Jumat, 04 Juli 2014

DEKLARASI KHILAFAH

Deklarasi Tegaknya Khilafah Islamiyyah
Featured

Bismillahirrahmanirrahim

Mu-assasah Al Furqan

Menampilkan:

Statement Asy Syaikh Al Mujahid “Abu Muhammad Al ‘Adnaniy Asy Syamiy”

Juru Bicara Resmi Daulah Islamiyyah -Hafidlahullah-

Dengan Judul:


“Haadzaa Wa’dullah”


“Ini Adalah Janji Allah”

Alih Bahasa: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy

Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi yang diutus dengan pedang sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Amma Ba’du:

Allah Ta’ala berfirman:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An Nur: 55]

Istikhlaf (pemberian kekuasaan), Tamkin (peneguhan kekusaan) serta rasa aman, adalah janji yang Allah tetapkan bagi kaum muslimin, akan tetapi dengan syarat:
يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” [An Nur: 55]

Yaitu iman kepada Allah dan menjauhi segala pintu-pintu syirik dan ragam-ragamnya, yang disertai pemasrahan diri kepada perintah Allah di dalam hal besar dan kecil, dan ketaatan; yaitu ketaatan yang menjadikan hawa nafsu, keinginan jiwa serta kecenderungan hati tunduk mengikuti apa yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan janji itu tidak akan terealisasi kecuali dengan syarat ini; di mana dengannya diraihlah kemampuan untuk memakmurkan bumi dan melakukan perbaikan, melenyapkan kedzaliman, membentangkan keadilan, serta merealisasikan rasa aman dan nyaman, dengan itu saja terwujud Khalifah yang mana Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkannya kepada malaikat. Dan tanpa hal itu, maka kekuasaan itu hanya sebagai kerajaan, pendominasian dan pemerintahan yang disertai penghancuran, pengrusakan, kedzaliman, pemaksaan dan rasa takut, serta pengrusakan moral manusia dan penjerumusan kepada perilaku-perilaku hewan, itulah hakikat istikhlaf (pemberian kekuasaan) yang karenanya Allah menciptakan kita, bukan sekedar kerajaan, pemaksaan kekuasaan, pendominasian dan pemerintahan, akan tetapi ia itu adalah penundukan itu semua dan penggunaannya di dalam membawa seluruh manusia kepada tuntutan syari’at; di dalam kepentingan-kepentingan akhirat dan dunia, yang tidak mungkin terealisasi kecuali dengan merealisasikan perintah Allah, penegakan dien-Nya dan tahakum kepada syari’at-Nya. Istikhlaf ini dengan hakikat ini: adalah tujuan yang karenanya Allah mengutus rasul-rasul-Nya, dan menurunkan kitab-kitab-Nya serta pedang-pedang jihad itu dihunus. Allah Tabaraka Wa Ta’ala telah memuliakan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan karunia terhadap mereka dan menjadikan mereka sebagai umat pilihan di antara seluruh umat;
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [Ali Imran: 110]

Dan Allah menjanjikan pemberian kekuasaan bagi umat ini selagi mereka berpegang teguh dengan keimanannya dan mengambil segala sebab-sebab yang diperintahkan:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,” [An Nur: 55]

Dan menjadikan baginya pengendalian dunia dan penguasaan bumi, selagi ia mendatangkan syaratnya:
يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” [An Nur: 55]

Dan Allah Subhanahu telah menjadikan baginya ‘izzah (kejayaan);
وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin,” [Al Munafiqun: 8]

Ya, sesungguhnya ‘izzah bagi umat ini adalah ‘izzah yang didapatkan dari ‘izzah Allah Tabaraka wa Ta’ala, ‘izzah yang membauri iman pada hati orang mu’min; di mana bila iman telah terpatri dan bersarang di dalam hati maka ‘izzah-pun terpatri dan bersarang pula, ‘izzah yang tidak rendah dan tidak hina, ‘izzah yang tidak membungkuk dan tidak melembek, bagaimanapun dasyatnya kesulitan atau beratnya ujian, ‘izzah yang pantas bagi umat terbaik, umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak rela dengan kehinaan selamanya, yang tidak ridlo dengan ketundukan dan perendahan diri kepada selain Allah selamanya, yang tidak ridlo dengan aniaya dan tidak ridlo dengan kedzaliman;
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَابَهُمُ ٱلۡبَغۡيُ هُمۡ يَنتَصِرُونَ

“Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri.” [Asy Syura: 39]

Umat yang agung lagi mulia, umat yang tidak tidur menanggung pendzaliman, dan tidak ridlo dengan kehinaan serta tidak ridlo dengan kerendahan;
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” [Ali Imran: 139]

Umat yang kuat, umat yang perkasa, bagaimana tidak? Sedangkan Allah telah mengutusnya untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada makhluk menuju peribadatan kepada Sang Pencipta, bagaimana tidak sedangkan Allah yang memberikan bantuan kepadanya dan yang menyertainya, Allah-lah yang mengokohkannya dan Allah-lah yang menolongnya
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ مَوۡلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَأَنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ لَا مَوۡلَىٰ لَهُمۡ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung.” [Muhammad: 11]

Inilah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kapan saja ia itu merealisasikan kejujuran kepada Allah, maka Allah pasti membuktikan janjinya kepadanya.

Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengutus Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan bangsa arab berada di dalam kejahiliyyahan yang pekat dan dalam kesesatan yang buta; manusia yang paling telanjang badannya dan paling lapar perutnya, umat yang berada di akhir masa berbagai umat, tenggelam di dalam jurang yang sangat dalam, tidak dihiraukan dan tidak diperhitungkan, ia tunduk hina kepada Kisra dan Kaisar, serta tunduk kepada pihak yang menang. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ

“Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Al Jumu’ah: 2]

Dan berfirman:
وَٱذۡكُرُوٓاْ إِذۡ أَنتُمۡ قَلِيلٞ مُّسۡتَضۡعَفُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطَّفَكُمُ ٱلنَّاسُ

“Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu,” [Al Anfal: 26]

Qatadah rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: “Suku dari arab ini adalah manusia yang paling hina, paling lapar perutnya, paling bodoh dan paling telanjang, mereka itu dimakan dan tidak memakan, orang yang hidup dari mereka maka ia hidup dalam keadaan sengsara dan orang yang mati maka ia terjerumus ke dalam neraka.” Selesai ucapannya rahimahullah.

Duta dari kalangan sahabat telah masuk menemui Kisra Yazdajirda di masa peperangan Qadisiyyah untuk mendakwahinya, maka dia berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku tidak mengetahui di atas bumi ini satu umat-pun yang paling sengsara, paling sedikit jumlahnya dan paling buruk keadaannya daripada kalian, sungguh dahulu kami telah mewakilkan dalam penanganan kalian kepada wilayah-wilayah pinggiran supaya mereka mencukupkan kami dari menangani kalian, supaya Persia tidak menginvasi kalian dan kalian-pun tidak memiliki keinginan untuk melawan mereka,” maka rombongan-pun terdiam, maka berdirilah Al Mughirah Ibnu Syu’bah radliyallahu ‘anhu terus ia menjawabnya, dan di antara yang dikatakan oleh Al Mughirah adalah: “Adapun apa yang kamu sebutkan tentang keburukan kondisi; maka memang tidak ada orang yang lebih buruk keadaannya daripada kami, dan adapun kelaparan kami; maka tidak ada tandingannya, di mana kami dahulu memakan serangga, kumbang-kumbang, kalajengking dan ular, kami memandang hal itu sebagai makanan kami. Adapun tempat tinggal, maka ia itu adalah tempat terbuka, kami tidak berpakaian kecuali apa yang kami tenun dari bulu-bulu unta dan kambing, agama kami adalah satu sama lain saling membunuh dan saling aniaya, dan sungguh orang di antara kami ada yang mengubur hidup-hidup putrinya karena ia tidak ingin dia memakan dari makanannya.“

Begitulah keadaan bangsa arab sebelum islam; suku-suku yang beraneka ragam yang terpecah-pecah, cerai-berai lagi saling berperang, saling membunuh, menderita kelaparan dan kekurangan segala serta diserang banyak pihak. Kemudian tatkala Allah mengkaruniakan islam kepada mereka dan mereka beriman, maka Allah mengumpulkan dengan islam perkumpulan-perkumpulan mereka, mempersatukan barisan-barisan mereka, Dia menjayakan mereka setelah kehinaan, mencukupkan mereka setelah kemiskinan serta menyatukan hati-hati mereka; sehingga dengan nikmat-Nya mereka menjadi bersaudara:
لَوۡ أَنفَقۡتَ مَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مَّآ أَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيۡنَهُمۡ

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” [Al Anfal: 63]

Maka lenyaplah dari hati mereka kesumat dan kedengkian, menyatulah mereka dengan sebab keimanan, dan jadilah bagi mereka ketaqwaan itu sebagai tolak ukur; mereka tidak membedakan antara orang ajam dengan orang arab, antara orang timur dengan orang barat, antara orang berkulit merah dengan yang berkulit hitam, dan tidak pula antara orang faqir dengan orang kaya, mereka campakkan nasionalisme dan seruan kejahiliyyahan, mereka membawa panji Laa ilaaha illaallaah dan mereka berjihad di jalan Allah dengan jujur dan ikhlash, maka Allah-pun mengangkat mereka dengan dien ini, dan menjayakan mereka dengan pengembanan risalah-Nya, memuliakan mereka dan menjadikan mereka sebagai raja-raja dunia dan para pemimpin alam ini.

Wahai umat kami yang mulia, wahai umat terbaik: Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memberikan kemenangan bagi umat ini dalam satu tahun apa yang tidak Dia berikan kepada pihak yang lain dalam waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, di mana dahulu mereka dalam waktu 25 tahun saja telah mampu menghancurkan dua imperium terbesar yang dikenal sejarah, dan mereka menyalurkan simpanan kekayaannya di jalan Allah; di mana mereka telah mematikan api Majusi selama-lamanya dan menundukkan kaum salibis dengan persenjataan paling kuno dan jumlah personil yang sangat sedikit.

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan di dalam Mushannaf-nya dari Hushain dari Abu Wail, berkata: “Datang Sa’ad ibnu Abi Waqqas sampai akhirnya ia turun di Qadisiyyah dengan disertai pasukan, ia berkata: “Saya tidak mengetahui sepertinya jumlah kami itu tidak lebih dari 7 atau 8 ribu atau di antara itu, sedangkan kaum musyrikin berjumlah 60 ribu atau sekitar itu yang disertai kuda-kuda. Tatkala musuh sudah tiba, maka mereka berkata kepada kami: “Kembalilah kalian, karena jumlah kalian tidak seberapa dibandingkan kami, dan kami tidak melihat kekuatan dan persenjataan yang kalian miliki, maka kembalilah.” Maka ia berkata: Kami mengatakan: “Kami tidak akan kembali,” maka mereka-pun tertawa dengan penolakan kami itu dan mengatakan: “Duk duk,” seraya mereka menyerupakannya dengan alat-alat pemintal.”.”

Ya wahai umatku yang mulia!: Mereka itulah orang-orang yang telanjang kaki dan badan para penggembala kambing, yang tidak mengenal hal ma’ruf dari kemungkaran dan tidak mengenal hak dari kebatilan; mereka telah memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya penuh dengan kedzaliman dan aniaya, dan mereka menguasai dunia berabad-abad, sedangkan hal itu bukan bertopang kepada kekuatan dari mereka dan kepada jumlah yang banyak, dan bukan pula bertopang kepada kelihaian akal. Tidak sama sekali, akan tetapi itu hanyalah dengan sebab keimanan mereka kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan ittiba’ mereka kepada tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wahai Ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam; engkau masih sebagai umat terbaik, dan engkau masih memilik ‘izzah, dan sungguh benar-benar keberkuasaan itu akan kembali ke tanganmu, dan sesungguhnya Ilah umat ini kemarin adalah Ilah umat ini hari ini, dan sesungguhnya yang menolongnya kemarin pasti menolongnya juga hari ini, dan telah tiba saatnya! Telah tiba saatnya bagi generasi-generasi yang telah tenggelam di dalam lautan kehinaan dan yang telah menyusui dengan air susu kenistaan serta setelah lama dikuasai oleh manusia-manusia yang paling hina setelah lama masa tidurnya di dalam kegelapan kelalaian, telah tiba saatnya untuk bangkit, telah tiba saatnya bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam untuk bangun dari tidurnya; bangkit melepaskan pakaian kehinaan dan menyingkirkan debu-debu kehinaan dan kenistaan. Telah berlalu zaman ratapan dan tangisan dan telah menyingsing kembali dengan izin Allah fajar kejayaan, telah terbit matahari jihad, telah bersinar tanda-tanda kebaikan dan telah nampak kemenangan di arah ufuk serta telah nampak tanda-tanda kemenangan. Inilah Panji Daulah Islamiyyah, panji Tauhid, berkibar tinggi menjulang menaungi Halb sampai Diyala, dan penjara-penjara para thaghut telah hancur di bawahnya, bendera-benderanya berjatuhan hina, batas-batas wilayahnya dihancurkan dan bala tentaranya ada yang terbunuh, tertawan dan cerai-berai, sedangkan kaum muslimin mengalami kejayaan, dan orang-orang kafir mengalami kehinaan, Ahlussunnah menjadi pemimpin-pemimpin yang dimuliakan sedangkan Ahli bid’ah menjadi hina dan bersembunyi.

Hudud ditegakkan, yaitu semua hudud Allah, tsughur dipenuhi (mujahidin), salib-salib dihancurkan, (bangunan-bangunan di atas) kuburan-kuburan dirobohkan, para tawanan dibebaskan dengan kekuatan pedang, dan manusia di seluruh wilayah Daulah bertebaran dalam kehidupan dan safar-safar mereka dengan rasa aman atas jiwa dan harta mereka, para pemimpin wilayah sudah diangkat, para qadli telah ditunjuk, jizyah telah diberlakukan, dan harta fai, kharaj dan zakat telah diambil, mahkamah-mahkamah telah ditegakkan untuk penyelesaian persengketaan dan pelenyapan kedzaliman, kemungkaran telah dilenyapkan, dan kajian-kajian serta halaqah telah diadakan di mesjid-mesjid, sehingga dengan karunia Allah ketundukan itu telah ditujukkan seluruhnya kepada Allah, DAN TIDAK TERSISA kecuali SATU HAL SAJA, yaitu kewajiban kifayah yang mana seluruh umat berdosa dengan sebab meninggalkannya, yaitu kewajiban yang terlupakan, di mana umat ini tidak pernah merasakan nikmatnya kejayaan sejak hal itu ditelantarkan, yaitu IMPIAN yang menyelimuti benak setiap muslim mu’min, HARAPAN yang berkibar di hati setiap mujahid muwahhid; YAITU KHILAFAH! Ingatlah IA itu KHILAFAH!, kewajiban masa kini yang disia-siakan, Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.” [Al Baqarah: 30]

Al Imam Al Qurthubiy berkata di dalam Tafsir-nya: Ayat ini adalah pijakan dalam pengangkatan imam dan khalifah yang ditaati dan didengar; supaya umat menjadi satu kata dan dilaksanakan dengannya putusan-putusan khalifah, dan tidak ada perselisihan dalam kewajiban hal itu di antara umat ini dan tidak pula di antara para imam, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Ashamm; di mana dia itu tuli dari syari’at ini.” Selesai ucapan beliau rahimahullah.

DAN ATAS dasar ini; maka Majlis Syura Ad Daulah Al Islamiyyah telah berkumpul dan mengkaji masalah ini, setelah Daulah Islamiyyah itu dengan karunia Allah memiliki semua elemen-elemen kekhilafahan yang mana kaum muslimin berdosa dengan tidak menegakkan khilafah itu, dan bahwa tidak ada penghalang atau udzur syar’iy pada Daulah Islamiyyah yang bisa menghindarkan dosa darinya di saat ia undur diri atau tidak menegakkan kekhilafahan ini, MAKA Daulah Islamiyyah memutuskan melalui Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang ada di dalamnya yang terdiri dari para tokoh, para panglima, para umara dan Majlis Syura:


“PENDEKLARASIAN TEGAKNYA KHILAFAH ISLAMIYYAH”

Dan pengangkatan Khalifah bagi kaum muslimin serta pembai’atan Asy Syaikh Al Mujahid Al ‘Alim Al ‘Amil Al ‘Abid Al Imam Al Humam Al Mujaddid, keturunan keluarga kenabian, Hamba Allah: Ibrahim Ibnu ‘Awwad Ibnu Ibrahim Ibnu ‘Ali Ibnu Muhammad Al Badriy Al Qurasyiy Al Hasyimiy Al Husainiy secara nasab, As Samira-iy secara tempat lahir dan tumbuh dewasa, Al Baghdadiy dalam hal pencarian ilmu dan tempat tinggal, dan beliau telah menerima pembai’atan ini; sehingga beliau dengan itu telah menjadi imam dan khalifah bagi kaum muslimin di SETIAP TEMPAT. Dan atas dasar ini, maka nama Iraq dan Syam dihilangkan dari nama Daulah di dalam segala aktifitas dan interaksi resmi, dan cukup dengan nama “Ad Daulah Al Islamiyyah” sejak munculnya statement ini.

Dan kami ingatkan kepada kaum muslimin: bahwa dengan pendeklarasian khilafah ini, maka telah wajib atas SELURUH kaum muslimin untuk membai’at dan membela Khalifah Ibrahim hafidhahullah, dan batallah seluruh imarah, jama’ah, wilayah dan organisasi yang berada di dalam wilayah kekuasaan Daulah dan bala tentaranya.

Al Imam Ahmad rahimahullah berkata di dalam riwayat Abdus ibnu Malik al ‘Aththar: “Dan siapa saja yang telah menguasai mereka dengan pedang sehingga ia menjadi khalifah dan dinamakan Amirul Mu’minin; maka tidak halal bagi siapapun yang beriman kepada Allah, dia bermalam satu malampun sedang dia tidak memandangnya sebagai imam, baik imam itu adil maupun jahat.”

Dan sesungguhnya Khalifah Ibrahim hafidhahullah; telah terpenuhi pada dirinya seluruh syarat-syarat khilafah yang telah disebutkan oleh para ulama, dan beliau telah dibai’at di Iraq oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi di Daulah Islamiyyah sebagai pengganti bagi Abu Umar Al Baghdadiy rahimahullah, dan kekuasaannya telah meluas ke wilayah-wilayah yang luas di Iraq dan Syam, dan sesungguhnya negeri itu hari ini tunduk kepada perintah dan kekuasaannya dari Halb sampai Diyala, maka takutlah kalian kepada Allah wahai hamba-hamba Allah, dengarkanlah dan taatilah khalifah kalian dan belalah Daulah-nya yang hari demi hari dengan karunia Allah semakin kuat dan jaya, dan musuh-musuhnya hari demi hari semakin tersingkir dan hancur.

Maka marilah wahai kaum muslimin! Berkumpullah di sekitar khalifah kalian, supaya kalian kembali sebagai mana dahulu menjadi raja-raja bumi, pendekar-pendekar peperangan, marilah (merapat) untuk supaya kalian hidup jaya lagi mulia, sebagai para pemimpin yang agung. Dan ketahuilah bahwa kita ini berperang demi membela agama Allah dan Allah telah menjanjikan pertolongan, dan (kita) adalah umat yang telah jadikan baginya kejayaan, keunggulan dan keberkuasaan, serta Dia menjanjikan pemberian kekuasaan dan tamkin di muka bumi baginya, maka marilah wahai kaum muslimin menuju kejayaan kalian dan kemenangan kalian. Demi Allah seandainya kalian benar-benar kufur terhadap demokrasi, sekulerisme, nasionalisme dan isme-isme lainnya yang merupakan kotoran dan sampah pikiran orang-orang Barat, dan kalian kembali kepada dien dan aqidah kalian, maka demi Allah dan demi Allah sungguh kalian akan menguasai bumi dan pasti orang-orang barat dan orang-orang timur tunduk kepada kalian, ini adalah janji Allah untuk kalian, ini adalah janji Allah untuk kalian.
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” [Ali Imran: 139]

Ini adalah janji Allah untuk kalian
إِن يَنصُرۡكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمۡ

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu;” [Ali Imran: 160]

Ini adalah janji Allah untuk kalian
فَلَا تَهِنُواْ وَتَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلسَّلۡمِ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ وَٱللَّهُ مَعَكُمۡ وَلَن يَتِرَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ

“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.” [Muhammad: 35]

Ini adalah janji Allah untuk kalian
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,” [An Nur: 55]

Maka mari kalian sambut janji Rabb kalian ini,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُخۡلِفُ ٱلۡمِيعَادَ

“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” [Ali Imran: 9]

Dan pesan kepada seluruh kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah di muka bumi ini seluruhnya, para mujahidin, para aktifis yang membela agama Allah dan yang mengangkat syiar-syiar Islam, maka kepada para panglima dan para umara kami katakan: Bertaqwalah kalian kepada Allah pada diri kalian, bertaqwalah kalian kepada Allah pada jihad kalian, bertaqwalah kalian kepada Allah pada umat kalian,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ  وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” [Ali Imran: 102-103]

Sesungguhnya kami demi Allah tidak mendapatkan bagi kalian udzur yang syar’iy di dalam sikap absen dari membela Daulah ini; maka ambillah sikap yang membuat Allah Tabaraka wa Ta’ala ridlo dengannya kepada kalian, karena sungguh tabir itu sudah tersingkap dan kebenaran itu telah nampak, dan sesungguhnya ia adalah benar-benar Daulah, ia benar-benar Daulah! Daulah kaum bagi kaum muslimin, bagi kaum mustadl’afin, untuk anak-anak yatim, para janda dan orang-orang miskin. Bila kalian membelanya, maka manfaatnya bagi kalian sendiri, dan sesungguhnya ia itu Khilafah, dan telah tiba saatnya bagi kalian untuk mengakhiri perpecahan, gontok-gontokan dan kecerai-beraian yang buruk ini, yang sama sekali bukan dari ajaran Allah sedikitpun. Dan bila kalian menelantarkannya dan memusuhinya, maka kalian tidak akan memadlaratkannya! Kalian tidak akan memadlaratkan kecuali pada diri kalian sendiri! Dan sesungguhnya ia itu Daulah! Daulah kaum muslimin, dan cukuplah bagi kalian apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhariy rahimahullah:

Dari Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إن هذا الأمر في قريش؛ لا يعاديهم أحد إلا كبّه الله على وجهه، ما أقاموا الدين

“Sesungguhnya urusan ini ada pada Quraisy, tidak memusuhi mereka seorangpun kecuali Allah pasti membinasakannya, selagi mereka menegakkan dien ini.”

Dan adapun kalian wahai junud kelompok-kelompok dan tandhim-tandhim (organisasi-organisasi); maka ketahuilah bahwa setelah tamkin dan tegaknya khilafah ini, maka gugurlah kesyar’iyyah (keabsahan) jama’ah-jama’ah dan tandhim-tandhim kalian, dan tidak halal bagi seorangpun di antara kalian yang beriman kepada Allah dia bermalam semalam saja sedangkan dia tidak menganut loyalitas kepada khalifah. Dan bila umara kalian itu memberikan bisikan buruk kepada kalian bahwa ia itu bukan khilafah; maka memang mereka itu selama ini yang selalu membisiki kalian bahwa ia itu bukan Daulah, bahwa ia itu hanyalah wahmiyyah kartuniyyah (khayalan kartun) sampai datang kepada kalian beritanya yang meyakinkan, dan bahwa ia adalah Daulah, dan sungguh benar-benar akan datang kepada kalian kabarnya bahwa ia adalah khilafah dengan izin Allah walaupun setelah saat nanti. Dan ketahuilah bahwa yang paling memperlambat dan menangguhkan kemenangan itu adalah keberadaan tandhim-tandhim ini; dikarenakan ia adalah sebab perpecahan dan perselisihan yang melenyapkan kekuatan, sedangkan perpecahan itu sama sekali bukan termasuk ajaran Islam:
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” [Al An’am: 159]

Dan ingatlah bahwa umara kalian itu tidak akan menemukan untuk menghalang-halangi kalian dari jama’ah dan khilafah serta kebaikan yang agung ini kecuali dua alasan yang batil lagi lemah:

Pertama: Adalah sama dengan apa yang dituduhkan dahulu kepada Daulah; bahwa ia itu Daulah Khawarij dan tuduhan-tuduhan lainnya yang sudah jelas nampak kebatilannya dan nampak kepalsuannya di dalam kota-kota yang diperintah oleh Daulah.

Kedua: Bahwa umara kalian akan menghayalkan kepada diri mereka sendiri dan kepada kalian bahwa ia (Daulah Khilafah) itu hanya sekedar gejolak yang akan padam dan angin puyuh yang muncul tiba-tiba yang tidak akan langgeng, dan bangsa-bangsa kafir tidak akan membiarkannya eksis dan mereka akan bersekongkol terhadapnya sampai ia lenyap dengan segera, dan orang yang selamat dari kalangan bala tentaranya maka ia akan menyingkir ke puncak-puncak gunung, dasar-dasar lembah, tengah-tengah padang pasir dan kegelapan penjara-penjara, dan saat itulah kita kembali kepada jihad Nukhbah (orang-orang pilihan), sedangkan kita tidak memiliki kekuatan dengan jihad Nukhbah, jauh dari hotel-hotel dan konferensi-konferensi, kita tidak memiliki kekuatan dengan jihad nukhbah ini, dan kita ingin memimpin umat dalam jihad umat!

Enyahlah bagi para umara itu! Dan enyahlah bagi umat yang ingin mereka kumpulkan; umat sekuler, demokrat dan nasionalime, umat murji’ah, ikhwan dan sururiyyah,
يَعِدُهُمۡ وَيُمَنِّيهِمۡۖ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا

“Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” [An Nisa: 120]

Dan sesungguhnya ia itu dengan izin Allah tetap eksis (baqiyah), dan silahkan tanya kelompok-kelompok di Iraq dan para panglimanya, betapa seringnya mereka itu menginginkan agar Daulah ini lenyap, sedangkan mereka itu lebih dasyat kekuatannya dan lebi banyak personilnya daripada mereka itu,
أَوَ لَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَيَنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka?” [Ar Ruum: 9]

sedangkan mereka itu lebih dasyat kekuatannya daripada mereka.

Dan adapun kalian, wahai junud Daulah Islamiyyah, maka selamat bagi kalian, selamat bagi kalian atas penaklukan yang besar ini, selamat bagi kalian atas  kemenangan yang agung ini, hari ini orang-orang kafir merasa dongkol dengan puncak kedongkolan, dan hampir saja banyak dari mereka mati karena kedongkolan yang tidak bisa dilampiaskan. Hari ini kaum mu’minin berbahagia dengan pertolongan Allah dengan kebahagian yang agung, pada hari ini kaum munafiqin bersembunyi, dan terhinakan pula kaum rafidlah, shahawat dan murtaddin, pada hari ini para thaghut di timur dan di barat gemetaran karena takut dan cemas, pada hari ini bangsa-bangsa kafir di Barat diliputi rasa takut, pada hari ini jatuh hinalah panji-panji setan dan golongannya, pada hari ini menjulang tinggilah panji tauhid dan ahlinya, pada hari ini kaum muslimin dimuliakan!, pada hari ini kaum muslimin dimuliakan! Inilah khilafah kalian telah kembali, walaupun leher-leher dihinakan, inilah khilafah kalian telah kembali walaupun banyak pihak tidak suka, inilah khilafah kalian telah kembali, kami memohon kepada Allah Ta’ala semoga menjadikannya di atas minhaj Nubuwwah, inilah harapan telah terwujud, inilah impian telah menjadi kenyataan, selamatlah bagi kalian, sungguh kalian telah berkata terus kalian jujur, dan kalian telah menjanjikan terus kalian telah memenuhi janji.

Wahai bala tentara Daulah Islamiyyah; sesungguhnya di antara nikmat Allah Tabaraka wa Ta’ala yang paling besar atas kalian adalah Dia menyampaikan kalian kepada hari ini dan menjadikan kalian sebagai saksi atas kemenangan ini yang tidak datang kepada kalian setelah karunia Allah Tabaraka wa Ta’ala kecuali di atas darah-darah dan serpihan-serpihan daging saudara-saudara kalian terdahulu, dari kalangan manusia pilihan, kami kira demikian dan Allah-lah yang menilainya dan kami tidak menganggap suci seorang-pun di hadapan Allah, mereka telah memikul panji ini dan telah berkorban dengan segala hal di bawahnya, dan mereka mengerahkan segalanya termasuk nyawa mereka, untuk menyampaikan panji ini kepada kalian dengan kejayaan dan mereka telah berbuat, semoga Allah merahmati mereka dan memberikan balasan kebaikan atas jasanya kepada Islam ini.

Maka hendaklah kalian menjaga amanah yang berat ini, dan pikullah panji ini dengan segenap kekuatan, siramilah dengan darah kalian dan angkatlah di atas serpihan-serpihan badan kalian, dan matilah di bawahnya, sampai kalian menyerahkannya in Syaa Allah kepada Isa Ibnu Maryam ‘alaihissalam.

Wahai bala tentara Daulah Islamiyyah; Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk berjihad dan menjanjikan kemenangan bagi kita dan Dia tidak membebani kita dengan kemenangan itu. Dan pada hari ini Allah Tabaraka Wa Ta’ala telah memberikan karunia kemenangan kepada kalian, maka kita mengumumkan khilafah dalam rangka merealisasikan perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Kita mengumumkannya, dikarenakan kita ini dengan karunia Allah telah memiliki pilar-pilarnya, dan dengan izin Allah kita mampu terhadapnya, maka kitapun merealisasikan perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala dan kita diudzur in Syaa Allah, dan setelah itu kita tidak peduli apapun yang terjadi walaupun ia itu hanya eksis satu hari atau satu jam, dan hanya milik Allah saja segala urusan itu sebelum dan sesudahnya.

Bila Allah Tabaraka wa Ta’ala melanggengkannya dan ia bertambah kuat, maka itu adalah dengan karunia dan nikmat-Nya saja, karena kemenangan itu hanya berasal dari sisi-Nya. Dan bila ia itu lenyap atau melemah, maka ketahuilah bahwa itu berasal dari keteledoran diri kita dan akibat ulah kita, maka kita in Syaa Allah akan melindunginya selagi ia ada dan selagi ada sisa satu orang di antara kita, dan kita in Syaa Allah akan mengembalikannya di atas minhaj An Nubuwwah.

Aku terheran dengan orang yang punya tombak dan pedang tajam***Namun dia terpental dengan keterpentalan pedang yang tumpul.

Siapa yang memiliki jalan kepada kemuliaan***Maka jangan ia tinggalkan tunggangan tanpa pundakan.

Dan aku tidak melihat sesuatupun pada aib manusia***Seperti kekurangan orang-orang yang mampu untuk menyempurnakan.

Wahai bala tentara Daulah Islamiyyah, sesungguhnya kalian ini akan menghadapi peperangan yang mengerikan yang membuat anak-anak kecil beruban, berbagai ujian dan cobaan yang beraneka ragam, ujian-ujian dan goncangan-goncangan, yang tidak akan selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah, tidak teguh di dalamnya kecuali orang yang Allah kehendaki, dan di antara fitnah terbesar itu adalah fitnah dunia, maka hati-hatilah kalian jangan sampai berlomba-lomba di dalamnya, hati-hatilah, dan selalu ingatlah besarnya amanah yang kalian pikul di atas pundak-pundak kalian, di mana kalian sekarang telah menjadi pelindung barisan Islam dan kalian telah menjadi benteng-bentengnya, dan kalian tidak akan bisa menjaga amanah itu kecuali dengan taqwa kepada Allah dalam kondisi rahasia dan terang-terangan, kemudian dengan pengorbanan-pengorbanan, kesabaran dan pengorbanan darah.

Siapa orangnya yang kemuliaan adalah cita-cita tertingginya***Maka segala yang dilalui di dalamnya adalah disukainya.

Kemudian ketahuilah:

Bahwa di antara sebab terbesar kemenangan yang Allah Tabaraka wa Ta’ala karuniakan kepada kalian itu adalah: kerjasama kalian dan tidak adanya perselisihan di antara kalian, ketaatan dan kesetiaan kalian kepada umara kalian, serta kesabaran kalian terhadap mereka, maka ingatlah selalu sebab ini dan jagalah, bersatulah dan jangan berselisih, kerjasamalah dan jangan bertikai, dan jangan sekali-kali kalian memecah belah barisan, dan lebih baik orang di antara kalian disambar kematian daripada dia memecah barisan atau ikut andil di dalam hak itu. Dan barangsiapa ingin memecah belah barisan, maka pecahkanlah kepalanya dengan peluru dan keluarkanlah apa yang ada di dalam kepalanya, siapa saja dia itu, dan tidak ada nilainya dia itu. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
ومَن بايع إمامًا فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه: فليطعه إن استطاع، فإن جاء آخر ينازعه: فاضربوا عنق الآخر

“Dan barangsiapa telah membai’at imam terus ia memberikan kesetiaannya dan kepatuhannya, maka hendaklah ia mentaatinya bila dia mampu. Kemudian bila ada datang orang yang menyainginya, maka penggallah leher dia itu.” (Riwayat Muslim dari Abdullah Ibnu ‘Amr radliyallahu ‘anhuma).

Dan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَن أطاعني: فقد أطاع الله، ومَن عصاني: فقد عصى الله، ومَن يطع الأمير: فقد أطاعني، ومَن يعصِ الأمير: فقد عصاني، وإنما الإمام جُنّة؛ يُقاتل مِن ورائه ويُتّقى به؛ فإن أمر بتقوى الله وعدل: فإن له بذلك أجرًا، وإن قال بغيره: فإن عليه منه

“Barangsiapa yang mentaatiku maka ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah maksiat kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati amir maka dia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang maksiat kepada amir maka dia telah maksiat kepadaku, dan imam itu hanyalah dijadikan sebagai perisai, dilakukan perang di belakangnya dan berlindung di baliknya, kemudian bila dia memerintahkan untuk taat kepada Allah dan berbuat adil, maka sesungguhnya dia itu mendapatkan pahala dengan hal itu, dan bila ia mengatakan selain itu, maka atas dialah dosanya.” (Riwayat Al Bukhariy).

Wahai bala tentara Daulah Islamiyyah; masih ada satu hal yang ingin saya ingatkan kalian kepadanya; orang-orang akan mencari celah-celah untuk mencela kalian, dan mereka akan mengatakan kepada kalian banyak syubhat; bila mereka mengatakan kepada kalian: Bagaimana kalian mengumumkan khilafah sedangkan umat itu tidak sepakat kepada kalian? Sedangkan fashail dan jama’ah-jama’ah yang lain tidak menerima kalian, juga kataib, liwa-liwa, saraya, partai-partai, firqah-firqah, felix-felix, perkumpulan-perkumpulan, dewan-dewan, lembaga-lembaga, ikatan-ikatan, koalisi-koalisi, bala tentara, jabhah-jabhah, pergerakan-pergerakan dan tandhim-tandhim itu juga tidak sepakat dengan kalian, maka katakanlah kepada mereka:
وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ  إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” [Hud: 118-119]

Mereka itu tidak pernah sepakat terhadap suatu urusanpun pada suatu haripun, dan mereka tidak akan sepakat terhadap suatu urusan selamanya kecuali orang yang dirahmati Allah, kemudian sesungguhnya Daulah itu mengumpulkan orang-orang yang mau berkumpul.

Dan bila mereka mengatakan kepada kalian: “Kalian telah lancang terhadap mereka! Kenapa kalian tidak meminta pendapat mereka sehingga kalian memberikan alasan kepada mereka dan kalian menarik hati mereka?” Maka katakanlah kepada mereka: Sesungguhnya urusannya lebih butuh cepat dari itu,
وَعَجِلۡتُ إِلَيۡكَ رَبِّ لِتَرۡضَىٰ

“Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku).” [Thaha: 84]

Dan katakan kepada mereka: Siapa yang kami harus ajak musyawarah?! Sedangkan mereka itu tidak mengakui bahwa ia itu Daulah, padahal Amerika, Inggris dan Prancis telah mengakui bahwa ia adalah Daulah! Siapa yang harus kami ajak musyawarah?! Apakah kami harus mengajak musyawarah orang yang telah menggembosi kami?! Ataukah kami harus mengajak musyawarah orang yang telah mengkhianati kami?! Ataukah kami harus meminta pendapat orang yang telah bara’ dari kami dan telah memprovokasi manusia terhadap kami? Ataukah kami harus meminta pendapat orang yang memusuhi kami? Ataukah kami harus meminta pendapat orang yang memerangi kami? Siapa yang harus kami ajak musyawarah? Dan terhadap siapa kami telah lancang?!.

Dan sesungguhnya suatu yang ada di antaraku dengan anak bapakku dan dengan sepupuku adalah sangat berbeda.

Dan mereka itu tidak hadir untuk menolongku, dan bila mereka***mengajakku kepada pertolongan maka aku mendatangi mereka dengan segera.

Dan bila mereka mengatakan kepada kalian: “Kami tidak menerima pendirian oleh kalian.” Maka katakanlah kepada mereka: Sungguh dengan karunia Allah kami telah mampu mendirikannya, maka kami wajib melakukan hal itu, dan kami segera melaksanakannya sebagai perealisasian perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala.
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [Al Ahzab: 36]

Dan katakanlah kepada mereka: Karenanya kami telah menumpahkan sungai-sungai dari darah-darah kami, kami menyirami tanamannya, kami rintis pondasi-pondasinya dengan tengkorak-tengkorak kami, kami bangun pilar-pilarnya di atas serpihan-serpihan badan kami, dan kami bersabar terhadap pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan, pemotongan anggota badan bertahun-tahun, dan kami juga mengecap rasa pahit dalam memimpikan hari ini, maka apakah kami harus menangguhkannya sejenak padahal kami sudah sampai kepadanya?

Dan katakanlah kepada mereka:

Kami telah mengambilnya secara paksa dengan ketajaman pedang***kami telah mengembalikannya dengan cara kemenangan dan perampasan.

Kami telah mendirikannya walaupun banyak pihak tidak suka***dan leher-leher mereka telah dipukul keras dengan pedang.

Dengan pemboman, peledakkan dan penghancuran***Dan dengan bala tentara yang tidak menganggap susah suatu yang susah.

Dan dengan para singa dalam peperangan yang kehausan***sedang mereka telah meminum banyak darah orang-orang kafir.

Sungguh khilafah kita telah kembali secara yakin***dan telah tegak Daulah kita dengan bangunan yang kokoh.

Telah lega dada kaum mu’minin***dan hati orang-orang kafir telah dipenuhi rasa ketakutan.

Dan terakhir:

Kami ucapkan selamat kepada kaum muslimin dengan datangnya bulan Ramadlan yang penuh berkah, kami memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar menjadikannya sebagai bulan kemenangan, kejayaan dan tamkin bagi kaum muslimin, dan agar menjadikan hari-harinya dan malam-malamnya sebagai bencana bagi Rafidlah, Shahawat dan murtaddin.


وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمۡرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ

“Dan Allah Maha Kuasa terhadap urusan-Nya, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.”

Penterjemah berkata: Selesai dialihbahasakan pada tanggal 2 Ramadhan 1435H

oleh Abu Sulaiman Al Arkhabiliy di LP Kembang Kuning Nusakambangan.

Minggu, 22 Juni 2014

IQRO' BISMIROBBIK

بسم لله الرحمن الرحيم

      Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji hanya milik ALLAH yang masih memberikan kita begitu banyak nikmat yang tak terhitung oleh kita termasuk nikmat paling besar berupa iman dan islam yang ada dalam diri kita. Shalawat serta salam mudah-mudahan senantiasa ALLAH curahkan kepada uswah kita khotamul anbiya nabi Muhammad saw, juga kepada keluarganya, sahabatnya, serta para pengikut risalah beliau hingga yaumil akhir kelak, dan semoga kita termasuk dalam golongannya, aamiin. Amma ba'du.

      Seperti yang kita tahu bahwa ayat alquran yang pertama kali diturunkan oleh ALLAH lewat perantara malaikat Jibril a.s. kepada nabi Muhammad s.a.w ketika beliau bertahanut di gua hiro adalah surat Al Alaq ayat 1-5, yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut :

"Bacalah dengan (menyebut) nama Robbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Robbmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS.Al-Alaq 1-5)

Disini penulis tidak akan membahas tafsir ataupun asbabun nuzhul 5 ayat pertama surat Al-Alaq tersebut diatas karna mungkin sebagian besar kaum muslim sudah mengetahuinya lewat buku-buku tafsir seperti ibnu katsir atau yang lainnya, tapi yang akan penulis bahas di kesempatan ini adalah tentang 2 kata pertama dari ayat 1 sesuai dengan judul posting tulisan ini yaitu " Iqro' Bismirobbik".

     Iqro'! adalah sebuah perintah dari ALLAH kepada kita untuk membaca, karena arti kata dari iqro' sendiri adalah "bacalah!". Perintah membaca disini bukan hanya membaca pada umumnya yang hanya sekedar membaca sebuah tulisan karena jika perintah tersebut hanya tentang membaca tulisan pasti harus ada kata objek yang menyertainya, tetapi lebih dari itu yang dimaksud iqro disini adalah keharusan kita untuk membaca/memikirkan/merenungkan/mentafakuri apa arti dari kehidupan kita di dunia ini.

     Bacalah!!, ALLAH memerintahkan kita untuk membaca, artinya apa? Yang namanya sebuah perintah, -apalagi ini adalah perintah dari ALLAH-, itu berarti apabila kita laksanakan maka akan berbuah pahala dan ridho dariNYA dan sebaliknya jika tidak kita laksanakan perintah tersebut maka kita akan mendapat dosa dan murkaNYA. 

     Iqro' terbagi menjadi 2 yaitu iqro' ayat-ayat qauliyah dan iqro' ayat-ayat kauniyah. 

  •  Iqro' qauliyah adalah membaca ayat-ayat yang tersurat/tertulis, contohnya membaca kitab alquran atau kitab hadist, dll.

  • Iqro' kauniyah adalah membaca ayat-ayat yang tersirat/terhampar luas diseluruh alam semesta, contohnya membaca tentang penciptaan langit dan bumi, pergantian siang malam, bagaimana proses hujan terjadi, dll.


     Apakah tujuan ALLAH memerintahkan kita untuk membaca? Tujuan yang paling utama dari membaca adalah ilmu/pengetahuan. Dengan membaca bisa mengubah kita yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang mulanya tidak berilmu menjadi punya ilmu. Seperti yang disebut pada ayat 4 dan 5 diatas. Contoh mudahnya mungkin seperti penulis yang sebelumnya sama sekali tidak tahu tentang cara membuat sebuah blog kemudian dengan proses membaca akhirnya alhamdulillah dengan seizinNYA  sekarang penulis menjadi tahu dan bisa membuat blog sampai bisa memposting tulisan yang sedang kita baca ini. 

Pada dasarnya semua orang yang hidup di dunia ini tanpa disadari telah atau sedang melakukan kegiatan membaca itu sendiri, benarkah?

  •  Contoh: ketika seorang sedang berjalan tiba-tiba didepannya ada lubang besar di jalan yang sedang dia lalui, kira-kira apa yang akan orang tersebut lakukan? kalau dia membaca pasti dia berpikir bahwa kalau dia terus berjalan kedepan maka dia akan terperosok jatuh kedalam lubang tersebut, oleh karena itu selanjutnya pasti dia akan merubah arah langkahnya agar dia tidak masuk lubang tersebut.   
Itulah contoh kecil yang penulis maksud tentang membaca dalam bahasan ini. Intinya membaca itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita ini. Karena tanpa membaca hidup kita akan seperti kehilangan arah. Makanya penulis jadi heran ketika ada seseorang yang ditanya tentang apa hobinya? Lalu orang tersebut menjawab bahwa hobinya adalah membaca. Hobi????? Hellooowww (sedikit meniru gaya anak alay zaman sekarang, hehe), membaca itu bukanlah suatu hal kecil yang hanya dilakukan kadang-kadang atau hanya sekedar untuk hobi, tapi membaca itu adalah sebuah kebutuhan primer dalam hidup!!! sama pentingnya seperti kebutuhan kita akan makan, minum, tidur, dan kebutuhan primer yang lainnya.
    Kembali lagi soal membaca sebagai sebuah perintah. Kalau memang kita semua sudah melaksanakan perintah membaca tadi, apakah itu berarti kita otomatis akan mendapatkan pahala dariNYA? karena bukannya ketika sebuah perintah dilaksanakan akan mendatangkan pahala?, belum tentu. Buktinya orang-orang kafir tidak mendapatkan pahala dariNYA walaupun mereka membaca dalam hidupnya bahkan mereka membaca lebih banyak daripada kita yang menyebabkan sekarang mereka lebih maju dalam kehidupan dunia dibanding kita orang muslim. Tapi mengapa semua amalan-amalan mereka (termasuk membaca) tidak bernilai apapun disisiNYA?.
      Mari kita lihat kembali firmanNYA di ayat pertama tadi, " Iqro' bismirobbik alladzi kholaq". Ya, perintah dalam ayat yang agung ini bukan hanya kata iqro' atau bacalah, tapi masih ada kata kelanjutannya yaitu bismirobbik.........atau dengan nama robbmu (Allah) yang telah menciptakan. Dengan kata lain berarti perintah membaca ini adalah bukan sebuah perintah biasa tetapi ini adalah sebuah perintah bersyarat yang menegaskan bahwa menjalankan perintah itu harus dibarengi syarat tersebut. Dan syarat itu adalah dengan bismirobbik tadi yaitu apa yang kita baca harus dengan atas nama ALLAH, untuk ALLAH, dan dengan tuntunan ALLAH.
  • Dengan nama ALLAH, yaitu ketika setiap melakukan aktivitas apapun kita diharuskan untuk selalu mengawalinya dengan menyebut asma allah, misalkan menyebut bismillahirrohmanirrohim.
  • Untuk ALLAH, yaitu setiap perbuatan yang kita lakukan baik itu ibadah ritual maupun ibadah muamalah harus diniatkan semata-mata hanyalah untuk mencari ridho dan rahmatNYA saja, tidak ada niatan lain.
  • Dengan tuntunan ALLAH, yaitu setiap aktivitas dari yang kecil sampai yang besar dalam hidup kita harus sesuai dengan apa yang ALLAH dan rosulNYA ajarkan, tidak boleh keluar dari tuntunan islam. Ketika kita melakukan suatu perbuatan/amalan, terus kita awali dengan menyebut bismillah lalu diniatkan ikhlas lillahi ta'ala tetapi kita mengabaikan satu syarat lagi yaitu tidak sesuai dengan tuntunan ALLAH dan rosulNYA, maka amalan kita tersebut belum bisa disebut dengan maksud bismirobbik tadi yang menyebabkan amalannya tertolak atau sia-sia. Contoh : " Ketika kita akan makan kita awali dengan membaca bismillah dan doa sebelum makan dengan niat untuk mencari berkah dan ridhoNYa dari rezeki yang kita makan tersebut, tetapi ada satu hal yang hilang dari syarat tadi yaitu ternyata makanan yang kita makan tadi ternyata didapat tidak sesuai tuntunan dengan apa  yang ALLAH ajarkan, misal makanan tadi kita dapatkan dengan hasil mencuri atau dengan cara yang haram.

   Kesimpulannya, sebagai seorang muslim sudah selayaknya lah kita jadikan setiap gerak langkah hidup kita di dunia ini dari hal terkecil seperti makan,minum,tidur,dll sampai ke hal terbesar seperti bermasyarakat,bernegara,perang,dll sesuai dengan apa yang ALLAH Al Khaliq kehendaki dan menjadikan orientasi hidup kita ini semata-mata hanyalah dalam rangka untuk beribadah kepadaNYA karena tidak ada tujuan lain kita diciptakan ke dunia ini kecuali untuk beribadah seperti yang ALLAH SWT sebutkan dalam firmanNYA surat 51 ayat 56.

   Akhir kata penulis hanya bisa memohon ampun padaNYA apabila ada khilaf atau kesalahan apapun dalam menuliskan postingan ini, dan kebenaran hanyalah datang dariNYA saja. 
Washollallahu wa salim wa barik 'ala muhammad, wal hamdulillahi robbil 'alamin.

Selasa, 03 Juni 2014

ADAB-ADAB QIYADAH wal JUNDIYAH

Bismillah,
Alhamdulillah,
sholli wa salim wa barik 'ala Muhammad wa alihi ajma'in.
Amma ba'du.

Untukmu Wahai Qiyadah wal Jundiyah

Definisi Qiyadah Wal Jundiyah

Qiyadah wal Jundiyah merupakan suatu term –istilah- yang sangat familiar bagi mereka yang hidup dan berinteraksi dalam jama’ah. Qiyadah secara bahasa adalah: “Qaada – Yaquudu – Qaudan – Qiyaadatan – Qawwadan – Iqtaada: menuntun,sedang berjalan di mukanya. Hal ini berarti Qiyadah adalah seorang pemimpin yang bertugas menuntun siapa saja yang dipimpinnya. Sedangkan Jundi secara bahasa adalah berasal dari kata: “Jundun (Junuudun)” yang berarti tentara/serdadu. Qiyadah wal Jundiyah adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Dimana ada seorang pemimpin pastilah ada yang orang yang dipimpinnya. Pun demikian dengan pemimpin yang hebat akan selalu disokong oleh pasukan-pasukan yang juga hebat yang berada dibelakangnya.

Allah sangat menyukai orang-orang yang berjama’ah membentuk suatu bangunan yang kokoh. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. Untuk hal itu maka sangat urgen bagi kita dalam berjuang membentuk barisan dalam jama’ah yang kokoh.

Ada beberapa Hadist yang menunjukkan betapa pentingnya suatu kepemimpinan dalam ummat islam dalam segala urusan. Hadist tersebut antara lain yang pertama adalah: “Tidak halal bagi tiga orang yang sedang berada di sebuah perjalanan kecuali salah seorang diantara mereka menjadi pemimpinnya” (HR. Ahmad). Hadist tersebut menggambarkan bahkan dalam hal sekecil sebuah perjalanan antara tiga orang pun harus ada yang memimpin, apalagi urusan yang lebih besar yang tentunya lebih banyak orang pula. Hadist yang kedua adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi: “Imam (penguasa) adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”. Artinya adalah seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar terhadap yang dipimpinnya.

Adapula hadist yang menerangkan tentang Jundi seperti yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: “Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada imamnya maka ia pada hari kiamat tidak memiliki hujjah”. Hadist ini menerangkan bahwa seorang jundi yang telah memba’iat diri kepada pemimpinnya memiliki kewajiban untuk mentaati perintah pemimpinnya, bahkan apabila seorang jundi tidak mentaati perintah pemimpinnya ancamannya adalah ketika hari kiamat tidak akan memiliki hujjah.

Adab Terhadap Qiyadah

Seorang Qiyadah/ Pemimpin jama’ah memiliki hak-hak tertentu yang harus dipenuhi oleh para Jundinya. Seperti bagaimana cara bersikap apabila berinteraksi dengan Qiyadah dan itu harus dimiliki oleh setiap Jundi yang ada dalam jama’ah.

Adab-adab tersebut antara lain adalah Ta’at, Tsiqoh, Iltizzam, Ihtirom.

    Ta’at

Ta’at berarti seorang Jundi harus memiliki rasa ta’at dalam menjalankan perintah-perintah serta arahan-arahan yang diberikan kepadanya.

    Tsiqoh

Tsiqoh berarti seorang Jundi harus menerima dan memiliki perasaan dan hati yang lapang dalam menerima perintah, amanah, ataupun segala yang datang dari Qiyadah kepadanya tanpa ada keragu-raguan didalamnya.

    Iltizzam

Itizzam berarti seorang Jundi harus senantiasa menjaga komitmennya untuk selalu ta’at dan tsiqoh kepada Qiyadah dan Jama’ah.

    Ihtirom

Ihtirom berarti seorang Jundi harus memiliki sikap hormat yang tinggi kepada Qiyadah.

Selain keempat hal diatas ada satu perkara yang tidak boleh dilupakan yaitu senantiasa mengingatkan apabila pada suatu waktu Qiyadah kita melakukan kesalahan dan kekhilafan. Tentunya kita mengingatkan dengan cara yang ahsan dan tidak didepan umum agar martabat, wibawa dan izzah Qiyadah tetap terjaga dan tidak terlecehkan didepan orang lain.

Membangun Ketsiqohan Kepada Qiyadah

Tentunya sebagai seorang jundi haruslah mentaati perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang Qiyadah. Dalam mentaati perintah diperlukan sikap dan kadar ketsiqohan yang tinggi yang harus dimiliki seorang Jundi terhadap Qiyadahnya. Sikap tsiqoh ini tak lain adalah bentuk ketaatan dan kesetiaan terhadap apa yang menjadi ketentuan yang diberikan oleh Qiyadah kepada para Jundinya.

Tentunya tsiqoh dalam hal ini bukan berarti taqlid buta terhadap segala apa yang diperintahkan. Karena Qiyadah tentunya adalah seorang manusia biasa yang sangat dekat sekali dengan perbuatan salah dan khilaf. Maka sebagai Jundi juga harus senantiasa mengingatkan dengan cara yang ahsan apabila dalam beberapa hal sang Qiyadah dirasa melakukan kekhilafan-kekhilafan yang barangkali tak disadarinya.

Kita semua harus memahami bahwa Qiyadah bisa jadi bukanlah orang yang paling kuat, bukanlah orang paling benar, dan juga bukan orang yang paling bertakqwa diantara kita. Yang harus kita lakukan adalah cukup dengan mempercayainya bahwa pemimpin kita adalah orang yang bisa mengemban tugas amanah kepemimpinan dengan baik. Jika pun ada seseorang lainnya diantara kita yang barangkali memiliki kemampuan lebih dibandingkan Qiyadah kita maka cukuplah kelebihan itu digunakan untuk mendukung kerja-kerja Qiyadah dan bukan malah menjadi pembenaran untuk melakukan persaingan atau bahkan perlawanan terhadap Qiyadah kita.

Barangkali sebuah contoh yang bisa diambil ibrohnya adalah dialog antara Umar Bin Khattab dengan Abu Bakar Ash Shidq sepeninggal Rasulullah SAW: “Umar berkata kepada Abu Bakar, ‘Ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atmu.’ Abu Bakar berkata, ‘Akulah yang membai’atmu.’ Umar berkata, ‘Kamu lebih utama dariku.’ Abu Bakar lalu berkata, ‘Kamu lebih kuat dariku.’ Setelah itu Umar ra berkata, ‘Kekuatanku kupersembahkan untukmu karena keutamaanmu.’ Umar pun terbukti benar-benar menjadikan kekuatannya sebagai pendukung Abu Bakar sebagai kholifah”.

Imam syahid Hasan Al Banna mengatakan: ‘Wahai ikhwan, angkatlah menjadi pemimpin orang yang paling lemah di antara kalian. Kemudian dengarlah dan taatilah dia. Dengan (bantuan) kalian, ia akan menjadi orang yang paling kuat di antara kalian’. Perkataan dari Hasan Al Banna menjelaskan bahwa seorang pemimpin itu bisa jadi adalah orang yang paling lemah diantara jama’ah. Namun kepercayaan dan ketaatan dari para jundi terhadap pemimpinnya bisa menjadikan pemimpin tersebut orang yang paling kuat diantaranya.

Ada keteladanan dan suatu kebesaran hati seorang Umar Bin Khattab r.a yang berbeda pendapat dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shidq terkait tentang sikap terhadap orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Umar bin Khattab berpendapat bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat tidaklah harus diperangi, dan pendapat Umar ini banyak didukung oleh para sahabat lainnya. Namun, khalifah Abu Bakar Ash-Shidq beranggapan bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat haruslah diperangi. Mengetahui keputusan Abu Bakar Ash-Shidq untuk memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat maka Umar Bin Khattab berkata: “Demi Allah, tiada lain yang aku pahami kecuali bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwa dialah yang benar”.

Perkataan dari Umar Bin Khattab menunjukkan sikap ketsiqohan yang luar biasa yang ditunjukkan kepada keputusan Abu Bakar Ash-Shidq sebagai khalifahnya. Walaupun bisa saja Umar menentang kebijakan sang Qiyadah karena didukung oleh sahabat-sahabat lainnya dan ditambah dengan Rasulullah SAW pun pernah bersabda bahwa: “Allah swt telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar”. Disaat Umar Bin Khattab memiliki kesempatan dan dalil kuat untuk tidak mengikuti dan menentang keputusan Abu Bakar Ash Shidq. Umar lebih memilih untuk tetap mentaati keputusan Abu Bakar Ash-Shidq selaku khalifah pada saat itu.

Terus terang, pasti banyak dari diri-diri kita yang mengaku kader dakwah yang berada dalam jama’ah seringkali merasakan yang namanya berbeda pendapat atau bahkan berseberangan dengan arahan dan pikiran dari Qiyadah kita, dan  itu adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan bersosial sekalipun.

Yang biasanya sering terjadi adalah ketika Qiyadah kita memberikan sebuah amanah kepada kita sebagai Jundi, namun kita merasa tidak bisa, tidak mampu, atau bahkan tidak mau dengan alasan ada tempat/ amanah yang lebih pas dengan dunianya menyebabkan kita seringkali menolak atau minimal menggerutu kepada Qiyadah.

Namun mungkin ada juga seorang Qiyadah yang kurang cermat dalam menempatkan dan mengamanahkan para Jundinya sehingga hal ini bisa berpotensi menyebabkan kerja-kerja dakwah menjadi tidak maksimal karena Jundi yang diamanahkan kurang pas dengan kompetensinya. Syech Mustafa Masyhur dalam Al Qiyadah Wal Jundiyah menyebutkan bahwa salah satu yang harus dimiliki seorang Qiyadah adalah harus pandai memilih orang yang layak dalam mengemban amanah/ jabatan.

Bagaimana cara untuk mengatasi agar tidak terjadi “kesalahan” dalam menempatkan Jundi dalam beramanah?. Jawabannya adalah mengkomunikasikan segala hal-hal yang berkaitan dengan amanah yang akan diberikan kepada Jundi yang akan diberi amanah. Qiyadah harus bisa mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Jundi dengan cara mendengarkannya, mengajaknya bicara, bukan dengan gaya semi-diktator mentaklimat ini-itu.

Jika Qiyadah mau memberikan instruksi untuk kepada Jundi untuk menempati sebuah posisi dalam beramanah harus terlebih dahulu mengkomunikasikannya dengan posisi sedang dalam menawarkan, bukan serta merta langsung memerintahkan. Sebaliknya, jika Jundi masih merasa ada suatu hal yang perlu dikomunikasikan, misalnya merasa kurang pas dengan amanah yang ditawarkan karena ada bidang lain yang sesuai dengan kompetensinya, itu harus dikomunikasikan dengan Qiyadah.

Jangan pernah sesekali menerima amanah dari Qiyadah sedangkan kita tidak ikhlas tetapi tidak mengkomunikasikannya, lalu dalam perjalanan amanah merasa tidak kuat dan merasa terdzolimi yang akhirnya menyebabkan kefuturan dalam berjama’ah. Itulah realitas yang sering terjadi ditengah-tengah kita para kader dakwah. Apapun alasannya Jundi tetap harus mengkomunikasikan kepada Qiyadah ataupun sebaliknya. Semua demi kemasylahatan bersama dan demi maksimalnya kerja-kerja dakwah yang ditugaskan. Jika semua telah dikomunikasikan, tetapi keinginan Qiyadah tetap tidak sejalan dengan keinginan Jundi maka sebagai seorang Jundi sudah seyogyanya menta’ati perintah dan arahan dari Qiyadah selama itu untuk kebaikan.

Kita sebagai Jundi harus camkan dalam-dalam bahwa seorang Qiyadah bukanlah malaikat yang tidak bisa melakukan kesalahan dan kekhilafan. Biar bagaimanapun Qiyadah kita adalah seorang manusia biasa yang tak akan pernah luput dari kesalahan yang bisa saja diperbuatnya baik itu sengaja ataupun tidak disengaja. Tugas seorang Jundi adalah mengingatkan Qiyadahnya apabila melakukan kekhilafan dengan cara dan adab-adab yang berlaku terhadap Qiyadah. Logika yang juga harus dibangun oleh seorang Qiyadah adalah menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang paling benar sehingga jika ada Jundi yang mengingatkan bisa menerima dengan lapang dada. Namun apabila terjadi perbedaan pendapat antara Qiyadah dan Jundinya terhadap suatu perkara maka sikap Tsiqoh kepada pemimpin tetap yang lebih utama.

Intermezzo

Terus terang ana sangat ingin memaparkan banyak terkait masalah adab al Qiyadah wal Jundiyah ini, tetapi apa daya hanya ini yang bisa ana tuliskan, mengambil dari beberapa buku dan artikel-artikel di internet. Ana yakin masih banyak saudara-saudara ana yang masih “terjebak” dalam kebingungan memahami tsiqoh, termasuk ana pribadi sich (hahaha :D). Ana masih bingung sampai mana batas Tsiqoh yang harus dimiliki Jundi kepada Qiyadahnya. Karena seringkali sebagai Jundi, ana masih dibuat bertanya-tanya dan tak habis pikir dengan keputusan yang diambil Qiyadah. Tetapi ana masih tetap berusaha membawanya ke satu muara yaitu “Sami’na Wa Atho’na” :D.....

Jumat, 30 Mei 2014

TSIQOH MUTABADILAH ANTARA ANGGOTA JAMAAH DAN QIYADAH

Tsiqoh Mutabadilah Antara Anggota Jamaah Dan Qiyadah

Fardhu dakwah dan jihad di jalan Allah adalah beban syar’i yang tidak bisa dipikul oleh individu secara sendirian tanpa bantuan saudara muslim yang lain betapapun hebat kemampuan individu tersebut. Keduanya merupakan kewajiban syar’i yang mesti dipikul secara bersama-sama, secara berjamaah. Kebersamaan itu harus diwujudkan dalam kerjasama (amal jama’i) yang rapi. Dari sini kemudian, kebutuhan akan jamaah yang rapi pengorganisasianya dan solid hubungan antar individu yang ada di dalamnya merupakan hal yang sangat penting. Tidak saja demi kepentingan tugas-tugas iqomatuddien, tapi juga untuk melindungi para muqimuddien dan aktifitas iqomatudien itu sendiri dari berbagai gangguan.
Tekanan dan serangan dari luar jamaah, betapapun dahsyatnya tak akan menimbulkan permasalahan berarti, manakala kondisi internal bangunan jamaah tersebut telah kokoh. Sebaliknya, bangunan itu bisa saja runtuh dari dalam, hanya karena rongrongan fitnah dan friksi internal. Ancaman dari dalam ini lebih berbahaya. Bila tidak dibenahi, ia bisa menjadi bom waktu yang dapat meledakkan bangunan jamaah tersebut.
Secara institusional, jamaah dakwah dan jihad harus dibangun dengan rapi dan kokoh, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”(QS. Ash-Shaf: 4)
Dalam struktur sebuah jamaah tentu ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Keduanya harus memiliki tsiqah yang sehat secara timbal balik. Bagi para anggota, tsiqahnya adalah ketenangan hati kepada pemimpin. Sikap ini tak akan lahir dari doktrin semata. Loyalitas anggota pada pemimpin, terbentuk dari sentuhan dan interaksi seorang anggota secara langsung kepada pemimpinnya, hingga tumbuh keyakinan akan kebersihan niat, kualitas moral, kapasitas kepemimpinan, dan keluasan wawasan pemimpin.
Sebaliknya, seorang pemimpin juga harus memiliki rasa tsiqah kepada para anggotanya. Para pemimpin harus percaya terhadap keikhlasan, kapasitas, kualitas, dan komitmen anggotanya.Tsiqah secara timbal balik seperti ini (tsiqah mutabadilah) yang akan memelihara kekuatan soliditas jamaah karena dikendalikan pemimpin yang bisa dipercaya dan anggota yang taat.
Mengamalkan rasa tsiqah, membutuhkan kesabaran yang besar. Utamanya bila ada ketidakcocokan seorang anggota jamaah dengan kebijakan pimpinannya, atau kebijakan jamaah secara umum.
Melontarkan gagasan, ide atau usulan merupakan sikap positif, sepanjang dilakukan secara etis, proporsional dan benar. Namun, tak mesti sampai merasa hanya pendapatnya yang paling benar. Atau, boleh jadi benar, tapi jamaah belum bisa menerimanya karena berbagai hal yang menghalangi penerapannya. Seperti kemampuan jamaah yang terbatas, atau karena sedang memfokuskan perhatian pada masalah lain yang lebih penting. Di sini nampak urgensihusnudhon sebagai salah satu pilar utama tsiqoh anggota kepada qiyadah jamaah. Bila yang dikedepankan adalah suudhan, maka ketika usul dan inisiatifnya tidak terakomodasi dan tidak terealisasi, yang muncul adalah penilaian miring terhadap kinerja dan kapasitas qiyadah.
Struktur jamaah yang solid bukan berarti menolak sikap kritis. Sikap kritis dalam jamaah adalah sikap kritis untuk hal-hal yang tidak ada nash qoth’inya atau yang telah menjadi hasil syura. Seperti pertanyaan Khabbab bin al-Mundzir radhiyallahu ‘anhu di perang Badr, “Apakah dalam memilih tempat ini, engkau menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah berdasarkan strategi peperangan?” Seperti juga penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat diminta tetap di Madinah menjelang perang Uhud, karena hasil syura menetapkan untuk menyongsong musyrikin Quraisy di luar Madinah. Demikian pula, tidak layak untuk mengkritisi kebijakan qiyadah jamaah dalam masalah ijtihadiah yang telah ditetapkan berdasarkan kajian dari sisi syar’i maupun aqli (tinjauan akal sehat) yang dilakukan pihak-pihak yang dianggap paling berkompeten dan berwenang dalam masalah tersebut. Sikap menolak kebijakan semacam ini karena berseberangan dengan pandangan pribadinya, walaupun atas nama bersikap kritis dan tidak ingin bersikap “mbebek” atau “kerbau dicucuk hidung” dalam berjamaah, jelas mengindikasikan telah berkurangnya tsiqoh orang tersebut kepada qiyadah jamaah.
Gejala faqduts tsiqoh (kehilangan tsiqoh) semacam itu perlu dicermati dan diwaspadai. Gejala lain yang juga merupakan indikasi mulai luruhnya tsiqoh anggota kepada qiyadahnya adalah adanya keengganan seseorang untuk dipimpin oleh orang-orang yang berada di bawah dirinya dalam hal pengalaman organisasi, latarbelakang pendidikan dan senioritas dalam berjamaaah. Sempat didapati kasus-kasus di lapangan semacam itu. Berikut ini kita nukilkan sebuah dialog antara seorang anggota sebuah pergerakan dengan seorang ustadz seniornya mengenai gejala runtuhnya tsiqoh pada diri seseorang. Dialog ini diambil dari sebuah blog di internet namun dari isinya jelas sekali bahwa ustadz tersebut berilmu dan berpengalaman dalam dunia pergerakan. Dialog tersebut sangat bermanfaat dan relevan dengan pembahasan ini. Tidak semua muatan dialog diambil karena ada sebagian hal yang tidak relevan dan tidak pas dengan manhaj pergerakan jamaah ini.
Pada suatu saat seorang aktifis pergerakan Islam mengadukan kegundahannya kepada seorang ustadz. Ia membeberkan hubungannya yang tidak harmonis dengan atasannya. Sebut saja Ahmad.
Ahmad: Saya berharap kiranya ustadz berkenan memberikan bimbingan praktis agar saya lega terhadap posisi saya dalam sebuah jabatan. Saya sekarang ini menjadi bawahan orang yang secara usia, pengalaman organisasi dan jenjang pendidikannya jauh dibawah saya. Saya mengharapkan jawaban itu karena saya sendiri sedang tidak stabil, secara dakwah, keimanan dan kejiwaan. Tsiqoh saya dalam organisasi ini demikian terganggu karena fenomena ini.
Ustadz: Akhi, terima kasih atas kepercayaan antum kepada saya sehingga sudi menyampaikan pertanyaan kepada saya. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua berada seperti kadar kepercayaan tersebut.
Akhi, keterlibatan antum dalam aktifitas Islam menurut saya merupakan sesuatu yang luar biasa.
Pertama-tama antum adalah seseorang yang komitmen terhadap agama antum dan cinta kepadanya. Antum sadar sepenuhnya akan tujuan dan peran yang mesti antum mainkan selaku makhluk yang diciptakan untuk itu. Antum juga memiliki cara pandang yang jelas dan bashirah yang membuat antum mampu menentukan jalan dan sarana yang akan antum tempuh untuk mencapai tujuan dengan memainkan peran itu. Kita memohon kepada Allah kiranya menjadikan bashirah itu memantulkan cahaya Allah Ta’ala.
Apa yang antum katakan itu menuntunku untuk memberikan jawaban yang luas. Terutama ketika saya melihat umur yang antum sebutkan itu. Dengan karunia Allah ternyata antum berada pada kematangan usia dan akal pikiran yang membuat antum bisa menilai sesuatu secara terukur serta menjaga antum dari ketergesaan seorang pemuda.
Saya ingin membagi jawabannya menjadi dua bagian: Pertama saya tujukan kepada antum. Kedua, saya tujukan untuk semua qiyadah dalam harakah Islamiyah dan semua organisasi dakwah Islam.
Untuk antum, saya tidak akan memperpanjang kata, sebab saya yakin antum sering mendengar kata-kata semacam ini melalui qiyadah antum. Juga antum telah sering membaca hal-hal yang berkaitan dengan etika amal jama’i. Tugas saya kepada antum hanyalah mengingatkan dan memfokuskan perhatian kepada hal-hal yang boleh jadi terlupakan.
Akhi Ahmad,
Saya akan memulai jawaban ini dengan berita gembira dari kekasih kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau sampaikan kepada siapa saja yang berbuat untuk Islam seperti antum. Yang bisa jadi mereka tidak mendapatkan hak manusiawinya atau penghargaan duniawinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, “ Berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya dan berdebu kakinya. Jika berjaga ia tetap berjaga. Jika bertugas di belakang ia tetap di belakang. Ketika meminta izin tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan.”
Menurut saya, antum tidak perlu penjelasan tentang hadits tersebut. Yang tentu saja tidak hanya berlaku dalam perang atau kaitannya dengan pangkat dalam militer. Namun ia berlaku bagi semua amal di jalan Allah yang ditujukan untuk berkhidmat bagi Islam.
Selamat bagi siapa saja yang tidak mengagungkan dirinya di jalan Allah. Yang dengan ilmunya ia tidak menghendaki kedudukan, jabatan, ketenaran atau harta benda. Sikap ini harus selalu ada dalam diri setiap orang yang bekerja untuk Islam. Bahkan termasuk hal utama yang harus dipelajari seseorang ketika mulai menempuh jalan dakwah tersebut.
Ini bukan berarti seseorang harus merahasiakan kemampuannya, mengubur bakatnya dan mengebiri ide-idenya. Bahkan seharusnya seorang aktivis mengoptimalkan potensinya dan kemampuan intelektual, fisik serta hartanya yang diberikan Allah kepadanya untuk menegakkan Islam.
Realita sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sarat dengan contoh-contoh ideal. Seperti usulan Khubab bin Mundzir radhiyallahu ‘anhu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memindah kamp tentara Islam dalam perang Badar. Kendatipun tempat yang semula adalah pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ini tidak membuatnya menahan gagasannya setelah ia memastikan bahwa pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu semata-mata pertimbangan manusiawinya, bukan bersumber dari wahyu Allah. Maka tidak ada pilihan lain bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain menerima pendapat tersebut lalu beliau memindahkan kamp tentara. Ternyata, ini menjadi salah satu faktor kemenangan kaum Muslimin dalam perang tersebut.
Ini satu sisi, sisi lain ya akhi, bahwa Sirah juga menjelaskan kepada kita agar ketika menilai seseorang dalam kerja jihad dan dakwah, seharusnya tidak menggunakan neraca duniawi, sebagaimana lazimnya digunakan banyak orang terhadap suatu tugas, pekerjaan dan jabatan. Pertimbangan usia, level pendidikan, kedudukan dan kekuatan fisik mestinya tidak dijadikan sebagai skala prioritas dan tidak dijadikan sebagai penentu keputusan. Ada hal-hal lain yang mestinya diprioritaskan seperti ketakwaan, keikhlasan, kemampuan menyelesaikan tugas sebagaimana yang diharapkan, pengetahuan terhadap hukum-hukum syar’i, khususnya yang berkaitan dengan tugas yang diembannya. Disamping itu ia juga memiliki pemahaman segala aturan main yang diberlakukan oleh suatu organisasi, jamaah atau gerakan dimana ia berafiliasi kepadanya.
Kita tahu bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih para pemimpin dan panglima. Yang intinya beliau mampu memberdayakan potensi dan menempatkan posisi dengan sangat baik sehingga memberikan kontribusi positif bagi Islam dan kaum Muslimin. Beliau mengangkat Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu –kendatipun masuk Islamnya belakangan- sebagai seorang panglima di beberapa operasi militer. Padahal yang dipimpinnya para sahabat senior dalam Islam dan jihad. Demikian pula ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang umurnya belum genap tujuh belas tahun sebagai panglima perang, diantara pasukannya terdapat banyak sahabat yang lebih tua dan lebih senior dalam Islam.
Rasulullah tidak mempertimbangkan senioritas dalam Islam dan jihad maupun usia. Beliau melihat potensi dan kemampuan dalam menyelesaikan tugas dengan baik dengan hasil yang diridhai Allah dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Rasulullah juga menjadikan Bilal radhiyallahu ‘anhu sebagai tukang adzan karena suaranya yang merdu. Mengangkat Hasan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu sebagai penyair Islam yang berjuang membela agama dan syariah. Bahkan beliau juga memotivasinya dan memberi berita gembira kepadanya tentang dukungan Ruhul Qudus, malaikat Jibril kepadanya. Kendatipun Hasan sendiri tidak ikut terlibat di medan perang. Namun ia berjihad dengan lisan dan syairnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun telah ridha kepadanya dengan model perjuangannya ini bahkan berterima kasih kepadanya.
Rasulullah juga tidak mau basa basi kepada seseorang demi kemaslahatan umum, terutama dalam memilih pimpinan. Lihatlah akhi, bagaimana Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diangkat sebagai salah satu pimpinan. Dan kendatipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya, beliau pun menjawab seraya menepuk pundaknya, “Abu Dzar, kamu ini orang lemah. Jabatan itu amanah. Dan pada hari Kiamat nanti ia menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang dapat menunaikan haknya dan menjalankan tugasnya” (Muslim)
Disini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringkas kaidah penting dengan dua kata, menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha). Betapa mulia Rasulullah dan betapa cerdasnya panglima ulung ini, salawat dan salam untuknya.
Oleh karenanya saya mengajak antum akhi, untuk pertama-tama mengalamatkan tuduhan kepada diri sendiri. Boleh jadi kita lebih tua, lebih berpendidikan dan lebih menguasai salah satu bidang. Namun untuk sebuah tugas iqomatuddin boleh jadi kita tidak memiliki sifat-sifat yang semestinya. Atau bisa jadi kita memiliki sebagian sifatnya namun tidak nampak dan tidak menonjol menurut qiyadah antum. Sebab antum belum menunjukkannya atau belum memberitahukan hal itu kepada mereka. Mereka hanya melihat sifat-sifat lain yang menonjol pada diri kita yang tidak dibutuhkan untuk suatu tugas tertentu.
Atau barangkali kondisinya sebaliknya, yakni kita punya sifat-sifat negatif yang tidak kita sadari atau kita menganggapnya tidak mempunyai pengaruh negatif. Namun saudara-saudara dan qiyadah kita melihatnya lain dan menganggapnya serius yang membuat kita tidak layak mengemban tugas tersebut.
Itulah akhi al-karim, beberapa hal yang mendasar yang harus kita sepakati. Setelah itu marilah kita menentukan beberapa langkah strategis sebagaimana yang antum minta. Agar terciptalah keselarasan antar kita dengan Rabb kita dan saudara kita. Keselarasan yang sesuai kaidah tawazun imani, nafsi dan da’awi.
Pertama:
Hendaknya kita mempertanyakan beberapa hal ini kepada diri sendiri: Mengapa kita disini? Untuk siapa amal yang kita lakukan? Dan apa yang kita kehendaki dengan amal ini?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini perlu kejujuran terhadap diri sendiri yang memang sangat sulit. Ya, sungguh sulit. Karena terkadang kita sering berbohong terhadap diri sendiri atau kita menipu diri sendiri. Bisa jadi ada niat-niat lain yang tersembunyi dibalik niat yang kita tunjukkan kepada orang lain, dan niat-niat itu yang menggerakkan dan mengarahkan kita.
Apakah kita hanya ingin memuaskan keinginan tersembunyi kita itu hingga kita berharap mendapatkan kedudukan pada suatu kaum agar kita mendapatkan hak untuk memerintah, melarang dan memutuskan?
Apakah ada keinginan untuk menunjukkan kemampuan dalam diri, dimana kita melihatnya memiliki potensi yang luar biasa dan bakat yang harus dinampakkan? Apakah ada niat untuk menunjukkan keberanian dan kemampuan kita dalam menyelesaikan suatu tugas yang sulit?
Apakah kita menginginkan kedudukan yang bisa dilihat orang, hingga kita menjadi terkenal dan kita menjadi buah bibir di banyak forum?
Ataukah untuk mendapatkan ridha Allah dan meninggikan kalimat-Nya? Mengharapkan surga dan agar terjaga dari neraka?
Jawabannya ada pada diri kita sendiri…
Untuk siapakah kita beraktifitas?
Apakah kita persembahkan kerja kita untuk atasan dan pimpinan kita dengan mengharapkan pujian dan sanjungan mereka atas kontribusi kita lalu mereka mengalungkan medali penghargaan? Lebih dari itu agar kita mendapatkan penghargaan dari pimpinan tertinggi?
Ataukah kita ingin mempersembahkannya kepada Rabb kita agar kiranya Allah memberikan ridha dan surga-Nya kepada kita lalu kedudukan kita menjadi tinggi di akhirat kelak?
Jawabannya juga ada pada diri kita sendiri…
Saya ingin mengingatkan antum dan diri saya sendiri serta kaum Muslimin, bahwa Allah tidak pernah tertipu oleh seseorang. Allah dapat melihat apa saja yang berada di balik dada dan membedah apa yang disembunyikan oleh jiwa. Allah meng-hisab semua hamba-Nya sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Bukan secara simbolis, menipu atau kamuflase.
Ayat dan hadits tentang hal ini sangat banyak. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya bahwa seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata. “Seseorang berperang karena harta rampasan, seseorang berperang karena popularitas dan seseorang berperang agar kedudukannya bisa diketahui orang. Maka siapakah di antara mereka yang berada di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Barang siapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka orang itu berada di jalan Allah.”
Di Shahih Tirmidzi juga diriwayatkan bahwa (pada hari kiamat) nanti akan didatangkan seseorang yang terbunuh di jalan Allah (menurut anggapan orang). Allah bertanya kepadanya, “Karena apa kamu terbunuh?” Ia menjawab,”Karena Engkau telah memerintahkan berjihad di jalan-Mu, maka aku berperang lalu terbunuh.” Allah berkata kepadanya,”Kamu berbohong.” Malaikat juga berkata kepadanya,”Kamu berbohong.” Allah berkata,”Sebenarnya kamu ingin agar orang mengatakan, ‘si fulan itu memang pemberani.’ Dan sudah ada yang mengatakannya.” Lalu ia termasuk orang pertama yang masuk neraka.”
Mari kita lihat akhi. Seorang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beriman dan mengikuti beliau kemudian berhijrah ke Madinah. Pada suatu peperangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat rampasan seorang wanita lalu diberikan kepadanya. Ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa ini?” Beliau berkata, “Aku membaginya untukmu.” Ia berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu, yang aku inginkan adalah sekiranya aku terkena anak panah disini –ia menunjuk ke arah leher- lalu aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu).” Lalu orang itu pun terbunuh di peperangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan orang itu terkena panah di tempat yang ditunjuk itu. Beliau bertanya, “Apakah ia ini orangnya?” Mereka menjawab., “Benar” Beliau bersabda, “Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu).” Lalu beliau mengkafani dengan jubahnya, meletakkannya dan menshalatinya. Lalu berdo’a untuknya, “Ya Allah, hamba-Mu ini keluar untuk berhijrah di jalan-Mu lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya.” (Imam Nasa’I dengan sanad shahih).
Benar akhi, siapa yang jujur Allah akan membuktikan kejujurannya. Marilah kita duduk dengan penuh kejujuran terhadap diri sendiri. Kita evaluasi niat dan tujuan kita. Tentunya dengan penuh kesadaran bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Kalau kita mampu memperbaiki niat – dan ini sangat penting namun sangat sulit pada awalnya- itu akan lebih baik bagi kita, dunia dan akhirat. Jika kita tidak mampu dan tetap saja ada ganjalan terhadap qiyadah kita serta tidak ridha terhadap posisinya sekarang ini, bukan berarti kita harus meninggalkan amal atau memutuskan hubungan dengan ikhwah. Namun hendaknya kita tetap berjihad melawan diri kita untuk mendapatkan niat yang diridhai Allah. Tentu saja berbagai kesulitan yang kita hadapi dalam hal ini menjadi aset kebaikan kita di sisi Allah. Ingatlah firman Allah,
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan” Al Ankabut: 69.
Kedua:
Kita menunaikan tugas yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidakpuasan kita terhadap posisi kita itu membuat kita malas menunaikan tugas dan kewajiban.
Ketiga:
Selalu berharap kepada Allah melalui doa dalam shalat, sujud kita dan waktu-waktu mulia agar dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya. Juga agar Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan, kebenaran dan merubah kita. Agar kita diselamatkan dari fitnah kedudukan dan kepemimpinan dimana kita tidak mampu menunaikannya. Sebab ia adalah –seperti sabda Rasulullah- amanah, yang pada hari Kiamat nanti menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Cukup disini jawaban untukmu akhi. Mudah-mudahan dapat menghilangkan ganjalan di hati antum.
Kini tiba saatnya kita berada pada bagian kedua pembicaraan kita. Yang saya tujukan kepada segenap qiyadah harakah dan gerakan Islam. Apa yang saya sampaikan tadi kepada antum akhi, merupakan taujih dan saran. Bukan berarti para qiyadah harakah dan jamaah terlepas dari tanggung jawab. Atau membebaskan mereka dari kesalahan dan dosa. Bahkan mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam masalah ini. Agar parameternya seimbang dan duduk perkaranya menjadi jelas, maka masalah ini harus dilihat dari dua sisi, pribadi dan jamaah, yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban.
Pertama:
Kewajiban pertama kepada para qiyadah jamaah, agar senantiasa mengikuti manhaj syariah dan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memilih pimpinan di berbagai wilayah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas iqomatuddien. Hendaknya mereka berupaya menempatkan orang yang lebih cocok. Kata cocok (munasib) disini adalah sesuai dengan kapasitas syar’i yang membuat orang itu layak menempati sebuah jabatan tertentu. Yakni pada qiyadah tersebut terdapat sifat-sifat positif dan yang paling penting adalah kafaah dan kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Menunjukkan keikhlasan dalam memberikan pengarahan kepadanya. Menjadi qudwah bagi bawahannya. Adil dalam suka maupun tidak suka. Tidak menerima perantara. Tidak memihak kepada salah satu pihak. Tidak marah karena nafsunya. Cinta dan benci karena Allah. Tidak merasa lebih tinggi saat menasehati atau mengkritik. Tidak sibuk mencari keuntungan materi maupun non materi dari jabatannya. Bersifat hormat kepada bawahannya, fleksibel dan tidak kaku
Yang lebih penting lagi agar loyalitasnya diberikan kepada fikrah dan bukan kepada orang-orang yang mengangkatnya. Sifat ini saya sebutkan secara khusus karena sangat urgen. Sebab kadang-kadang sebuah fikrah itu dikesampingkan oleh qiyadah, jadinya loyalitas berubah dari untuk fikrah menjadi untuk pribadi qiyadah, berjalan bersamanya, kemana saja, lalu berputar bersamanya mengikuti arah angin.
Kedua:
Hendaknya qiyadah mendidik para bawahannya akan nilai-nilai Islam yang dengan nilai-nilai itu ia dapat menerima untuk berada dibawah kepemimpinan seseorang yang lebih muda darinya. Atau tingkat pendidikan dan wawasannya lebih rendah darinya. Atau hal-hal lain yang berkaitan dengan parameter dunia kalau memang parameter syar’i terpenuhi.
Pendidikan nilai-nilai ini mestinya diberikan kepada mereka sebelum fitnah datang menimpa, ambisi pribadi muncul dan godaan syetan mulai menggejala. Ujian tidak akan datang sebelum ada proses belajar. Sebab kalau tidak, seorang murid akan gagal karena tidak menguasai rumus-rumus dan logaritma yang diujikan. Dimana parameter yang biasa dijumpainya dalam kesehariannya berbeda dengan parameter yang dijumpainya saat ujian.
Ketiga:
Para qiyadah hendaknya tidak menjadikan nash-nash syar’i yang menyeru kepada pengingkaran jati diri dan keikhlasan dalam amal, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, sebagai obat bius yang memaksa masing-masing pribadi agar menyerah saja kepada posisi tertentu. Bisa jadi mereka memang punya hak saat ia menolak atau meminta ada perubahan.
Keempat:
Senantiasa memotivasi masing-masing anggota agar menunjukkan kemampuan mereka serta mengembangkan bakat inovatif mereka. Bukannya memendam dan menahannya. Sangat disayangkan ada sebagian orang yang mencoba intervensi terhadap niat mereka lalu memutuskan persoalan berdasarkan niat tersebut. Seolah-olah ia telah membedah hati mereka dan mengungkap niat itu. Ia meginterpretasikan upaya-upaya mereka dalam rangka menunjukkan kemampuan dan mengklaim mereka memiliki sifat hubbudz-dzuhur (exhibitionisme) atau berambisi kepada jabatan dan rakus kedudukan. Bisa jadi memang benar. Namun orang-orang seperti itu perlu diuji sebelum dihakimi.
Kelima:
Anggapan bahwa penilaian qiyadah terhadap anggota, positif maupun negatif, adalah wahyu yang tidak bisa dibantah, yang dengan dasar itu anggota dihukumi kredibel atau tidak, perlu ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebab untuk menilai seseorang harus dari berbagai sisi dan setelah melakukan berbagai ujian, untuk menjauhi tendensi pribadi yang kadang bisa mempengaruhi qiyadah kendatipun ia berupaya untuk mengesampingkannya. Betatapun, qiyadah adalah manusia juga yang tidak terbebas dari kesalahan dan kekeliruan dalam mengambil keputusan.
Keenam:
Hendaknya qiyadah bisa menjadi teladan dalam amal shalih. Agar apa yang diucapkan serasi dengan apa yang dikerjakan. Ketahuilah bahwa keteladanan ini mempunyai kesan yang kuat dan mendalam dalam diri anggotanya ketimbang kata-kata yang terucap, apatah lagi kata-kata itu hanyalah pemanis bibir yang tidak ada realita amalnya. Lebih ironis lagi jika amal perbuatannya bertolak belakang dengan pernyatannya dan dengan syariah Islam.
Terakhir, mohon maaf atas jawaban yang bertele-tele ini. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan nasihat ini ikhlas hanya mengharapkan ridha-Nya dan bisa menjadi kontribusi untuk antum akhi, untuk keluar dari cobaan yang menimpa.
Kalau kita cermati, jawaban sang ustadz terhadap persoalan tsiqoh yang mulai terganggu itu sedemikian detail dengan hujah yang kuat. Dan perlu dipahami, sang ustadz bukanlah anggota jamaah jihad namun jamaah dakwah. Maka bagaimana pendapat anda terhadap seorang anggota jamaah jihadiyah yang telah sekian lama dididik di jamaah tersebut dan memiliki pengetahuan yang memadai tentang organisasi ini berikut para qiyadahnya dan mekanisme kerjanya dalam menghasilkan sebuah keputusan dan kebijakan. Semestinya para anggota, apalagi para pengurusnya, memiliki tingkat ketsiqohan dan positif thinking kepada qiyadah yang lebih baik dari mereka.
Demikian pula, semestinya para qiyadah di jamaah semacam ini memiliki ketsiqohan dan positif thinking kepada para anggota yang lebih baik daripada mereka. Hal ini dikarenakan tuntutan untuk menjadi jamaah yang sangat solid lebih besar daripada mereka sebab jamaah jihadiyah adalah sebuah jamaah yang mengemban tugas dakwah dan jihad sekaligus. Sementara jamaah dakwah baru pada tahap konsentrasi di bidang dakwah. Di sinilah urgensi dari tsiqoh mutabadilah antara anggota dan qiyadah yang menjadi penentu dari soliditas sebuah jamaah, keberhasilanya dalam menjalankan seluruh programnya dan mengatasi segala rintangan yang menghalang di jalanya sebagaimana pernyataan Hasan Al Banna rahimahullah,
“Pemimpin adalah unsur penting dalam dakwah; Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh mutabadilah – yang bersifat timbal balik - antara pemimpin dan yang dipimpin menjadi parameter yang menentukan sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilannya mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya mengatasi berbagai kendala yang menghadangnya.” [lasdipo.com]