Minggu, 22 Juni 2014

IQRO' BISMIROBBIK

بسم لله الرحمن الرحيم

      Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji hanya milik ALLAH yang masih memberikan kita begitu banyak nikmat yang tak terhitung oleh kita termasuk nikmat paling besar berupa iman dan islam yang ada dalam diri kita. Shalawat serta salam mudah-mudahan senantiasa ALLAH curahkan kepada uswah kita khotamul anbiya nabi Muhammad saw, juga kepada keluarganya, sahabatnya, serta para pengikut risalah beliau hingga yaumil akhir kelak, dan semoga kita termasuk dalam golongannya, aamiin. Amma ba'du.

      Seperti yang kita tahu bahwa ayat alquran yang pertama kali diturunkan oleh ALLAH lewat perantara malaikat Jibril a.s. kepada nabi Muhammad s.a.w ketika beliau bertahanut di gua hiro adalah surat Al Alaq ayat 1-5, yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut :

"Bacalah dengan (menyebut) nama Robbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Robbmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS.Al-Alaq 1-5)

Disini penulis tidak akan membahas tafsir ataupun asbabun nuzhul 5 ayat pertama surat Al-Alaq tersebut diatas karna mungkin sebagian besar kaum muslim sudah mengetahuinya lewat buku-buku tafsir seperti ibnu katsir atau yang lainnya, tapi yang akan penulis bahas di kesempatan ini adalah tentang 2 kata pertama dari ayat 1 sesuai dengan judul posting tulisan ini yaitu " Iqro' Bismirobbik".

     Iqro'! adalah sebuah perintah dari ALLAH kepada kita untuk membaca, karena arti kata dari iqro' sendiri adalah "bacalah!". Perintah membaca disini bukan hanya membaca pada umumnya yang hanya sekedar membaca sebuah tulisan karena jika perintah tersebut hanya tentang membaca tulisan pasti harus ada kata objek yang menyertainya, tetapi lebih dari itu yang dimaksud iqro disini adalah keharusan kita untuk membaca/memikirkan/merenungkan/mentafakuri apa arti dari kehidupan kita di dunia ini.

     Bacalah!!, ALLAH memerintahkan kita untuk membaca, artinya apa? Yang namanya sebuah perintah, -apalagi ini adalah perintah dari ALLAH-, itu berarti apabila kita laksanakan maka akan berbuah pahala dan ridho dariNYA dan sebaliknya jika tidak kita laksanakan perintah tersebut maka kita akan mendapat dosa dan murkaNYA. 

     Iqro' terbagi menjadi 2 yaitu iqro' ayat-ayat qauliyah dan iqro' ayat-ayat kauniyah. 

  •  Iqro' qauliyah adalah membaca ayat-ayat yang tersurat/tertulis, contohnya membaca kitab alquran atau kitab hadist, dll.

  • Iqro' kauniyah adalah membaca ayat-ayat yang tersirat/terhampar luas diseluruh alam semesta, contohnya membaca tentang penciptaan langit dan bumi, pergantian siang malam, bagaimana proses hujan terjadi, dll.


     Apakah tujuan ALLAH memerintahkan kita untuk membaca? Tujuan yang paling utama dari membaca adalah ilmu/pengetahuan. Dengan membaca bisa mengubah kita yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang mulanya tidak berilmu menjadi punya ilmu. Seperti yang disebut pada ayat 4 dan 5 diatas. Contoh mudahnya mungkin seperti penulis yang sebelumnya sama sekali tidak tahu tentang cara membuat sebuah blog kemudian dengan proses membaca akhirnya alhamdulillah dengan seizinNYA  sekarang penulis menjadi tahu dan bisa membuat blog sampai bisa memposting tulisan yang sedang kita baca ini. 

Pada dasarnya semua orang yang hidup di dunia ini tanpa disadari telah atau sedang melakukan kegiatan membaca itu sendiri, benarkah?

  •  Contoh: ketika seorang sedang berjalan tiba-tiba didepannya ada lubang besar di jalan yang sedang dia lalui, kira-kira apa yang akan orang tersebut lakukan? kalau dia membaca pasti dia berpikir bahwa kalau dia terus berjalan kedepan maka dia akan terperosok jatuh kedalam lubang tersebut, oleh karena itu selanjutnya pasti dia akan merubah arah langkahnya agar dia tidak masuk lubang tersebut.   
Itulah contoh kecil yang penulis maksud tentang membaca dalam bahasan ini. Intinya membaca itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita ini. Karena tanpa membaca hidup kita akan seperti kehilangan arah. Makanya penulis jadi heran ketika ada seseorang yang ditanya tentang apa hobinya? Lalu orang tersebut menjawab bahwa hobinya adalah membaca. Hobi????? Hellooowww (sedikit meniru gaya anak alay zaman sekarang, hehe), membaca itu bukanlah suatu hal kecil yang hanya dilakukan kadang-kadang atau hanya sekedar untuk hobi, tapi membaca itu adalah sebuah kebutuhan primer dalam hidup!!! sama pentingnya seperti kebutuhan kita akan makan, minum, tidur, dan kebutuhan primer yang lainnya.
    Kembali lagi soal membaca sebagai sebuah perintah. Kalau memang kita semua sudah melaksanakan perintah membaca tadi, apakah itu berarti kita otomatis akan mendapatkan pahala dariNYA? karena bukannya ketika sebuah perintah dilaksanakan akan mendatangkan pahala?, belum tentu. Buktinya orang-orang kafir tidak mendapatkan pahala dariNYA walaupun mereka membaca dalam hidupnya bahkan mereka membaca lebih banyak daripada kita yang menyebabkan sekarang mereka lebih maju dalam kehidupan dunia dibanding kita orang muslim. Tapi mengapa semua amalan-amalan mereka (termasuk membaca) tidak bernilai apapun disisiNYA?.
      Mari kita lihat kembali firmanNYA di ayat pertama tadi, " Iqro' bismirobbik alladzi kholaq". Ya, perintah dalam ayat yang agung ini bukan hanya kata iqro' atau bacalah, tapi masih ada kata kelanjutannya yaitu bismirobbik.........atau dengan nama robbmu (Allah) yang telah menciptakan. Dengan kata lain berarti perintah membaca ini adalah bukan sebuah perintah biasa tetapi ini adalah sebuah perintah bersyarat yang menegaskan bahwa menjalankan perintah itu harus dibarengi syarat tersebut. Dan syarat itu adalah dengan bismirobbik tadi yaitu apa yang kita baca harus dengan atas nama ALLAH, untuk ALLAH, dan dengan tuntunan ALLAH.
  • Dengan nama ALLAH, yaitu ketika setiap melakukan aktivitas apapun kita diharuskan untuk selalu mengawalinya dengan menyebut asma allah, misalkan menyebut bismillahirrohmanirrohim.
  • Untuk ALLAH, yaitu setiap perbuatan yang kita lakukan baik itu ibadah ritual maupun ibadah muamalah harus diniatkan semata-mata hanyalah untuk mencari ridho dan rahmatNYA saja, tidak ada niatan lain.
  • Dengan tuntunan ALLAH, yaitu setiap aktivitas dari yang kecil sampai yang besar dalam hidup kita harus sesuai dengan apa yang ALLAH dan rosulNYA ajarkan, tidak boleh keluar dari tuntunan islam. Ketika kita melakukan suatu perbuatan/amalan, terus kita awali dengan menyebut bismillah lalu diniatkan ikhlas lillahi ta'ala tetapi kita mengabaikan satu syarat lagi yaitu tidak sesuai dengan tuntunan ALLAH dan rosulNYA, maka amalan kita tersebut belum bisa disebut dengan maksud bismirobbik tadi yang menyebabkan amalannya tertolak atau sia-sia. Contoh : " Ketika kita akan makan kita awali dengan membaca bismillah dan doa sebelum makan dengan niat untuk mencari berkah dan ridhoNYa dari rezeki yang kita makan tersebut, tetapi ada satu hal yang hilang dari syarat tadi yaitu ternyata makanan yang kita makan tadi ternyata didapat tidak sesuai tuntunan dengan apa  yang ALLAH ajarkan, misal makanan tadi kita dapatkan dengan hasil mencuri atau dengan cara yang haram.

   Kesimpulannya, sebagai seorang muslim sudah selayaknya lah kita jadikan setiap gerak langkah hidup kita di dunia ini dari hal terkecil seperti makan,minum,tidur,dll sampai ke hal terbesar seperti bermasyarakat,bernegara,perang,dll sesuai dengan apa yang ALLAH Al Khaliq kehendaki dan menjadikan orientasi hidup kita ini semata-mata hanyalah dalam rangka untuk beribadah kepadaNYA karena tidak ada tujuan lain kita diciptakan ke dunia ini kecuali untuk beribadah seperti yang ALLAH SWT sebutkan dalam firmanNYA surat 51 ayat 56.

   Akhir kata penulis hanya bisa memohon ampun padaNYA apabila ada khilaf atau kesalahan apapun dalam menuliskan postingan ini, dan kebenaran hanyalah datang dariNYA saja. 
Washollallahu wa salim wa barik 'ala muhammad, wal hamdulillahi robbil 'alamin.

Selasa, 03 Juni 2014

ADAB-ADAB QIYADAH wal JUNDIYAH

Bismillah,
Alhamdulillah,
sholli wa salim wa barik 'ala Muhammad wa alihi ajma'in.
Amma ba'du.

Untukmu Wahai Qiyadah wal Jundiyah

Definisi Qiyadah Wal Jundiyah

Qiyadah wal Jundiyah merupakan suatu term –istilah- yang sangat familiar bagi mereka yang hidup dan berinteraksi dalam jama’ah. Qiyadah secara bahasa adalah: “Qaada – Yaquudu – Qaudan – Qiyaadatan – Qawwadan – Iqtaada: menuntun,sedang berjalan di mukanya. Hal ini berarti Qiyadah adalah seorang pemimpin yang bertugas menuntun siapa saja yang dipimpinnya. Sedangkan Jundi secara bahasa adalah berasal dari kata: “Jundun (Junuudun)” yang berarti tentara/serdadu. Qiyadah wal Jundiyah adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Dimana ada seorang pemimpin pastilah ada yang orang yang dipimpinnya. Pun demikian dengan pemimpin yang hebat akan selalu disokong oleh pasukan-pasukan yang juga hebat yang berada dibelakangnya.

Allah sangat menyukai orang-orang yang berjama’ah membentuk suatu bangunan yang kokoh. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. Untuk hal itu maka sangat urgen bagi kita dalam berjuang membentuk barisan dalam jama’ah yang kokoh.

Ada beberapa Hadist yang menunjukkan betapa pentingnya suatu kepemimpinan dalam ummat islam dalam segala urusan. Hadist tersebut antara lain yang pertama adalah: “Tidak halal bagi tiga orang yang sedang berada di sebuah perjalanan kecuali salah seorang diantara mereka menjadi pemimpinnya” (HR. Ahmad). Hadist tersebut menggambarkan bahkan dalam hal sekecil sebuah perjalanan antara tiga orang pun harus ada yang memimpin, apalagi urusan yang lebih besar yang tentunya lebih banyak orang pula. Hadist yang kedua adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi: “Imam (penguasa) adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”. Artinya adalah seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar terhadap yang dipimpinnya.

Adapula hadist yang menerangkan tentang Jundi seperti yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: “Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada imamnya maka ia pada hari kiamat tidak memiliki hujjah”. Hadist ini menerangkan bahwa seorang jundi yang telah memba’iat diri kepada pemimpinnya memiliki kewajiban untuk mentaati perintah pemimpinnya, bahkan apabila seorang jundi tidak mentaati perintah pemimpinnya ancamannya adalah ketika hari kiamat tidak akan memiliki hujjah.

Adab Terhadap Qiyadah

Seorang Qiyadah/ Pemimpin jama’ah memiliki hak-hak tertentu yang harus dipenuhi oleh para Jundinya. Seperti bagaimana cara bersikap apabila berinteraksi dengan Qiyadah dan itu harus dimiliki oleh setiap Jundi yang ada dalam jama’ah.

Adab-adab tersebut antara lain adalah Ta’at, Tsiqoh, Iltizzam, Ihtirom.

    Ta’at

Ta’at berarti seorang Jundi harus memiliki rasa ta’at dalam menjalankan perintah-perintah serta arahan-arahan yang diberikan kepadanya.

    Tsiqoh

Tsiqoh berarti seorang Jundi harus menerima dan memiliki perasaan dan hati yang lapang dalam menerima perintah, amanah, ataupun segala yang datang dari Qiyadah kepadanya tanpa ada keragu-raguan didalamnya.

    Iltizzam

Itizzam berarti seorang Jundi harus senantiasa menjaga komitmennya untuk selalu ta’at dan tsiqoh kepada Qiyadah dan Jama’ah.

    Ihtirom

Ihtirom berarti seorang Jundi harus memiliki sikap hormat yang tinggi kepada Qiyadah.

Selain keempat hal diatas ada satu perkara yang tidak boleh dilupakan yaitu senantiasa mengingatkan apabila pada suatu waktu Qiyadah kita melakukan kesalahan dan kekhilafan. Tentunya kita mengingatkan dengan cara yang ahsan dan tidak didepan umum agar martabat, wibawa dan izzah Qiyadah tetap terjaga dan tidak terlecehkan didepan orang lain.

Membangun Ketsiqohan Kepada Qiyadah

Tentunya sebagai seorang jundi haruslah mentaati perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang Qiyadah. Dalam mentaati perintah diperlukan sikap dan kadar ketsiqohan yang tinggi yang harus dimiliki seorang Jundi terhadap Qiyadahnya. Sikap tsiqoh ini tak lain adalah bentuk ketaatan dan kesetiaan terhadap apa yang menjadi ketentuan yang diberikan oleh Qiyadah kepada para Jundinya.

Tentunya tsiqoh dalam hal ini bukan berarti taqlid buta terhadap segala apa yang diperintahkan. Karena Qiyadah tentunya adalah seorang manusia biasa yang sangat dekat sekali dengan perbuatan salah dan khilaf. Maka sebagai Jundi juga harus senantiasa mengingatkan dengan cara yang ahsan apabila dalam beberapa hal sang Qiyadah dirasa melakukan kekhilafan-kekhilafan yang barangkali tak disadarinya.

Kita semua harus memahami bahwa Qiyadah bisa jadi bukanlah orang yang paling kuat, bukanlah orang paling benar, dan juga bukan orang yang paling bertakqwa diantara kita. Yang harus kita lakukan adalah cukup dengan mempercayainya bahwa pemimpin kita adalah orang yang bisa mengemban tugas amanah kepemimpinan dengan baik. Jika pun ada seseorang lainnya diantara kita yang barangkali memiliki kemampuan lebih dibandingkan Qiyadah kita maka cukuplah kelebihan itu digunakan untuk mendukung kerja-kerja Qiyadah dan bukan malah menjadi pembenaran untuk melakukan persaingan atau bahkan perlawanan terhadap Qiyadah kita.

Barangkali sebuah contoh yang bisa diambil ibrohnya adalah dialog antara Umar Bin Khattab dengan Abu Bakar Ash Shidq sepeninggal Rasulullah SAW: “Umar berkata kepada Abu Bakar, ‘Ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atmu.’ Abu Bakar berkata, ‘Akulah yang membai’atmu.’ Umar berkata, ‘Kamu lebih utama dariku.’ Abu Bakar lalu berkata, ‘Kamu lebih kuat dariku.’ Setelah itu Umar ra berkata, ‘Kekuatanku kupersembahkan untukmu karena keutamaanmu.’ Umar pun terbukti benar-benar menjadikan kekuatannya sebagai pendukung Abu Bakar sebagai kholifah”.

Imam syahid Hasan Al Banna mengatakan: ‘Wahai ikhwan, angkatlah menjadi pemimpin orang yang paling lemah di antara kalian. Kemudian dengarlah dan taatilah dia. Dengan (bantuan) kalian, ia akan menjadi orang yang paling kuat di antara kalian’. Perkataan dari Hasan Al Banna menjelaskan bahwa seorang pemimpin itu bisa jadi adalah orang yang paling lemah diantara jama’ah. Namun kepercayaan dan ketaatan dari para jundi terhadap pemimpinnya bisa menjadikan pemimpin tersebut orang yang paling kuat diantaranya.

Ada keteladanan dan suatu kebesaran hati seorang Umar Bin Khattab r.a yang berbeda pendapat dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shidq terkait tentang sikap terhadap orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Umar bin Khattab berpendapat bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat tidaklah harus diperangi, dan pendapat Umar ini banyak didukung oleh para sahabat lainnya. Namun, khalifah Abu Bakar Ash-Shidq beranggapan bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat haruslah diperangi. Mengetahui keputusan Abu Bakar Ash-Shidq untuk memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat maka Umar Bin Khattab berkata: “Demi Allah, tiada lain yang aku pahami kecuali bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwa dialah yang benar”.

Perkataan dari Umar Bin Khattab menunjukkan sikap ketsiqohan yang luar biasa yang ditunjukkan kepada keputusan Abu Bakar Ash-Shidq sebagai khalifahnya. Walaupun bisa saja Umar menentang kebijakan sang Qiyadah karena didukung oleh sahabat-sahabat lainnya dan ditambah dengan Rasulullah SAW pun pernah bersabda bahwa: “Allah swt telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar”. Disaat Umar Bin Khattab memiliki kesempatan dan dalil kuat untuk tidak mengikuti dan menentang keputusan Abu Bakar Ash Shidq. Umar lebih memilih untuk tetap mentaati keputusan Abu Bakar Ash-Shidq selaku khalifah pada saat itu.

Terus terang, pasti banyak dari diri-diri kita yang mengaku kader dakwah yang berada dalam jama’ah seringkali merasakan yang namanya berbeda pendapat atau bahkan berseberangan dengan arahan dan pikiran dari Qiyadah kita, dan  itu adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan bersosial sekalipun.

Yang biasanya sering terjadi adalah ketika Qiyadah kita memberikan sebuah amanah kepada kita sebagai Jundi, namun kita merasa tidak bisa, tidak mampu, atau bahkan tidak mau dengan alasan ada tempat/ amanah yang lebih pas dengan dunianya menyebabkan kita seringkali menolak atau minimal menggerutu kepada Qiyadah.

Namun mungkin ada juga seorang Qiyadah yang kurang cermat dalam menempatkan dan mengamanahkan para Jundinya sehingga hal ini bisa berpotensi menyebabkan kerja-kerja dakwah menjadi tidak maksimal karena Jundi yang diamanahkan kurang pas dengan kompetensinya. Syech Mustafa Masyhur dalam Al Qiyadah Wal Jundiyah menyebutkan bahwa salah satu yang harus dimiliki seorang Qiyadah adalah harus pandai memilih orang yang layak dalam mengemban amanah/ jabatan.

Bagaimana cara untuk mengatasi agar tidak terjadi “kesalahan” dalam menempatkan Jundi dalam beramanah?. Jawabannya adalah mengkomunikasikan segala hal-hal yang berkaitan dengan amanah yang akan diberikan kepada Jundi yang akan diberi amanah. Qiyadah harus bisa mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Jundi dengan cara mendengarkannya, mengajaknya bicara, bukan dengan gaya semi-diktator mentaklimat ini-itu.

Jika Qiyadah mau memberikan instruksi untuk kepada Jundi untuk menempati sebuah posisi dalam beramanah harus terlebih dahulu mengkomunikasikannya dengan posisi sedang dalam menawarkan, bukan serta merta langsung memerintahkan. Sebaliknya, jika Jundi masih merasa ada suatu hal yang perlu dikomunikasikan, misalnya merasa kurang pas dengan amanah yang ditawarkan karena ada bidang lain yang sesuai dengan kompetensinya, itu harus dikomunikasikan dengan Qiyadah.

Jangan pernah sesekali menerima amanah dari Qiyadah sedangkan kita tidak ikhlas tetapi tidak mengkomunikasikannya, lalu dalam perjalanan amanah merasa tidak kuat dan merasa terdzolimi yang akhirnya menyebabkan kefuturan dalam berjama’ah. Itulah realitas yang sering terjadi ditengah-tengah kita para kader dakwah. Apapun alasannya Jundi tetap harus mengkomunikasikan kepada Qiyadah ataupun sebaliknya. Semua demi kemasylahatan bersama dan demi maksimalnya kerja-kerja dakwah yang ditugaskan. Jika semua telah dikomunikasikan, tetapi keinginan Qiyadah tetap tidak sejalan dengan keinginan Jundi maka sebagai seorang Jundi sudah seyogyanya menta’ati perintah dan arahan dari Qiyadah selama itu untuk kebaikan.

Kita sebagai Jundi harus camkan dalam-dalam bahwa seorang Qiyadah bukanlah malaikat yang tidak bisa melakukan kesalahan dan kekhilafan. Biar bagaimanapun Qiyadah kita adalah seorang manusia biasa yang tak akan pernah luput dari kesalahan yang bisa saja diperbuatnya baik itu sengaja ataupun tidak disengaja. Tugas seorang Jundi adalah mengingatkan Qiyadahnya apabila melakukan kekhilafan dengan cara dan adab-adab yang berlaku terhadap Qiyadah. Logika yang juga harus dibangun oleh seorang Qiyadah adalah menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang paling benar sehingga jika ada Jundi yang mengingatkan bisa menerima dengan lapang dada. Namun apabila terjadi perbedaan pendapat antara Qiyadah dan Jundinya terhadap suatu perkara maka sikap Tsiqoh kepada pemimpin tetap yang lebih utama.

Intermezzo

Terus terang ana sangat ingin memaparkan banyak terkait masalah adab al Qiyadah wal Jundiyah ini, tetapi apa daya hanya ini yang bisa ana tuliskan, mengambil dari beberapa buku dan artikel-artikel di internet. Ana yakin masih banyak saudara-saudara ana yang masih “terjebak” dalam kebingungan memahami tsiqoh, termasuk ana pribadi sich (hahaha :D). Ana masih bingung sampai mana batas Tsiqoh yang harus dimiliki Jundi kepada Qiyadahnya. Karena seringkali sebagai Jundi, ana masih dibuat bertanya-tanya dan tak habis pikir dengan keputusan yang diambil Qiyadah. Tetapi ana masih tetap berusaha membawanya ke satu muara yaitu “Sami’na Wa Atho’na” :D.....