yaitu ia menyudutkanmu untuk menampakkan kekafiran kepada Allah. Saya berharap bahwa saya sudah cukup bisa menjelaskan point ini, karena ia adalah sangat penting dalam memahami ikrah ini.

Kedua: Supaya ia itu menjadi ikrah muljii’ untuk menampakkan kekafiran, maka yang diancamkan itu harus berupa pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan bisa melenyapkan salah satu anggota badan.

Ketiga: Bahwa orang yang memaksamu untuk menampakkan kekafiran dengan ancaman pembunuhan atau dengan pemukulan atau pemotongan anggota badan itu haruslah mampu untuk merealisasikan ancamannya ini, karena kalau tidak demikian maka ikrahnya itu bukanlah ikrah muljii’ karena ketidakmampuan orang yang memaksa untuk merealisasikan ancamannya.

Keempat: Disamping terkumpul syarat-syarat yang telah kami sebutkan tadi, disyasratkan juga ancamannya itu fauriy (langsung) yaitu saat itu juga, di mana seandainya dia berkata kepadamu “besok” maka hal ini tidak dianggap ikrah muljii’, karena pilihanmu itu tidak ada sesuatupun yang menggugurkannya sehingga kamu melakukan apa yang mereka ancamkannya kepadamu sampai tiba waktu ikrah. Dan dengan ungkapan yang lebih jelas, tidak ada sesuatupun yang mendorongmu untuk kafir kepada Allah, akan tetapi bila pembunuhan atau pemotongan anggota badan itu besok maka kamu wajib bersabar sampai tibanya waktu pembunuhan, dan setelah datangnya waktu itu maka sebab ikrah muljii’ itu telah terpenuhi, karena kamu tidak mengetahui apakah kamu masih bisa hidup sampai besok siang atau apakah orang yang mengancammu itu masih bisa hidup sampai besok (atau tidak), di mana semua ini ada di Tangan Allah, oleh sebab itu tidak boleh kamu lebih dahulu melakukan kekafiran kepada Allah, wal ‘iyadzu billah.

Bisa saja salah seorang dari kaum muslimin mengatakan: “Jangan tergesa-gesa engkau kawan,” ini adalah ucapan yang benar secara global, akan tetapi ia membutuhkan perincian, di mana batasan keterbuktian ikrah itu telah diperselisihkan ulama, sedangkan engkau di sini mengatakan bahwa batasan yang diterima di dalam penampakkan kekafiran saat ikrah itu adalah dengan berupa (ancaman) pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau dengan pemukulan yang dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan. Maka kami menjawabnya dengan izin Allah: Justeru sesungguhnya pemahamanmu terhadap ucapan para ulama itulah yang global, bukan apa yang telah kami utarakan di sini wal hamdulillah. Dan kami akan menjelaskan di hadapanmu masalah ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sebagian ulama. Dan kami akan menyinggung nama para ulama yang telah dinukil dari mereka di dalam kontek bahasan ikrah nukilan yang seolah menyatakan bahwa di sana ada perselisihan pada batasan ikrah, agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan perselisihan ini.

Batasan Ikrah.

Orang-orang yang menuturkan bahwa di sana ada perselisihan pada batasan ikrah atau dengan ungkapan yang lebih tepat; orang-orang yang saya temui saat saya menelusuri ucapan para ulama mereka menyebutkan perselisihan pada batasan ikrah adalah: Al Qurthubiy dan Ibnu Hajar.

Al Qurthubiy berkata dalam Tafsir-nya:

“Kesembilan belas- Para ulama berselisih pada batasan ikrah, di mana diriwayatkan dari Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: Orang itu tidak merasa aman terhadap dirinya bila kamu menakut-nakutinya atau kamu mengikatnya atau kamu memukulnya. Ibnu Mas’ud berkata: Tidak satu ucapanpun yang bisa menghindarkan dari saya dua pukulan cemeti melainkan aku pasti mengatakannya. Al Hasan berkata: Taqiyyah itu boleh bagi orang mu’min sampai hari kiamat akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak menjadikan taqiyyah pada pembunuhan. An Nakha’iy berkata: Pengikatan itu adalah ikrah dan pemenjaraan adalah ikrah. Dan ini adalah pendapat Malik juga, akan tetapi ia mengatakan: Ancaman yang menakutkan adalah ikrah walaupun hal itu tidak terjadi bila benar-benar terbukti kedzaliman orang yang aniaya itu ada perealisasiannya terhadap apa yang diancamkannya. Menurut Malik dan para pengikutnya tidak ada batasan pada pemukulan dan pemenjaraan, namun cukup pemukulan yang menyakitkan dan pemenjaraan yang membuat penat (sempit) terhadap orang yang dipaksa. Paksaan penguasa dan yang lainnya menurut Malik adalah ikrah juga. Ulama Kufiyyun saling kontradiksi di mana mereka tidak menjadikan pemenjaraan dan pengikatan sebagai ikrah terhadap minum khamr dan makan bangkai, karena dikhawatirkan kebinasaan dari akibat dua hal itu, dan mereka menjadikan dua hal itu sebagai ikrah dalam pengakuannya bahwa saya memiliki hutang seribu dirham kepada si fulan. Ibnu Sahnun berkata: Dan di dalam ijma mereka bahwa penyiksaan yang dahsyat itu adalah ikrah terdapat hal yang menunjukan bahwa ikrah itu bisa tanpa pelenyapan nyawa. Malik berpendapat bahwa barangsiapa dipaksa untuk sumpah dengan ancaman atau pemenjaraan atau pemukulan maka ia itu silahkan sumpah dan tidak dianggap melanggar, dan ia adalah pendapat Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Tsaur dan mayoritas ulama.”

Catatan terhadap ucapan Al Qurthubiy:

Kita bisa memperhatikan bahwa Al Imam sama sekali tidak menyinggung masalah mengucapkan atau melakukan kekafiran, akan tetapi ucapan beliau itu hanyalah tentang suatu yang di bawah kekafiran. Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari juz 12 hal 311:

Dan ada perselisihan prihal apa yang dijadikan ancaman:

Di mana mereka sepakat terhadap pembunuhan, pelenyapan salah satu anggota badan, pemukulan yang dahsyat serta pemenjaraan yang lama. Dan mereka berselisih pada pukulan yang ringan dan pemenjaraan yang sebentar seperti sehari atau dua hari.

Ucapannya: Dan firman Allah Ta’ala “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan” (An Nahl: 106) adalah ancaman yang dahsyat bagi orang yang murtad tanpa dipaksa, dan adapun orang yang dipaksa terhadap hal itu maka dia itu diudzur berdasarkan ayat itu, karena pengecualian dari al itsbaat (kalimat positif) adalah nafyun (negatif), sehingga memiliki makna bahwa orang yang dipaksa terhadap kekafiran adalah tidak masuk di bawah ancaman.

Dan yang masyhur bahwa ayat itu turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir, sebagaimana telah datang dari jalur Abu ‘Ubaidah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar Ibnu Yasir berkata: Kaum musyrikin menangkap ‘Ammar terus mereka menyiksanya sampai mereka bisa menekannya menyetujui sebagian apa yang mereka inginkan, maka ia mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepadanya: Bagaimana engkau dapati hatimu? Ia berkata: Tentram dengan keimanan,” beliau berkata: Bila mereka kembali melakukan (hal itu), maka kembalilah engkau lakukan.” Atsar ini mursal sedangkan para perawinya tsiqat, telah dikeluarkan oleh Ath Thabariy dan diterima juga oleh Abdurrazzaq, dan telah meriwayatkan darinya ‘Abd Ibnu Humaid dan telah dikeluarkan oleh Al Baihaqiy dari jalur ini dan ia menambahkan di dalam sanad itu, di mana ia berkata dari Abu ‘Ubaidah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar dari ayahnya, sedangkan ia adalah mursal juga.

Ibnu Hajar berkata prihal hadits ini: (Para perawinya tsiqat walaupun mursal, dan mursal-mursal ini satu sama lain saling menguatkan).

Jawaban terhadap apa yang lalu:

Pertama-tama kami katakan sebagai bantahan terhadap ucapan Al Qurthubiy bahwa ia adalah ucapan yang umum yang tidak menunjukkan bahwa beliau memaksudkan ikrah terhadap ucapan kekafiran, dan dikarenakan sebagaimana yang akan kita ketahui bahwa para ulama itu melakukan pemilahan di dalam ikrah sesuai mukrah bih (apa yang dijadikan sebagai alat paksakan) dan sesuai mukrah ‘alaih (sesuatu yang dipaksakan terhadapnya), dan mereka meletakkan syarat-syarat bagi masing-masing dari keduanya, dan di samping ini sesungguhnya ucapan Al Qurthubiy sendiri menyelisihi pemahaman ini di tempat lain. Telah berkata Al Qurthubiy di dalam Tafsir-nya juz 10 hal 170: Ahli ilmu telah ijma’ (sepakat) bahwa orang yang dipaksa terhadap kekafiran sampai mengkhawatirkan dirinya dibunuh, maka sesungguhnya ia tidak dosa bila ia melakukan kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan dan isterinya tidak lepas darinya serta ia tidak divonis kafir. Ini adalah pendapat Malik, Kufiyyun dan Asy Syafi’iy selain Muhammad Ibnul Hasan di mana beliau berkata: Bila ia menampakkan kemusyrikan, maka ia murtad secara dhahir, sedangkan kaitan antara dirinya dengan Allah Ta’ala adalah dia muslim, dan isterinya lepas darinya dan ia tidak dishalatkan bila ia mati serta ia tidak mewarisi bapaknya bila si ia mati dalam keadaan muslim, dan pendapat ini adalah tertolak oleh Al Kitab dan Assunnah. Di mana Allah Ta’ala mengatakan “kecuali orang yang dipaksa” dan berfirman “kecuali kalian dalam rangka siasat memelihara diri dari mereka” (Ali Imran: 28) dan berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri[342], (kepada mereka) Malaikat bertanya : “Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Dan berfirman: “kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (Annisaa: 97-98) di mana Allah mengudzur kaum mustadl’afin yang enggan meninggalkan apa yang Allah perintahkan, sedangkan orang yang mukrah itu tidak lain adalah orang mustadl’af yang tidak menolak dari melakukan apa yang Allah perintahkan, ini dikatakan oleh Al Bukhariy.

Dan adapun ucapan Ibnu Hajar, maka sesungguhnya bantahannya ada di dalam ucapannya itu sendiri, karena beliau berkata sesungguhnya yang masyhur dalam masalah ini adalah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir, dan beliau terus menuturkan kisahnya, di mana beliau berkata: Dan yang masyhur bahwa ayat itu telah turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir.

Dan agar kita mengetahui jelas masalah ini, maka kami akan menyebutkan para ulama yang mengatakan bahwa batasan ikrah di dalam kekafiran itu adalah dengan pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau pemukulan yang dasyat yang bisa melenyapkan (anggota badan). Dan (supaya) kita juga mengetahui bagaimana para ulama itu membedakan antara ikrah terhadap penampakkan kekafiran dengan ikrah terhadap suatu di luar kekafiran.

Orang yang paling bagus memberikan perincian di dalamnya adalah Al Imam ‘Alaauddien Abu Bakar Al Kaasaaniy di dalam Badaa-i’u Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 185:

فصل : بيان ما يقع عليه الإكراه

وأما بيان ما يقع عليه الإكراه فنقول وبالله التوفيق : ما يقع عليه الإكراه في الأصل نوعان : حسي وشرعي وكل واحد منهما على ضربين معين ومخير فيه أما الحسي المعين في كونه مكرها عليه فالأكل والشرب والشتم والكفر والإتلاف والقطع عينا وأما الشرعي فالطلاق والعتاق والتدبير والنكاح والرجعة واليمين والنذر والظهار والإيلاء والفيء في الإيلاء والبيع والشراء والهبة والإجارة والإبراء عن الحقوق والكفالة بالنفس وتسليم الشفعة وترك طلبها ونحوها والله أعلم

Pasal: Penjelasan Hal-Hal Yang Terjadi Ikrah Terhadapnya.

Adapun penjelasan hal-hal yang terjadi ikrah terhadapnya, maka kami katakan dengan taufiequllah: Suatu yang terjadi ikrah terhadapnya pada dasarnya ada dua macam; Hissiy dan Syar’iy, dan masing-masing dari keduanya ada dua model yaitu mu’ayyan (tertentu) dan mukhayyar fiih (yang ada pilihan di dalamnya). Adapun hissiy yang mu’ayyan dalam kondisi dia dipaksa terhadapnya, maka ia itu seperti makan, minum, menghina, kekafiran, pelenyapan (pengrusakan) dan pemotongan (anggota badan) secara tertentu tanpa ada pilihan. Dan adapun syar’iy, maka ia itu seperti thalaq, pemerdekaan budak langsung, pemerdekaan budak dengan menggantungkannya terhadap kematian dirinya, nikah, rujuk, sumpah, nadzar, dhihar, ilaa, kembali dalam ilaa, jual beli, hibah, penyewaan, pembebasan hak, kafalah (jaminan) dengan jiwa, penyerahan syuf’ah dan meninggalkan tuntutannya serta hal-hal serupa itu, wallahu a’lam.”

Juga dalam Badaa-i’u Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 185:

فصل : بيان حكم ما يقع عليه الإكراه

وأما بيان حكم ما يقع عليه الإكراه فنقول وبالله التوفيق : أما التصرفات الحسية فيتعلق بها حكمان :
أحدهما : يرجع إلى الآخرة والثاني : يرجع إلى الدنيا

أما الذي يرجع إلى الآخرة فنقول وبالله التوفيق : التصرفات الحسية التي يقع عليها الإكراه في حق أحكام الآخرة ثلاثة أنواع : نوع هو مباح ونوع هو مرخص ونوع هو حرام ليس بمباح ولا مرخص

أما النوع الذي هو مباح فأكل الميتة والدم ولحم الخنزير وشرب الخمر إذا كان الإكراه تاما بأن كان بوعيد تلف
لأن هذه الأشياء مما تباح عند الإضرار

Pasal: Penjelasan hukum hal-hal yang terjadi ikrah terhadapnya.

Adapun penjelasan hal-hal yang terjadi ikrah terhadapnya, maka dengan taufiqullah kami katakan: Adapun tasharrufat hissiyyah (tindakan-tindakan yang bersifat kongkrit), maka ada dua hukum yang berkaitan dengannya: Pertama: Hukum yang kembali ke akhirat. Dan kedua: Hukum yang kembali ke dunia.

Adapun yang kembali ke akhirat, maka kami katakan dengan taufiqullah: Tasharrufat hissiyyah yang terjadi ikrah terhadapnya pada kaitan hukum-hukum akhirat ada tiga macam; satu macam yang bersifat mubah, macam lain yang bersifat diberikan rukhshah (keringanan), serta macam lain yang bersifat haram yang tidak mubah dan tidak pula dirukhshahkan.

Adapun macam yang bersifat mubah, maka ia itu adalah memakan bangkai, darah dan daging babi serta meminum khamr, bila ikrahnya itu taamm (sempurna) yaitu dengan berupa ancaman pelenyapan (nyawa atau anggota badan), karena hal-hal ini tergolong yang dibolehkan saat dlarurat.”

Juga dalam Badaa-i’u Ash Shanaa-i’ juz 6 hal 186:

Adapun macam yang dirukhshahkan, maka ia itu adalah pelontaran ucapan kekafiran dengan lisan dengan disertai ketentraman hati dengan keimanan bila ikrahnya memang taamm (sempurna). Di mana ucapan kekafiran itu pada dasarnya adalah diharamkan namun ada rukhshah, maka rukhshah ini berpengaruh dalam perubahan hukum perbuatan yaitu pemberian sangsi bukan dalam perubahan sifatnya yaitu keharaman, karena ucapan kekafiran itu tergolong hal yang tidak mungkin dibolehkan sama sekali, sehingga keharaman itu tetap tegak berdiri namun pemberian sangsi menjadi gugur dengan keberadaan udzur ikrah, Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106)

Yaitu kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan, di mana di dalam firman Allah ini ada taqdim (pengedepanan) dan ta-khir (pengakhiran) pada susunanya, wallahu ta’ala a’lam.

Sedangkan penolakan dari mengucapkan kekafiran (saat ikrah taamm) adalah lebih utama dari melakukannya, sehingga seandainya dia menolak dan terus dibunuh maka dia mendapatkan pahala, karena dia mengorbankan dirinya di jalan Allah Ta’ala, dan diharapkan baginya pahala orang-orang yang berjihad dengan jiwanya, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

من قتل مجبرا في نفسه فهو في ظل العرش يوم القيامة

“Barangsiapa terbunuh seraya dipaksa pada jiwanya, maka dia itu berada di bawah naungan ‘Arasy di hari kiamat.”

Dan begitu juga pelontaran hinaan terhadap Nabi ‘alaihissalam (di saat ikrah taamm) dengan disertai ketentraman hati dengan keimanan.

Sedangkan landasan dalam hal ini adalah: Apa yang diriwayatkan bahwa ‘Ammar Ibnu Yasir radliyallahu ‘anhuma tatkala dipaksa oleh orang-orang kafir, dan ia kembali mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepadanya: Ada apa wahai ‘Ammar? Maka ia menjawab: Keburukan wahai Rasulullah, mereka tidak meninggalkanku sampai aku mencela engkau,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Bila mereka kembali, maka kembalilah.” Di mana Rsulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan rukhshah dalam pelontaran ucapan (kekafiran) dengan syarat ketentraman hati dengan keimanan (di saat ikrah), di mana beliau ‘alaihishshalatu wassalam memerintahkannya untuk kembali kepada apa yang muncul darinya, akan tetapi penolakan adalah lebih utama berdasarkan apa yang telah lalu.

Dan termasuk macam ini adalah penghinaan orang muslim, karena kehormatan orang muslim itu adalah haram diganggu pada setiap kondisi, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, kehormatannya dan hartanya,” akan tetapi dirukhshahkan baginya karena udzur ikrah, sedangkan pengaruh rukhshah itu hanyalah pada pengguguran sangsi (dosa) bukan (perubahan) status keharaman. Sedangkan penolakan darinya demi menjaga kehormatan orang muslim dan mengedepankannya terhadap dirinya adalah lebih utama. Dan termasuk macam ini juga adalah pelenyapan harta orang muslim, karena keharaman harta orang muslim itu adalah sama dengan keharaman darahnya berdasarkan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia tidak mungkin gugur sama sekali, namun dirukhshahkan baginya melenyapkan harta orang muslim itu karena udzur ikrah di saat kelaparan sebagaimana yang akan kami sebutkan, dan seandainya dia menolak sampai dia terbunuh, maka dia tidak dosa bahkan justeru dapat pahala, karena keharaman itu masih tegak berdiri. Sehingga dia dengan penolakan itu telah mengedepankan hak keharaman, maka saat itu dia mendapatkan bahala lagi tidak berdosa. Begitu juga pelenyapan harta milik pribadinya adalah dirukhshahkan dengan ikrah, akan tetapi hukum keharaman masih tetap berdiri, sehingga seandainya dia menolak sampai terbunuh, maka dia tidak dosa namun diberi pahala, karena keharaman hartanya tidaklah gugur dengan ikrah itu, bukankah ia dibolehkan untuk mempertahankan hartanya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berperanglah untuk membela hartamu,” begitu juga orang yang terkena kelaparan terus ia meminta makanan kepada temannya, namun temannya menolak dari memberinya sehingga dia pun menolak dari memakannya sampai mati, maka sesungguhnya dia itu tidak dosa berdasarkan apa yang telah kami utarakan bahwa dengan penolakannya itu dia telah menjaga sisi keharaman.

Ini bila ikrahnya itu taamm (sempurna), namun bila ikrahnya itu naqish (kurang) berupa pemenjaraan, pengikatan dan pemukulan yang tidak dikhawatirkan melenyapkan nyawa dan anggota badan, maka tidak dirukhshahkan baginya sama sekali, dan justeru dia divonis kafir walaupun dia mengatakan: Hatiku tentram dengan keimanan,” maka ucapan itu tidak dianggap di dalam vonis hukum ini berdasarkan apa yang akan kami utarakan.

Dan dia berdosa dengan sebab menghina orang muslim dan melenyapkan hartanya, karena dlarurat itu belum terealisasi (di saat ikrahnya naqish), dan begitu juga (berdosa) bila ikrahnya itu taamm (sempurna) akan tetapi kuat dugaan orang yang dipaksa bahwa orang yang memaksa itu tidak akan merealisasikan ancamannya, maka tidak dirukhshahkan baginya melakukan sama sekali, dan seandainya dia melakukannya maka dia berdosa karena dlaruratnya tidak terealisasi dan ikrahnya juga tidak terbukti. Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam.

Dan adapun macam yang tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan sama sekali dengan ikrah, maka ia itu adalah membunuh orang muslim tanpa hak, baik ikrahnya itu naqish (kurang) maupun taamm (sempurna), karena membunuh orang muslim tanpa hak itu adalah sama sekali tidak mungkin dibolehkan.

Dan beliau berkata juga:

Adapun macam pertama: maka ia itu adalah orang yang dipaksa untuk minum (khamr), dia tidak dikenakan had bila ikrahnya taamm (sempurna), karena had itu disyari’atkan sebagai penjera dari tindak pidana di masa mendatang, sedangkan meminum (khamr) itu tidak menjadi tindak pidana dengan sebab ikrah dan ia menjadi mubah bahkan wajib atasnya sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Adapun bila ikrahnya itu naqish (kurang), maka wajib dihad, karena ikrah yang naqish (kurang) itu tidak menyebabkan perubahan (hukum) perbuatan dari hukum yang ada sebelum ikrah dengan sebab apapun, sehingga ia tidak menyebabkan perubahan hukumnya. Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam.

Dan beliau berkata lagi:

ولو لم يخطر بباله شيء لا يحكم بكفره ويحمل على جهة الإكراه على ما مر والله سبحانه وتعالى أعلم هذا إذا كان الإكراه على الكفر تاما فأما إذا كان ناقصا يحكم بكفره لأنه ليس بمكره في الحقيقة لأنه ما فعله للضرورة بل لدفع الغم عن نفسه ولو قال : كان قلبي مطمئنا بالإيمان لا يصدق في الحكم لأنه خلاف الظاهر كالطائع إذا أجرى الكلمة ثم قال : كان قلبي مطمئنا بالإيمان ويصدق فيما بينه وبين الله تعالى

Dan seandainya tidak terlintas di benaknya sesuatupun, maka dia tidak divonis kafir dan hal itu dibawa ke arah ikrah berdasarkan apa yang telah lalu, Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam. Ini bila ikrahnya terhadap kekafiran itu adalah taamm (sempurna), adapun bila ikrahnya itu adalah naqish (kurang) maka dia divonis kafir, karena dia itu pada hakikatnya tidak mukrah, itu disebabkan dia tidak melakukannya karena dlarurat, akan tetapi untuk melenyapkan ghamm (kepenatan/pusing/kebingunan) dari dirinya, dan seandainya dia mengatakan: hatiku tentram dengan keimanan,” maka tidak dianggap di dalam vonis itu, karena ia bertentangan dengan dhahirnya, sama saja seperti orang yang tidak dipaksa bila dia melontarkan ucapan (kekafiran) terus berkata: Hatiku tentram dengan keimanan,” dan dianggap di antara dirinya dengan Allah Ta’ala.

Dan berkata juga:

Begitu juga wanita bila dia dipaksa untuk berzina, maka dia tidak dikenakan had, karena dengan sebab ikrah itu dia menjadi terpaksa memberikan kesempatan (dizinai) karena takut tebasan pedang, maka kewajiban had dihindarkan darinya, sebagaimana pada hak laki-laki juga, bahkan wanita lebih utama (untuk tidak kena had) dikarenakan yang ada darinya tidak lain adalah pemberian kesempatan saja, kemudian ikrah itu tatkala memiliki pengaruh pada diri si pria, maka lebih utama lagi ia memiliki pengaruh pada diri si wanita. Ini bila pemaksaan terhadap pria itu adalah taamm (sempurna).

Adapun bila ikrahnya itu naqish (kurang) berupa pemenjaraan, atau pengikatan atau pemukulan yang tidak dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya (nyawa atau anggota badan), maka dia wajib dikenakan had, berdasarkan apa yang telah lalu bahwa ikrah yang naqish itu tidak menjadikan orang yang dipaksa tersebut terdesak untuk melakukan apa yang dipaksakan, sehingga dia tetap dianggap leluasa maka dia-pun dikenakan sangsi hukum perbuatannya.

Adapun pada diri si wanita, maka tidak ada perbedaan antara ikrah taamm dengan ikrah naqish, dan had dihindarkan darinya di dalam dua macam ikrah ini, karena tidak didapatkan darinya tindakan zina, namun yang didapatkan adalah tamkin (pemberian keleluasaan), sedangkan ia itu telah keluar dari keberadaannya sebagai bukti keridloan dengan sebab ikrah, maka had-pun dihindarkan darinya.

Yang kami sebutkan ini adalah bila mukrah ‘alaih (apa yang dipaksakan terhadapnya) itu adalah mu’ayyan (tertentu).

Adapun bila ia itu mukhayyar fiih (bersifat ada pilihan di dalamnya), umpamanya seseorang dipaksa untuk melakukan satu dari dua tindakan yang tidak mu’ayyan dari ketiga macam urusan itu, maka kami katakan dengan taufiqullah: Adapun hukum yang kembali kepada urusan akhirat yaitu apa yang telah kami utarakan berupa ibahah (kebolehan), rukhshah dan keharaman yang muthlaq, maka tidak berbeda pemberian pilihan itu antara hal yang mubah dengan hal yang dirukhshahkan, yaitu bahwa ia (pemberian pilihan) itu menggugurkan hukum rukhshah, maksudnya bahwa setiap yang dibolehkan pada kondisi ta’yin (tertentu) adalah dibolehkan juga pada kondisi takhyir (pemberian pilihan), dan setiap yang tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan pada saat ta’yin adalah tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan pada saat takhyir, serta setiap yang dirukhshahkan pada saat ta’yin adalah dirukhshahkan juga pada saat takhyir, kecuali bila takhyir (pemberian pilihan) itu terjadi antara hal yang dibolehkan dengan hal yang dirukhshahkan.

Penjelasan ungkapan ini adalah: bila orang dipaksa untuk memakan bangkai atau membunuh orang muslim, maka dibolehkan baginya memakan bangkai dan tidak dirukhshahkan baginya membunuh itu, begitu juga bila dia dipaksa untuk makan bangkai atau melakukan suatu yang tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan pada saat ta’yin seperti memotong tangan, menghina orang muslim dan zina, maka dibolehkan baginya makan bangkai dan tidak dibolehkan dan tidak dirukhshahkan sesuatupun dari hal-hal itu sebagaimana pada kondisi ta’yin, dan seandainya dia menolak memakan bangkai sampai dia dibunuh maka dia dosa sebagaimana pada kondisi ta’yin. Dan seandainya dia dipaksa untuk membunuh dan berzina, maka tidak dirukhshahkan baginya melakukan salah satunya, dan seandainya dia menolak dari melakukan kedua hal itu sampai dia dibunuh maka dia tidak dosa bahkan dia dapat pahala sebagaimana pada kondisi ta’yin. Dan seandainya dia dipaksa untuk membunuh atau melanyapkan harta seseorang, maka dirukhshahkan baginya melenyapkan harta, dan seandainya dia menolak dari melakukan salah satunya sampai dibunuh, maka dia tidak dosa bahkan dia mendapat pahala sebagaimana pada kondisi ta’yin. Begitu juga bila dia dipaksa untuk membunuh seseorang dan melenyapkan hartanya sendiri, maka dirukhshahkan baginya melenyapkan hartanya tapi tidak dirukhshahkan membunuh sebagaimana pada kondisi ta’yin, dan seandainya dia menolak dari melakukan dua hal itu sampai dibunuh, maka dia tidak dosa.

Dan begitu juga seandainya dia dipaksa untuk membunuh atau untuk melakukan kekafiran, maka dirukhshahkan baginya melontarkan ucapan kekafiran bila hatinya tentram dengan keimanan dan tidak dirukhshahkan baginya membunuh, dan seandainya dia menolak dari melakukan dua hal itu sampai dibunuh maka dia mendapat pahala sebagaimana pada kondisi ta’yin.

Adapun bila dipaksa untuk memakan bangkai atau melakukan kekafiran, maka pasal ini tidak disebutkan di dalam kitab ini, namun sepantasnya tidak dirukhshahkan pengucapan ucapan kekafiran baginya sama sekali sebagaimana tidak dirukhshahkan baginya membunuh, karena rukhshah dalam pelontaran ucapan kekafiran itu adalah karena kondisi dlarurat (keterdesakan) sedangkan dia bisa menolak dlarurat ini dengan suatu yang dibolehkan secara muthlaq yaitu memakan bangkai, sehingga pelontaran ucapan kekafiran itu terjadi tanpa paksaan sama sekali, makanya tidak ada rukhshah baginya. Wallahu A’lam.

Di dalam kitab Al Mabsuth milik Abu Bakar Muhammad Ibnu Abi Sahl As Sarkhasiy juz 7 hal 269 dikatakan:

“Taqiyyah itu hanya dengan lisan bukan dengan tangan, yaitu membunuh, sedangkan taqiyyah dengan lisan adalah pelontaran ucapan kekafiran dalam kondisi mukrah. Dari (Hudzaifah radliyallahu ‘anhu berkata: Fitnah (siksaan) cemeti itu lebih dasyat dari fitnah pedang,” Orang-orang bertanya kepadanya: Bagaimana itu bisa? Beliau berkata: Sesungguhnya seseorang dipukul dengan cemeti sampai dia naik kayu, yaitu orang yang akan disalibnya, dia dipukul dengan cemeti sampai naik tangga walaupun dia mengetahui apa yang akan diperlakukan kepadanya bila dia sudah naik).

Dan di dalamnya ada dalil yang menunjukan bahwa ikrah itu sebagaimana terbukti dengan ancaman bunuh, ia juga terbukti dengan ancaman pukulan yang dikhawatirkan bisa melenyapkan (nyawa atau anggota badan). Dan yang dimaksud dengan fitnah di sana adalah siksaan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Rasakanalah adzab kalian,” (Adz Dzariyat: 14), dan firman-Nya Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa kaum mu’minin dan mu’minat..” (Al Buruj: 10) yaitu mengadzab mereka. Jadi makna ucapan Hudzaifah itu adalah bahwa siksaan cemeti itu lebih menyakitkan daripada siksaan pedang, karena rasa sakit dalam pembunuhan dengan pedang itu adalah dirasakan saat itu saja, sedangkan rasa sakit dengan pukulan cemeti yang terus-menerus itu adalah dirasakan sampai diakhiri dengan kematian.

Pemilik Al Kitab Al Imam Abul Husen Ahmad Ibnu Muhammad Al Qaduriy Al Baghdadiy (362-428 H) berkata pada juz 1 hal 290:

- 61 Kitab Ikrah. Ikrah itu terbukti hukumnya bila muncul dari orang yang mampu menimpakkan apa yang diancamkannya baik dia itu penguasa ataupun perampok. Bila seseorang dipaksa untuk menjual hartanya atau membeli suatu barang atau untuk mengakui hutang seribu (dinar) pada seseorang atau untuk menyewakan rumahnya, dan dia dipaksa terhadap hal itu dengan pembunuhan atau pemukulan yang dahsyat atau dengan pemenjaraan yang lama, terus dia menjual atau membeli maka dia itu memiliki hak khiyar; bila dia mau maka dia meluluskan jual belinya dan bila dia mau maka dia bisa membatalkannya, dan bila dia telah menerima pembayaran secara suka rela maka berarti dia telah meluluskan jual belinya, dan bila dia menerima pembayaran secara mukrah maka hal itu bukan pelulusan jual beli dan dia harus mengembalikannya bila uangnya masih ada, dan bila barangnya itu rusak di tangan si pembeli sedangkan dia itu tidak mukrah maka dia harus mengganti nilainya, dan orang yang dipaksa bisa meminta ganti kepada yang memaksa bila dia mau.

Dan barangsiapa dipaksa untuk memakan bangkai atau meminum khamr, dan dia dipaksa terhadap hal itu dengan pemenjaraan atau pemukulan atau pengikatan, maka hal itu tidak halal baginya kecuali bila dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan kelenyapan nyawanya atau anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh melakukan apa yang dipaksakan terhadapnya dan dia tidak boleh sabar terhadap apa yang diancamkannya itu, dan bila dia sabar sampai mereka menimpakkan ancamannya itu dan dia tidak makan, maka dia dosa.

Dan bila dia dipaksa untuk kafir kepada Allah ‘Azza wa Jalla atau untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengikatan atau pemenjaraan atau pemukulan maka hal itu tidak dianggap ikrah sampai dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh menampakkan apa yang mereka perintahkan dan dia melakukan tauriyah (penyamaran ucapan), kemudian bila dia menampakkan hal itu sedangkan hatinya tentram dengan keimanan maka tidak ada dosa atasnya, namun bila dia bersabar sampai terbunuh dan dia tidak menampakkan kekafiran maka dia mendapatkan pahala.

Di dalam Al Lubab Fi Syarhi Al Kitab juz 4 hal 16 dikatakan:

“(Dan barangsiapa dipaksa untuk memakan bangkai) atau darah atau daging babi (atau meminum khamr, dan dia dipaksa terhadap hal itu) dengan ikrah ghair muljii’ umpamanya (dengan pemenjaraan atau pengikatan atau pemukulan) yang tidak dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badan (maka tidak halal baginya) melakukan hal itu, karena tidak ada dlarurat pada ikrah ghair muljii’ akan tetapi dia tidak dikenakan had dengan sebab meminum khamr karena ada syubhat, dan tidak halal baginya melakukan (kecuali bila dia dipaksa) dengan ikrah muljii’, yaitu (dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan) kelenyapan (nyawanya atau) kelenyapan (anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh melakukan apa yang dipaksakan terhadapnya), bahkan hal itu wajib atasnya, oleh sebab itu beliau berkata (dan dia tidak boleh sabar terhadap apa yang diancamkannya itu) sampai mereka benar-benar menimpakkan ancamannya itu, (dan bila dia sabar sampai mereka menimpakkan ancamannya itu) secara benar-benar (dan dia tidak makan, maka dia dosa), karena sesungguhnya tatkala hal itu dibolehkan baginya, maka dengan penolakkannya itu dia berarti telah membantu orang lain dalam membinasakan dirinya, sehingga dia dosa sebagaimana pada kondisi kelaparan.

(Dan bila dia dipaksa untuk kafir kepada Allah) ‘Azza wa Jalla (atau untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengikatan atau pemenjaraan atau pemukulan maka hal itu tidak dianggap ikrah) karena ikrah dengan hal-hal ini bukanlah ikrah di dalam meminum khamr sebagaimana yang telah lalu, maka lebih bukan sebagai ikrah lagi di dalam kekafiran, akan tetapi harus (sampai dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh menampakkan) lewat lisannya (apa yang mereka perintahkan dan dia melakukan tauriyah (penyamaran ucapan)) yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dirahasiakan, (kemudian bila dia menampakkan hal itu) lewat lisannya (sedangkan hatinya tentram dengan keimanan maka tidak ada dosa atasnya), karena dengan penampakkan hal itu maka iman sebenarnya tidak lenyap karena keberadaan tashdiq, sedangkan dalam penolakan itu menyebabkan lenyapnya nyawa secara sebenarnya, sehingga dia boleh cenderung menampakkan apa yang mereka minta, (namun bila dia bersabar) terhadap hal itu (sampai terbunuh dan dia tidak menampakkan kekafiran maka dia mendapatkan pahala), karena penolakkan demi kemuliaan dien adalah ‘azimah.

(Dan bila dipaksa untuk melenyapkan harta) orang (muslim dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan keselamatan nyawanya atau salah satu anggota badannya, maka dia boleh melakukan hal itu) karena harta orang lain dibolehkan saat dlarurat sebagaimana pada kondisi kelaparan sedangkan dlarurat itu sudah terbukti, (dan si pemilik harta boleh meminta ganti kepada orang yang memaksa) dikarenakan orang yang dipaksa itu adalah seperti alat. (Dan bila dia dipaksa dengan ancaman dibunuh agar dia membunuh orang lain, maka dia tidak boleh melakukan pembunuhan itu dan dia harus sabar sampai terbunuh, dan bila dia malah membunuh maka dia berdosa) karena membunuh orang muslim itu tergolong hal yang tidak dibolehkan karena suatu dlarurat, maka begitu juga dengan dlarurat ini (akan tetapi wajib qishash atas orang yang memaksanya bila pembunuhannya sengaja. Beliau berkata di dalam Al Hidayah: Ini menurut Abu Hanifah dan Muhammad, dan Zufar berkata: wajib atas orang yang dipaksa,” dan Abu Yusuf berkata: tidak wajib atas keduanya.” Selesai.

Setelah penjelasan ini, maka orang bisa jadi mengatakan: Kenapa engkau menguatkan bahwa ikrah mu’tabar yang menjadi udzur syar’iy itu adalah apa yang bersifat pembunuhan atau pemotongan salah satu anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan, kenapa engkau menguatkan hal ini padahal ada orang yang mengatakan bahwa di sana ada perselisihan ulama? Maka kenapa engkau terlalu memperketat di dalam masalah ini padahal Allah telah melapangkannya?

Maka kami katakan: Sesungguhnya itu adalah pentarjihan para ulama, dan pentarjihan kami bagi sisi ini dari masalah tersebut bukanlah serampangan, dan itu berdasarkan sebab-sebab berikut ini:

Pertama: Sesungguhnya masalah yang berkaitan dengan ikrah ini adalah masalah yang sangat besar yang tidak tersamar keagungannya kecuali atas orang yang bashirahnya telah Allah tutup, yaitu kekafiran kepada Allah Yang Maha Agung.

Kedua: Sesungguhnya orang-orang yang menyelisihi sebagaimana yang telah kami uraikan adalah menjelaskan secara global dan tidak melakukan perincian di dalam masalah ini, sedangkan kemungkinan yang terjadi adalah bahwa mereka itu tidak memaksudkan perselisihan di dalam ikrah yang berkaitan dengan penampakkan kekafiran, namun mereka hanya memaksudkan perselisihan di dalam permasalahan yang lebih rendah dari penampakkan kekafiran.

Ketiga: Sesungguhnya dalil-dalil yang dijadikan sandaran oleh para ulama dalam masalah penampakkan kekafiran saat ikrah itu semuanya bermuara pada kondisi ikrahnya itu berupa ancaman pembunuhan atau pemotongan anggota badan atau lenyapnya anggota badan akibat pemukulan, dan juga keberadan ikrahnya itu langsung saat itu juga, maka yang lebih hati-hati dalam masalah seperti ini yang berkaitan dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah memegang dalil seperti apa adanya agar ia selamat dari keterjatuhan di dalam kekafiran atau kemusyrikan tanpa dia sadari, wal ‘iyadzu billah.

Adapun dalil-dalil yang mengukuhkan ucapan kami yang telah lalu itu, maka ia adalah sebagaimana berikut ini:

Ibnu Taimiyyah berkata:

(Saya telah mengamati berbagai madzhab, maka ternyata saya mendapatkan bahwa ikrah itu berbeda-beda tergantung mukrah ‘alaih (apa yang dipaksakan terhadapnya), di mana ikrah yang mu’tabar di dalam ucapan kekafiran tidaklah sama dengan ikrah yang mu’tabar di dalam hibah dan yang serupa itu. Sesungguhnya Ahmad telah menegaskan di dalam banyak tempat bahwa ikrah terhadap kekafiran itu tidak terbukti kecuali dengan penyiksaan berupa pemukulan dan pengikatan, dan (ancaman) ucapan itu tidaklah dinilai sebagai ikrah). (Ad Difaa’ ‘An Ahlissunnah Wal Ittibaa’ milik Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq hal 32 dan Majmu’ah At Tauhid hal 419 di dalam risalah ke 12 milik Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq juga).

Dalil yang menunjukkan bahwa ikrah yang mu’tabar di dalam kekafiran itu adalah ikrah yang taamm (sempurna).

Ada di dalam Tafsir Al Baidlawiy juz 1 hal 421:

Firman Allah Ta’ala:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106).

Ia adalah dalil yang menunjukkan kebolehan pengucapan kekafiran saat ikrah, walaupun yang lebih utama adalah menjauhinya demi pengokohan dien ini sebagaimana yang dilakukan oleh kedua orang tua ‘Ammar, dan berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Musailamah (Al Kadzdzab) menangkap dua orang pria, terus dia berkata kepada salah satunya: Apa pendapatmu tentang Muhammad? Maka ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Maka bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Engkau,” maka dia melepaskannya, dan dia berkata kepada yang lain: Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad? Ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Dan bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Aku tidak bisa mendengar,” maka Musailamah mengulangi pertanyaannya tiga kali kepadanya dan ia-pun mengulangi jawabannya yang sama, maka dia membunuhnya, kemudian hal itu sampai beritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata:

أما الأول فقد أخذ رخصة الله وأما الثاني فقد صدع بالحق فهنيئا له تفسير أبي السعود

Adapun orang yang pertama, maka ia telah mengambil rukhshah Allah, dan sedangkan yang kedua maka ia telah menjaharkan kebenaran, maka alangkah bahagianya dia.”

Di dalam Tafsir Abu As Su’ud juz 5 hal 143:

Allah Ta’ala berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (١٠٧) أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٠٨)

“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.” (An Nahl: 107-108).

Diriwayatkan bahwa Quraisy telah memaksa ‘Ammar dan kedua orang tuanya yaitu Yasir dan Sumayyah untuk murtad, namun kedua orang tuanya menolak maka mereka mengikat Sumayyah di antara dua unta dan ia ditusuk dengan tombak di kemaluannya dan mereka mengatakan: Sesungguhnya dia itu masuk Islam hanyalah demi laki-laki,” dan merekapun membunuhnya dan membunuh Yasir juga. Keduanya adalah dua orang pertama yang terbunuh di dalam Islam. Adapun ‘Ammar, maka ia memberikan kepada mereka dengan lisannya apa yang mereka paksakan terhadapnya, maka dikatakan: Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Ammar telah kafir,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Tidak, sesungguhnya ‘Ammar itu penuh dengan keimanan dari ujung kepala sampai ujung telapak kaki, dan iman telah menyatu dengan daging dan darahnya,” kemudian ‘Ammar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menangis, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua matanya dan berkata: Bila mereka mengulangi lagi hal itu kepadamu, maka ulangilah kepada mereka dengan apa yang telah kamu katakan.”

Ia adalah dalil yang menunjukkan kebolehan pengucapan kekafiran saat ikrah muljii’, walaupun yang lebih utama adalah menjauhinya demi pengokohan dien ini sebagaimana yang dilakukan oleh kedua orang tua ‘Ammar, dan berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Musailamah (Al Kadzdzab) menangkap dua orang pria, terus dia berkata kepada salah satunya: Apa pendapatmu tentang Muhammad? Maka ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Maka bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Engkau,” maka dia melepaskannya, dan dia berkata kepada yang lain: Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad? Ia berkata: (Beliau) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” dia berkata: Dan bagaimana pendapatmu tentang aku? Ia berkata: Aku tidak bisa mendengar,” maka Musailamah mengulangi pertanyaannya tiga kali kepadanya dan ia-pun mengulangi jawabannya yang sama, maka dia membunuhnya, kemudian hal itu sampai beritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata:

أما الأول فقد أخذ برخصة وأما الثاني فقد صدع بالحق

Adapun orang yang pertama, maka ia telah mengambil rukhshah Allah, dan sedangkan yang kedua maka ia telah menjaharkan kebenaran.”

Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsir-nya juz 10 hal 170:

Firman Allah Ta’ala:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106).

Di dalamnya ada 21 masalah. Beliau berkata:…..

Kedua: Firman-Nya Ta’ala “kecuali orang yang dipaksa” ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir menurut pernyataan para ahli tafsir, karena ‘Ammar mengiyakan sebagian apa yang mereka paksakan kepadanya. (Ibnu ‘Abbas berkata: Kaum musyrikin menangkapnya dan mereka menangkap bapaknya dan Sumayyah ibunya juga Shuhaib, Bilal, Khabbab dan Salim, terus mereka menyiksanya. Sumayyah diikat di antara dua unta dan kemaluannya ditusuk dengan tombak serta dikatakan kepadanya: Kamu masuk Islam itu hanyalah karena laki-laki,” terus ia dibunuh dan Yasir suaminya juga dibunuh, dan keduanya adalah dua orang pertama yang terbunuh di dalam Islam.

Adapun ‘Ammar, maka ia memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan dengan lisannya seraya mukrah (dipaksa), kemudian ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: Bagaimana kamu dapatkan hatimu? Ia menjawab: Tentram dengan keimanan,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Bila mereka mengulangi, maka ulangilah).

Dan (Manshur Ibnu Al Mu’tamir meriwayatkan dari Mujahid, berkata: Syahidah pertama di dalam Islam adalah ibu ‘Ammar di mana ia dibunuh oleh Abu Jahal, sedangkan syahid pertama dari kalangan pria adalah Mahja’ maula Umar) Dan (Manshur meriwayatkan juga dari Mujahid, berkata: Orang yang paling pertama menampakkan keislaman itu tujuh orang: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Bilal, Khabbab, Shuhaib, ‘Ammar, Sumayyah Ibu ‘Ammar. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau dilindungi Abu Thalib, dan adapun Abu Bakar maka ia dilindungi kaumnya. Sedangkan yang lain maka mereka ditangkap oleh Quraisy terus mereka memaksa memakaikan pakaian besi kepada mereka kemudian mereka menjemur orang-orang lemah itu di terik matahari sampai mereka mengalami puncak kepayahan akibat panasnya besi dan matahari. Tatkala sore hari maka Abu Jahal mendatangi mereka dengan membawa tombak pendek, dia menghina mereka dan mengumpat mereka dan dia mendatangi Sumayyah terus dia menghinanya dan menendanginya kemudian dia menusuk kemaluannya sampai tombak itu tembus keluar dari mulutnya sehingga membuatnya terbunuh radliyallahu ‘anha). Berkata: Dan yang lain mengatakan apa yang mereka minta kecuali Bilal, di mana ia merasa ringan jiwanya dengan penderitaan di jalan Allah, maka mereka-pun menyiksanya dan mengatakan kepadanya: Baliklah kamu dari agamamu,” sedangkan ia mengatakan “Ahad Ahad” sampai mereka merasa bosan.

Keempat: Para ulama sepakat bahwa barangsiapa dipaksa untuk kafir sampai dia mengkhawatirkan dirinya dibunuh maka dia tidak dosa bila melakukan kekafiran sedangkan hatinta tentram dengan keimanan dan isterinya tidak lepas darinya dan dia tidak divonis kafir, ini adalah pendapat Malik, Kufiyyun dan Asy Syafi’iy, akan tetapi Muhammad Ibnul Hasan berpendapat lain dan mengatakan: Bahwa bila dia menampakkan kemusyrikan maka dia murtad secara dhahir sedangkan di antara dirinya dengan Allah Ta’ala adalah dia itu muslim dan istrerinya menjadi lepas darinya, dan bila dia mati maka tidak dishalatkan dan tidak mewarisi bapaknya bila bapaknya itu mati dalam keadaan muslim,” ini adalah pendapat yang tertolak oleh Al Kitab dan Assunnah, di mana Allah Ta’ala berfirman:”kecuali orang yang dipaksa..” (An Nahl: 106), dan berfirman:”kecuali kalian dalam rangka siasat memelihara diri dari mereka,”(Ali Imran: 28), dan berfirman:”…..”(Annisa: 97-98), di mana Allah mengudzur kaum mustadl’afin yang menolak dari meninggalkan apa yang Allah perintahkan, sedangkan orang mukrah itu tidak lain adalah orang mustadl’af yang tidak menolak dari melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, ini dikatakan oleh Al Bukhari.

Asy Syaukaniy berkata di dalam Fathul Qadir juz 3 hal 282:

Firman Allah Ta’ala:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106).

Firman-Nya “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman” Al Qurthubiy berkata:

Para ulama sepakat bahwa barangsiapa diapaksa untuk kafir sampai dia mengkhawatirkan dirinya dibunuh maka dia tidak dosa bila melakukan kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan dan isterinya tidak lepas darinya dan dia tidak divonis kafir, ini adalah pendapat Malik, Kufiyyun dan Asy Syafi’iy, akan tetapi Muhammad Ibnul Hasan berpendapat lain dan mengatakan: Bahwa bila dia menampakkan kemusyrikan maka dia murtad secara dhahir sedangkan di antara dirinya dengan Allah Ta’ala adalah dia itu muslim dan istrerinya menjadi lepas darinya, dan bila dia mati maka tidak dishalatkan dan tidak mewarisi bapaknya bila bapaknya itu mati dalam keadaan muslim,” ini adalah pendapat yang tertolak oleh Al Kitab dan Assunnah. Dan Al Hasan Al Bashriy, Al Auza’iy, Asy Syafi’iy dan Sahnun berpendapat bahwa rukhshah yang disebutkan di dalam ayat ini hanyalah berkaitan dengan ucapan saja, dan adapun perbuatan maka tidak ada rukhshah di dalamnya, seperti orang dipaksa untuk sujud kepada selain Allah. Namun pendapat ini tertolak oleh dhahir ayat itu, di mana ayat itu umum prihal orang yang dipaksa tanpa perbedaan antara antara ucapan dengan perbuatan, dan juga tidak ada dalil bagi orang-orang yang membatasi ayat pada ucapan saja, sedangkan kekhususan sebab itu tidaklah dianggap bila lafadhnya itu umum, sebagaimana yang sudah baku di dalam ilmu Ushul. Kalimat “sedangkan hatinya tentram dengan keimanan” adalah pada posisi nashab sebagai haal dari mustatsna (orang yang dikecualikan): yaitu kecuali orang yang kafir dengan ikrah sedangkan keadaannya bahwa hatinya itu tentram dengan keimanan lagi tidak berubah aqidahnya, dan bukan setelah ancaman yang besar ini yaitu penggabungan bagi orang-orang murtad itu antara murka Allah dengan siksaan-Nya yang besar..”

Dan saya mendapatkan ucapan salah seorang syaikh masa kini yang di dalamnya ia menjelaskan apa yang telah kamu kukuhkan sebelumnya -walhamdulillah- dan ia menjelaskan bahwa hujjah yang dijadikan sandaran oleh jumhur yang mengatakan bahwa ikrah terhadap kekafiran itu tidak menjadi rukhshah kecuali dengan ikrah muljii’ dan tidak bisa dengan yang lebih rendah dari itu. Di mana ia berkata di dalamnya: (Dan hujjah bagi pendapat jumhur adalah sebab nuzul ayat, karena sesungguhnya ‘Ammar Ibnu Yasir tidak mengucapkan kekafiran sampai terlebih dahulu disiksa oleh kaum musyrikin, di mana sesuai kisah yang masyhur bahwa ia adalah sebab nuzul firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman.” (An Nahl: 106). Ibnu Hajar berkata: (Dan yang masyhur bahwa ayat itu turun berkenaan dengan ‘Ammar Ibnu Yasir, sebagaimana telah datang dari jalur Abu ‘Ubaidah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ammar Ibnu Yasir berkata: Kaum musyrikin menangkap ‘Ammar terus mereka menyiksanya sampai mereka bisa menekannya menyetujui sebagian apa yang mereka inginkan, maka ia mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepadanya: Bagaimana engkau dapati hatimu? Ia berkata: Tentram dengan keimanan,” beliau berkata: Bila mereka kembali melakukan (hal itu), maka kembalilah engkau lakukan.” Atsar ini mursal sedangkan para perawinya tsiqat, telah dikeluarkan oleh Ath Thabariy dan diterima juga oleh Abdurrazzaq, dan telah meriwayatkan darinya ‘Abd Ibnu Humaid).(Fathul Bariy 12/312).

Dan Al Bukhari sebagaimana biasanya telah mengisyaratkan secara halus kepada batasan ikrah yang menjadi rukhshah dalam kekafiran, dan itu ada pada bab (Orang yang memilih dipukul, dibunuh dan dihinakan daripada kekafiran) di Kitab Ikrah dari kitab Shahih-nya, dan di dalamnya beliau menuturkan 3 hadits, yang pertama hadits Anas secara marfu’

ثلاث من كُنّ فيه وجد حلاوة الإيمان ــ ومنها ــ وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار

(Tiga hal yang barangsiapa hal-hal itu ada pada dirinya, maka ia pasti mendapatkan manisnya keimanan -di antaranya- dan ia membenci kembali ke dalam kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam api neraka)

Di mana di dalamnya ada isyarat bahwa kembali kepada kekafiran itu sebanding dengan masuk neraka yang berarti kebinasaan, sehingga tidak dirukhshahkan di dalam kekafiran kecuali saat khawatir binasa dan lenyap nyawa, dan ini adalah pendapat jumhur.

Hadits kedua: Dari Said Ibnu Zaid berkata: “Sungguh aku telah melihat diriku sedangkan Umar mengikatku karena saya masuk islam,” di dalam hadits ini ada penjelasan bahwa Umar Ibnul Khaththab -sebelum masuk islam- pernah mengikat Said Ibnu Zaid, ia mengikatnya supaya Said murtad dari Islam, akan tetapi pengikatan itu tidak menjadi rukhshah baginya dalam hal itu, dan di dalamnya ada isyarat bantahan terhadap Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa pemenjaraan dan pengikatan adalah ikrah terhadap kemurtaddan.

Kemudian Al Bukhariy menuturkan hadits Khabbab secara marfu’

قد كان من قبلكم يؤخذ الرجل فيُحفر له في الأرض فيُجعل فيها، فيجاء بالمنشار فيوضع على رأسه فيُجعل نصفين، ويمشط بأمشاط الحديد من دون لحمه وعظمه، فما يصدّه ذلك عن دينه

(Sungguh umat sebelum kalian dahulu ada seorang pria yang ditangkap terus dibuatkan lobang di tanah baginya kemudian dia dimasukan ke dalamnya, kemudian didatangkan gergaji terus diletakkan di atas kepalanya dan kemudian dia dibelah dua, dan dia dicabik-cabik antara daging dan tulangnya dengan sisir besi, akan tetapi hal itu tidak menghalangi dirinya dari diennya…)

Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memuji orang yang memilih dibunuh dan disiksa daripada kafir, dan Al Bukhariy mengisyaratkan dengan hal itu kepada dalil yang selaras dengan ijma bahwa orang yang memilih dibunuh daripada kafir itu adalah lebih besar pahalanya. Dan tiga hadits yang disebutkan di sini nomor-nomornya adalah (6941, 6942, 6943).

Setelah penjelsan dan keterangan ini terhadap batasan ikrah yang mu’tabar di dalam penampakkan kekafiran kepada Allah ini, maka kami bisa mengatakan bahwa pendapat yang rajih di dalamnya adalah bahwa ikrah yang mu’tabar di dalam penampakkan kekafiran kepada Allah Yang Maha Agung adalah ikrah muljii’, yaitu ikrah yang melenyapkan ridlo dan merusak ikhtiyar di dalamnya atau ia adalah ikrah yang tidak menyisakan bagi orang itu sedikitpun qudrah (kemampuan) dan ikhtiyar atau ikrah yang dengan sebabnya perbuatan yang muncul darinya menjadi seperti tidak ada perbuatan. Sedangkan ini tidak terbukti kecuali bila yang dijadikan ancaman kepada seseorang itu adalah pembunuhan atau pemotongan anggota badan atau pemukulan dahsyat yang dikhawatirkan menyebabkan lenyapnya salah satu anggota badan, sedangkan selain itu maka bukan ikrah mu’tabar di dalam penampakkan kekafiran kepada Allah, wallahu a’lam.

Dan tidak lupa juga kami ingatkan kepada hal penting yang telah disebutkan oleh para ulama di sela-sela pengkajian mereka terhadap masalah ini, yaitu wajibnya memakai tauriyah (pengucapan ucapan yang samar) pada kondisi penampakkan kekafiran bila hal itu terlintas di benak orang yang dipaksa.

Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsirnya juz 10 hal 170:

Ketujuh belas: Ulama muhaqqiqin berkata: Bila orang yang dipaksa mengucapkan kekafiran maka tidak boleh baginya melontarkannya lewat lisannya kecuali dengan kata-kata yang samar, karena pada kata-kata yang samar itu memiliki kadar kecukupan yang bisa menghindarkan dari dusta, dan bila tidak dilakukan seperti itu maka dia itu kafir, karena kata-kata yang samar itu tidak ada kekuasaan ikrah terhadapnya, umpamanya: Dikatakan kepada seseorang “kafirlah kamu kepada Allah” maka orang yang dipaksa mengatakan “.. kafir kepada allahiy” dengan menambahkan huruf ya, begitu juga bila dikatakan kepadanya “kafirlah kamu kepada Nabi” maka dia mengatakan “kafir kepada nabiy” seraya mentasydidkannya, yang maknanya adalah tempat yang tinggi dari bumi, dan kadang dipakai juga untuk tempat hidangan, di mana di hatinya dia memaksudkan kepada salah satunya dan dia baraa’ dari kekafiran dan baraa’ dari dosanya. Bila dikatakan kepadanya: kafirlah kepada nabi’ “ dengan pakai hamzah, maka ia mengatakan: ia kafir kepada nabi’ “ seraya dia memaksudkan orang yang memberikan kabar siapa saja, seperti Thulaihah dan Musailamah Al Kadzab, atau ia memaksudkan nabi’ yang dikatakan oleh seorang penyair:

( فأصبح رتما دقاق الحصى … مكان النبيء من الكاثب )

Di dalam Al Lubab Fi Syarhi Al Kitab juz 4 hal 16 dikatakan:

(Dan bila dia dipaksa untuk kafir kepada Allah) ‘Azza wa Jalla (atau untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengikatan atau pemenjaraan atau pemukulan maka hal itu tidak dianggap ikrah) karena ikrah dengan hal-hal ini bukanlah ikrah di dalam meminum khamr sebagaimana yang telah lalu, maka lebih bukan sebagai ikrah lagi di dalam kekafiran, akan tetapi harus (sampai dia dipaksa dengan suatu yang menyebabkan dia mengkhawatirkan lenyapnya nyawa atau salah satu anggota badannya, dan bila dia mengkhawatirkan hal itu maka dia boleh menampakkan) lewat lisannya (apa yang mereka perintahkan dan dia melakukan tauriyah (penyamaran ucapan)) yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dirahasiakan, (kemudian bila dia menampakkan hal itu) lewat lisannya (sedangkan hatinya tentram dengan keimanan maka tidak ada dosa atasnya), karena dengan penampakkan hal itu maka iman sebenarnya tidak lenyap karena keberadaan tashdiq, sedangkan dalam penolakan itu menyebabkan lenyapnya nyawa secara sebenarnya, sehingga dia boleh cenderung menampakkan apa yang mereka minta, (namun bila dia bersabara) terhadap hal itu (sampai terbunuh dan dia tidak menampakkan kekafiran maka dia mendapatkan pahala), karena penolakkan demi kemuliaan dien adalah ‘azimah.

* * *